Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Taylor Swift Always Right
"Jadi beli sesuatu dulu buat Rindu sama Lulu?” Mimi bertanya kepadaku dari balik kemudi. Kami sedang berada di dalam perjalanan ke rumah Lulu yang setelah menikah pun memutuskan untuk tetap tinggal di kediaman orang tuanya yang berjarak sekitar dua jam daei rumahku. Sebelum berangkat tadi, Mimi berhasil memaksa Bang Rian untuk tidak ikut bersama kami. Dia juga berhasil memaksaku untuk duduk di kursi penumpang dengan alasan “keselamatan berlalu lintas”.
“Beli apa lagi, ya? Padahal kemarin kan kita udah beli baju lumayan banyak.” Aku memperbaiki letak kacamata hitam yang agak melorot. “Beli apaan dong, Mi? Aku jadi bingung,” ungkapku sambil masih tetap sibuk mengurusi kacamata RayBan yang aku pakai.
“Coba cek di map dulu deh. Nanti kita mampir aja di toko peralatan Mom and Baby yang ada di jalan ke rumahnya Lulu aja. Cari yang jual permainan edukatif sekalian. Eh, tapi .... Gak usah beli mainan deh. Beli buat Lulu aja. Daster yang lucu kan banyak. Iya, iya. Beliin daster aja. Kalau kamu bingung entar biar aku yang bantu pilih. Tapi, tetap kamu yang bayar, ya? Deal?” Sahabat yang tak kusangka-sangka menjadi kekasih dari abangku itu sibuk berbicara sendiri dan mengambil kesimpulan sendiri. Aku hanya bisa menggeleng. Mimi mwmang memiliki sisi yang penuh dengan ... quirks. Mungkin itulah yang membuat Bang Rian jatuh hati padanya.
“Huuu." Aku mencibirnya. "But, oke deh. Deal.”
Cewek berambut panjang itu melirikku sebentar sebelum mengembalikan fokus ke arah jalanan yang ada di depan kami. “Sibuk banget ama kacamata, Neng!"
Aku segera membuang muka.
"Lagian, kamu sih. Pakai agenda menangis semalam aja hampir tiap hari belakangan ini. Sekarang kita itu mau ke tempatnya Lulu loh, Kay. Si Paling Suka Maksa di antara kita berlima. Nanti kalau ditanyain emangnya kamu mau jawab apa, hm?”
Kukedikkan sebelah bahu. Sambil terus menatap pemandangan yang melintas di balik jendela mobil, aku menimpali, "Rencananya sih aku mau beliin si Lulu banyak barang biar dia gak punya waktu buat nanya-nanya banyak ke aku."
Mendengar itu Mimi lantas terkakah-kakah. "Kamu ini benar-benar deh!"
Aku hanya mengedikkan bahu. Untuk beberapa kala perjalanan kami lalui dengan diam. Namun, diam berarti tidak ada yang mengalihkan perhatian. Tidak ada yang mengalihkan perhatian berarti pikiran-pikiran ini akan melanglang buana ke mana-mana. Pikiran yang melanglang buana hanya akan membuat aku kacau lagi.
Aku tidak mau jadi kacau. Terlebih lagi sebelum bertemu denngan Lulu dan Rindu. Dan keluarga mereka. Dan pegawai toko. Huh.
Dengan misi menciptakan distraksi, aku kemudian menyalakan audio sistem mobil dan menghubungkan ponselku ke perangkatnya. Dalam sekejap saja aku sudah sibuk untuk memilah koleksi lagu yang kupunya. Sekonyong-konyongnya melodi yang familier terdengar. Dentingan piano itu segera diiringi oleh suara Tante Mariah Carey yang penuh perasaan. Mbak Adele tak lama menggantikan. Duncan Lawrence di kalakian. Jorji. Labrinth. SZA. Alexander Stewart. Dean Lewis. James Bay. James Arthur. Lewis Capaldi. The list goes on and on and on.
Di sampingku, Mimi mulai menggumamkan lirik-lirik lagu yang kami dengarkan. Dia yang juga seorang pencinta pop balad—sama sepertiku jika kalian tidak menangkap fakta itu dari nama-nama pengisi playlist yang aku sebutkan tadi—merasa sangat tidak masalah dengan selera musik mellow-ku kali ini.
I feel like shouting my heart out loud. Rasanya seperti ingin memberi tahu kepada seluruh dunia tentang apa yang aku rasakan saat ini. Aku ingin meneriakkan kepedihan hati, membiarkannya ke luar dari dalam diri ini, dan berharap semuanya bisa seketika menguap serta berlalu pergi, menjauh bersama angin. Berharap setelah ini lubang besar yang ada di dalam hati akan segera menutup, tidak sakit lagi, tidak meninggalkan bekas apa pun.
Namun, tentu saja tidak semudah itu. Setelah hampir satu jam puas bernyanyi, mobil berhenti di depan sebuah toko dan Mimi turun untuk membeli beberapa barang, tidak seperti yang aku deklarasikan di awal perjalanan karena aku memilih untuk menunggunya di dalam mobil dengan mata yang lebih bengkak dari sebelumnya. Tidak mungkin rasanya masuk ke dalam sana dan berinteraksi dengan para pramuniaga sementara aku terus mengenakan kacamata hitam. Aku ... belum bisa bersikap sesongong itu.
Ya Tuhan. Sudah aku bilang, tidak akan semudah berbicara.
****
Lulu menyambut kami di pintu depan rumahnya dengan senyum selebar baliho pilkada. Dia seketika saja menyongsong dan memelukku erat saat aku sudah turun daei mobil dan berjalan mendekat. “Kaaaay, akhirnya sampai juga.” Sebuah komentar yang terlalu berlebihan rasanya untuk sahabat dengan rumah yang jaraknya cuma dua jam palinh lama. Namun, motif untuk ucapannya tersebut terungkap sedetik kemudian. “Kadonya mana? Rindu udah nungguin tuh.” Nah, ini maksud sebenarnya dari kalimat sambutan tadi.
Aku mencibir Lulu yang jelas saja tertawa puas setelah melihat Mimi menjinjing beberapa kantong belanjaan. Dia segera melepaskan pelukannya dan gantian menyongsong sahabat kami yang lain.
"Yuk, yuk. Masuk. Rindu ada di dalam sama Mama," ajaknya setelah mengambil kantong-kantong itu dari tangan Mimi. Dari balik kacamata, aku sangat menikmati langkah ringan yang diambil oleh Lulu. Setidaknya ada yang bisa aku buat bahagia dengan kehadiranku.
Kami lantas mengekor masuk.
"Duduk, duduk." Lulu memerintah sambil meletakkan barang-barang di atas karpet yang terbentang di tengah rumahnya. "Aku bikinin minum dulu." Baru saja berbalik, dia kembali menoleh dan menatap aku dengan kening berkerut. Aku tebak dia baru menyadari ada sesuatu yang berbeda dari penampilanku hari ini. “Kok pakai kacamata gitu, Kay? Kamu sakit mata ya?”
Well ... itulah Lulu. Terima kasih pada kemampuannya untuk membuat tembakan-tembakan asal, aku jadi tidak perlu membual dan menjelaskan sesuatu yang tidak ada dengan panjang lebar. Hal itu jelas mendukung aku yang biasanya terbata-bata saat berbohong. Kali ini aku hanya perlu mengangguk.
In my defense, Ladies and Gentlemen, mataku benar-benar "sakit", kan? Saat ini keduanya sangat bengkak dan merah. Kulit di sekitarnya sangat sensitif. Jadi secara teknis ... aku pun tidak berbohong, kan?
Mimi, yang aku yakin sedari tadi memperhatikan, tiba-tiba saja menyeletuk, “Rindu mana, Lu? Katanya udah nungguin kado dari Tante Kayra langsung. Kadonya udah datang, tuh.”
Daaang. Mimi and her comments.
“Eh, iya. Makasih banyak ya, Tante Kayra. Rindu ada sama Mama dan Papa di rumah Angah, di samping. Bentar ya, aku panggilin. Eh, tapi ....” Tatapan Lulu tepat jatuh pada kacamataku.
Well ... saatnya laughing your belly laugh out loud. “Iya, iya. Aku enggak bakal dekat-dekat sama dia, Lu. Tenang aja.”
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️