Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Naik Kereta Gantung
Pintu kereta gantung yang tertutup membuat Syahla merasa bersemangat. Dia benar-benar sudah tidak sabar untuk menikmati pemandangan indah TMII dari atas. Dia dan Ustadz Amar hanya duduk berdua saja di dalam situ, dengan posisi duduk berhadap-hadapan.
"MasyaAllah...." Syahla tak henti-hentinya merasa takjub saat kereta gantung mulai bergerak.
"Wah! Semuanya kelihatan dari sini! Orang-orang jadi kecil banget!" serunya antusias. "Om Suami, lihat deh, itu rumah adat apa ya?"
Tidak adanya jawaban dari lelaki itu membuat Syahla menoleh. "Om Suami?"
Syahla menatap Ustadz Amar dengan tatapan heran. Tampak lelaki itu duduk dengan tegak dan kedua tangannya menggenggam kuat pada pegangan di kereta gantung.
"Om Suami kenapa?"
Ustadz Amar tersenyum tipis. "Ti-tidak apa-apa kok, istri."
Alis Syahla terangkat. Kok, sepertinya ada yang mencurigakan?
Keringat yang menetes dari pelipis Ustadz Amar membuat Syahla membelalakkan mata. "Jangan-jangan, Om Suami takut ketinggian?"
Ustadz Amar hendak menyangkal. Tapi keringat dingin yang membasahi pakaiannya tidak bisa berbohong. Terpaksa, dengan menahan rasa malu, ia menganggukkan kepala.
"Ya ampun! Kok nggak bilang dari tadi, sih? Terus sekarang gimana dong? Kita sudah terlanjur di atas nih! Mana bisa turun di sini!"
Syahla panik. Ia kemudian mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan mengelap keringat Ustadz Amar yang mulai membanjir.
"Ma-maaf. Soalnya kamu kelihatan senang sekali, jadi saya nggak enak untuk nolak."
"Kebiasaan banget sih! Kemarin waktu makan udang juga begitu! Nggak semuanya harus menurut sama saya loh, Om Suami!" Meski sambil marah-marah, Syahla berpindah duduk di samping suaminya. Sementara Ustadz Amar yang masih merasa tegang tidak bisa membantah kata-kata istri kecilnya.
"Coba tarik napas," Syahla memberi instruksi. "Sekarang, buang perlahan."
Ustadz Amar menuruti perintah sang istri. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Sudah lebih tenang?" Syahla mengusap-usap punggung suaminya.
Ustadz Amar mengangguk. Jantungnya masih berdebar cepat. Tapi ia jauh lebih rileks dari sebelumnya.
"Pegang tangan saya," Syahla mengulurkan tangannya.
Ustadz Amar tidak percaya dengan pendengarannya. "Maksud kamu?"
"Sudah! Pegang saja!" Syahla meraih tangan Ustadz Amar dan menahannya dalam genggaman. "Saya akan salurkan keberanian saya,"
Jantung Ustadz Amar semakin berdegup cepat. Kali ini bukan karena ia takut ketinggian, tapi karena dirinya bersentuhan dengan Syahla.
"Bagaimana? Masih takut?" Syahla tampaknya tidak merasakan apa-apa, karena raut wajahnya terlihat biasa saja. Meski agak kecewa, tapi Ustadz Amar merasa sedikit lega sekarang. Ia menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Syahla.
"Nah, sekarang, coba pelan-pelan lihat ke bawah,"
"Nggak, nggak, saya nggak mau," tolak Ustadz Amar cepat.
"Ayolah," Syahla membujuk. "Pemandangan di bawah nggak semenakutkan itu kok,"
"Saya nggak mau Syahla, saya takut." Ustadz Amar menggelengkan kepalanya.
"Pelan-pelan, Oke? Kita nggak bakal jatuh. Nih, tangannya Om Suami kan masih saya pegang,"
Ustadz Amar mengambil napas dalam-dalam. Baiklah, lagipula kereta gantung ini sudah beroperasi begitu lama. Tidak mungkin kan, akan jatuh begitu saja?
Sambil memejamkan mata, Ustadz Amar mencondongkan wajahnya ke arah jendela sembari terus mengatur napasnya agar tidak gugup. Ia mengeratkan genggamannya pada Syahla.
"Saya hitung sampai tiga ya. Satu.. Dua.. Ti..ga!"
Ustadz Amar membuka mata. Rasa panik kembali menyergapnya. Ia berteriak histeris dan buru-buru mundur ke tempatnya semula.
"Nggak bisa Syahla! Saya nggak sanggup!" Ustadz Amar merapatkan badannya pada kursi kereta gantung.
Syahla menghela napas panjang. "Sedikiit lagi. Ayo lebih berani lagi. Coba lihat di sana, Om Suami. Pemandangannya indah banget. Rugi tau kalau sampai sini nggak lihat apa-apa!"
Ustadz Amar kembali menelan ludahnya gugup. Dengan ragu-ragu, ia melongokkan kepalanya ke bawah.
Danau Archipelago menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Miniatur pulau-pulau di Indonesia dari Sabang sampai Merauke itu membuatnya berdecak kagum. Ia sudah pernah melihatnya dari foto-foto yang tersebar di media sosial. Tapi ternyata lebih seru melihatnya secara langsung.
"Indah, kan?" Syahla tersenyum. Ustadz Amar menganggukkan kepalanya perlahan. Rasa takutnya perlahan dikalahkan dengan keindahan alam buatan di bawah sana.
Setelah turun dari kereta gantung, pasangan berbeda usia itu duduk-duduk sebentar di bangku taman. Syahla berpamitan sebentar untuk membeli sesuatu dan Ustadz Amar menunggu sambil berusaha menenangkan diri. Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah membuatnya merasa damai.
"Nih," Syahla muncul dengan eskrim di kedua tangannya. "Om Suami yang cokelat, saya yang strawberry."
Ustadz Amar mengernyitkan dahi. "Es krim?"
"He eh," Syahla menjilati eskrimnya. "Waktu TK, saya pernah nangis ketakutan karena diajak naik bianglala. Setelah turun dari sana, saya dibelikan eskrim sama Abah. Dan alhasil, sampai sekarang saya nggak takut ketinggian lagi."
Ustadz Amar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu menyamakan saya dengan diri kamu waktu TK?"
"Loh, siapa tahu kan?" Syahla mengangkat bahu. "Terlepas manjur atau tidak, eskrim kan tetap enak dimakan."
Ustadz Amar tidak berkata apa-apa lagi. Ia akhirnya memakan eskrim itu. Lagipula sudah terlanjur dibelikan.
Sedang asyik-asyiknya menikmati eskrim, Ustadz Amar mendengar suara orang cekikikan dari arah samping. Ia menolehkan kepala dan menangkap basah istrinya sedang berusaha menahan tawa.
"Apa yang lucu?"
"Buahahahaha!" Pertanyaan itu malah membuat tawa Syahla meledak. "Maaf! Maaf! Saya tiba-tiba teringat ekspresi Om Suami saat di atas tadi!"
Wajah Ustadz Amar merah padam. "Jangan ketawa!"
Syahla masih tidak bisa meredam tawanya, membuat Ustadz Amar memasang wajah kesal. Syahla menyadari kalau ia sudah berlebihan, buru-buru berdehem untuk menghentikan mulutnya sendiri.
"Maaf, Om Suami. Saya cuma merasa lucu saja. Soalnya, selama ini image seorang Ustadz Amar di mata saya itu adalah ustadz yang galak luar biasa. Jadi saya takjub melihat sampeyan bisa teriak ketakutan seperti tadi,"
Ustadz Amar sebenarnya hanya berpura-pura kesal saja, padahal sejatinya dia malu karena menunjukkan kelemahannya di depan istrinya sendiri. Tapi, ia tidak bisa mengakuinya begitu saja.
"Kalau kamu merasa bersalah, kasih saya hadiah,"
"Hadiah? Hadiah apa? Kan saya sudah belikan eskrim,"
"Nggak cukup," Ustadz Amar meraih tangan Syahla dan menyatukan jari jemari mereka. "Begini baru cukup."
Syahla terbelalak kaget. Ia buru-buru melepaskan tangan mereka dan mundur menjauh. "Apa-apaan sih? Kenapa pegang-pegang? Di perjanjian poin satu kan—"
"Yang tadi pegang tangan saya duluan siapa?" Ustadz Amar menjawab santai. "Padahal waktu di kereta gantung tadi kamu sendiri yang minta saya pegang tangan kamu."
"Itu kan karena—"
"Sebentar saja," Ustadz Amar meraih tangan sang istri. "Anggap saja impas."
Syahla tidak mampu menjawab karena jantungnya sudah berdebar tak karuan. Tunggu, kenapa jantungnya berdebar-debar?
"Sebentar," Ustadz Amar mengangkat tangannya yang lain ke wajah Syahla. "Muka kamu kotor,"
Seakan tidak membuang kesempatan, Ustadz Amar mengusap ujung bibir Syahla yang terkena noda eskrim. Selama itu, Syahla merasa dunianya berhenti berputar, menyisakan detak jantungnya yang berdebar semakin cepat mengikuti sentuhan Ustadz Amar.
"Sudah," Ustadz Amar tersenyum tanpa dosa. "Kalau begini kan sudah cantik lagi,"
Setelah berkata begitu, Ustadz Amar berjalan pergi begitu saja. Syahla yang masih membeku di tempatnya hanya bisa menatap kepergian suaminya dengan mulut terbuka, masih tidak percaya dengan yang barusan terjadi.
"Dasar Ustadz Gila!" teriak Syahla setelah kesadarannya kembali.
apalagi suaminya lebih tua