Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Super Tampan
Mentari
Hampir sebulan aku tinggal di Jakarta dan belum ada satu pun perusahaan yang melirik surat lamaran yang kukirimkan. Lama-lama bisa gila aku kalau terus di rumah tanpa ada kesibukan berarti selain menonton sinetron azab, huh!
Arghh... aku bosan!
Ternyata tinggal di kampung masih lebih baik daripada tinggal di Jakarta. Aku bisa jalan-jalan ke kebun teh, main di sungai yang airnya jernih sambil menangkap ikan, melayani pembeli di toko dan membantu Bapak memanen hasil kebun. Tidak seperti kesibukanku di sini yang hanya nonton acara gosip dan azab setiap hari seperti ini, sungguh membosankan!
Kuambil ponselku lalu mencari kontak Mas Bayu. Pesan terakhir yang kukirimkan padanya tidak ia balas. Kenapa dia menghilang bak ditelan bumi? Jika tidak mau meminta maaf padaku, bagaimana dengan nasib adikku, Purnama? Kenapa dia tak mau bertanggung jawab pada Purnama?
"Purnama masih tak mau bicara, Tari. Dia selalu berangkat pagi-pagi sekali untuk menjaga toko Bapak lalu pulang malam hari, itu pun langsung masuk ke kamar. Purnama tak pernah lagi makan bersama Ibu dan Bapak di meja makan. Ia mengurung diri di kamar meski Ibu sudah membujuknya." Cerita Ibu saat aku menelepon dan menanyakan keadaan Purnama.
Aku ingin menghubungi Purnama secara langsung namun entah kenapa hatiku tak siap. Aku masih mengingat percakapan Purnama dan Mas Bayu di toko. Mereka berselingkuh di belakangku bahkan Purnama dan Mas Bayu pernah tidur bareng. Gila. Kenapa mereka tega mengkhianatiku? Apa salahku pada mereka?
Teleponku lalu diambil alih, suara Bapak yang berat pun terdengar. "Jangan pedulikan adikmu, Tari! Dia itu memang selalu ingin menjadi sepertimu. Dia bahkan tega merebut calon suami kakaknya sendiri. Sudah, tak usah pikirkan dia. Mau berbuat apa, terserah dua. Bapak sudah tak peduli lagi dengan anak yang susah diatur. Kamu hidup bahagia saja di Jakarta dengan suamimu. Senja itu jauh lebih baik dari Bayu. Bapak yakin, dia akan membahagiakan kamu,"
Bapak masih menaruh emosi pada Purnama dan Mas Bayu yang dianggapnya sudah keterlaluan. Bahkan kata Ibu, Bapak tak mau bicara dengan Purnama sampai saat ini.
Huft... kenapa keluargaku jadi begini?
Aku harap, semua akan baik-baik saja setelah aku menikah dengan Senja. Kuharap, apa yang Bapak katakan benar, aku lebih bahagia hidup dengan Senja dibanding Mas Bayu, meski aku sendiri ragu.
Rumah tanggaku dan Senja tak seperti rumah tangga orang lain. Kami masih pisah kamar dan tak pernah kontak fisik, bukan aku mengharapkan kami melakukan kontak fisik, aku hanya merasa Senja juga menjaga jarak dariku. Ia seolah menikahiku karena ingin membalas jasa Bapak pada orang tuanya saja.
Apa aku memang tidak terlihat menarik di mata lelaki? Apakah karena alasan itu Mas Bayu selingkuh dariku?
Lamunanku terganggu saat kudengar pintu rumah diketuk. Tak lama suara laki-laki agak berat terdengar mengucapkan salam.
"Assalamualaikum!"
Kutaruh remote dan ponselku di atas meja lalu berjalan ke arah pintu. Kubuka sedikit pintu dan melihat seorang laki-laki tampan berdiri di depanku.
Wow... tampan sekali. Apakah dia artis? Kenapa terlihat berkilau sekali?
"Waalaikum... Sayang eh waalaikumsalam," jawabku tanpa sadar.
Aku benar-benar terpesona. Kok ada lelaki setampan itu? Berdiri di depanku pula. Dia bukan malaikat pencabut nyawa, bukan? Eh tapi kalau malaikat pencabut nyawa setampan dia sih, aku rela. Cabut aku Mas Mas, cabut, tapi sebelumnya... ajak aku ke semak-semak, Mas!
Laki-laki tampan itu mengerutkan keningnya melihatku. "Loh, ini benar rumah kontrakan Senja kan?"
"I-iya, benar. Ini rumah kontrakan Senja yang aneh dan ngeselin itu," jawabku dengan gugup. Siapa yang tak akan gugup melihat lelaki tinggi, tampan, atletis dan mempesona bak artis berdiri di depanku dan berbicara denganku? Tidak pingsan saja aku sudah untung.
"Oh, kupikir aku salah rumah. Kamu... siapanya Senja?"
"Aku... is- mm... sepupunya Senja."
Huft... hampir saja aku bilang kalau aku ini istrinya Senja. Untung rem-ku pakem, berhenti sebelum kebablasan.
"Sepupunya Senja? Kok Senja tidak bilang ya kalau ada sepupunya di rumah?" Laki-laki tampan itu pun mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku. "Perkenalkan, aku Fajar. Aku dan Senja berteman sejak kuliah."
Kubalas uluran tangan kekar itu dengan cepat. "Aku Mentari, saudara sepupu Senja."
"Mentari? Aku panggil Tari saja ya?" kata Fajar sambil tersenyum.
"Panggil Sayang juga boleh," jawabku tanpa sadar.
Fajar tersenyum makin lebar mendengar jawabanku. Gila, level gantengnya meningkat tajam saat tersenyum. Barisan gigi putihnya bak model iklan pasta gigi President. Ganteng maksimal puuuooool! Andai yang seperti ini menjadi suamiku, ah... aku rela lahir batin dunia akhirat meski hanya dapat senyumnya saja. Benar-benar senyummu mengalihkan duniku, Ganteng!
"Ehem!" Fajar berdehem seraya melirik tangan kami yang masih saling berjabat.
Aku reflek menarik tanganku meski sedikit tak rela. Ya ampun, kenapa aku berpikir yang tidak-tidak sih? Ah, memalukan sekali! Tadi Fajar bertanya apa ya? Oh iya, dia tanya nama panggilanku!
"M-maksudku, aku biasa dipanggil Sayang sama keluargaku. Kalau Mas Fajar... bisa panggil aku Tari saja, tak usah pakai Sayang," jawabku sambil tersenyum lebar. Ah, jiwa centilku keluar deh. Memang aku tuh tidak boleh bertemu cowok ganteng, suka tuman!
Fajar tertawa mendengar jawabanku. "Oke... Tari, kamu lucu sekali. Senja ada di rumah tidak?" Fajar melirik ke dalam rumah kontrakan yang sepi, hanya terdengar suara sinetron azab yang sedang kutonton, tepatnya adegan menguburkan jenazah yang tidak diterima bumi.
"Senja belum pulang. Entah pergi kemana," jawabku jujur. Aku memang tak pernah tahu jadwalnya. Senja suka pulang jam 9 dan tak jarang baru pulang sehabis adzan dzuhur, suka-suka dia saja.
"Wah, sayang sekali dia tak ada," kata Fajar dengan nada kecewa.
Tunggu, lelaki tampan seperti Fajar tak boleh kecewa. Pamali. Bisa tambah banyak kerutan di wajahnya. "Mm... kayaknya sebentar lagi Senja pulang deh."
Aku tak mau Fajar pergi secepat itu. Rasanya tak rela lelaki tampan ini hanya sebentar aku nikmati ketampanannya. Aku harus mencegahnya pergi jika ingin menikmati ketampanannya lebih lama lagi. "Mm... Mas mau nunggu di dalam? Nanti aku kirim pesan ke Senja agar cepat pulang," tawarku.
"Memang boleh?"
"Boleh, tentu saja boleh," jawabku cepat.
"Aku tidak merepotkan kamu nih?" tanya Fajar lagi.
Tentu saja tidak, ganteng. Memang ya orang ganteng itu beda. Sopan santunnya dua jempol. Tidak seperti si gondrong Senja yang suka aneh dan menyebalkan, plus suka seenak jidatnya pula!
"Tidak kok. Tidak merepotkan. Ayo, silahkan masuk. Aku buatkan minum dulu ya!" Aku pergi ke dapur dan membuatkan es teh manis untuk Fajar.
"Silahkan!" kataku seraya menyajikan es teh manis untuk Fajar yang sedang duduk di sofa.
"Terima kasih. Wah, segar sekali aku dibuatkan es teh manis." Fajar meminum es teh manis buatanku. "Manis, kayak yang buat."
Ya ampun Fajar, pintar sekali mulut manismu memujiku. Aku kan jadi malu. Iya sih aku manis, tapi jangan terlalu to the point banget dong. Dipuji orang ganteng memang beda, rasanya mau terbang ke langit.
"Terima kasih, silahkan dihabiskan, kalau kurang nanti aku buatkan lagi," jawabku malu-malu. Aku harus jaga image. Jangan terlihat terlalu kesenangan dipuji cantik.
"Baik sekali ya kamu. Oh iya, Tari, Senja tak pernah cerita loh kalau punya sepupu cantik kayak kamu," kata Fajar.
Dua kali... dua kali sudah aku dipuji si ganteng. Terbang deh hatiku ini. Ikat hatiku, Fajar, ikat yang kuat! Jangan biarkan aku terbang karena kata-kata manismu itu!
"Ah, Mas bisa saja. Aku... tidak secantik itu," kataku merendah. Fajar tak tahu saja hatiku jumpalitan sejak tadi. Kuselipkan anak rambutku di belakang telinga, seperti di sinetron yang kutonton.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Mas. Panggil Fajar saja, biar akrab. Kamu sekarang tinggal bareng di rumah ini sama Senja?" tanya Fajar sambil menatap lekat padaku.
"Iya, Mas eh Fajar," jawabku.
"Kamu baru mau masuk kuliah di Jakarta ya?" tebak Fajar.
Ih sok tahu banget. Tak apa deh, kalau orang ganteng sok tahu tetap saja kelihatan oke.
"Bukan. Aku malah sudah lulus kuliah. Rencananya, aku mau melamar kerja," jawabku.
"Hah? Serius kamu sudah lulus kuliah? Wah, baby face banget kamu. Kupikir kamu baru lulus SMA loh," puji Fajar.
Kali ini, aku boleh terbang tinggi bukan?
****
perasaanmu kayak mimpi padahal tari yg ada di mimpimu itu nyata..
awas habis ini di tabok tari , nyosor wae🤣🤣🤣
kalau ngigo mah kasihan bangat tapi kalauccari kesempatan lanjutkan Ja. jang cium.doank sekalian di inboxing deh...
demam bikin ngigo, menghayal yg bukan2
etapi ternyata hayalannya nyata
berkah kan tuuuu
selamat ya ja, dapet bonus yg ranum lagi menggoda iman dlm sakitmu
halal pulak
Xixixi 😬