Tak ingin lagi diremehkan oleh teman-temannya, seorang bocah berusia enam tahun nekad mencari 'Ayah Darurat' sempurna; tampan, cerdas, dan penyayang.
Ia menargetkan pria dewasa yang memenuhi kriteria untuk menjadi ayah daruratnya. Menggunakan kecerdasan serta keluguannya untuk memanipulisi sang pria.
Misi pun berjalan lancar. Sang bocah merasa bangga, tetapi ia ternyata tidak siap dengan perasaan yang tumbuh di hatinya. Terlebih setelah tabir di masa lalu yang terbuka dan membawa luka. Keduanya harus menghadapi kenyataan pahit.
Bagaimana kisah mereka? Akankah kebahagiaan dan cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergency Daddy 10.
"Dia bukan Daddy dari Elvano, Pa. Aku berkata jujur."
"Tapi pria tadi begitu mirip dengan El, Anggi," sela Sekar di antara perdebatan suaminya dan putri mereka.
Sedari tadi Anggita terus meyakinkan sang ayah-Galang Abraham bahwa pria bernama Nathan itu bukanlah ayah Elvano.
Setelah kejadian gelut di sofa dan berakhir dengan terpergok oleh orang tuanya. Anggita dan Nathan langsung duduk berhadapan dengan Galang di dalam ruang kerja. Akan tetapi, Anggita tak membiarkan hal itu berlangsung lama. Ia tahu ayahnya akan mengintrogasi terlalu jauh, Anggita tidak menginginkan itu terjadi, setidaknya untuk saat ini.
Sampai akhirnya, setelah Nathan menjelaskan terkait permasalahan tentang dirinya yang tidak terima dipanggil dengan sebutan Daddy oleh Elvano, secepat mungkin Anggita meminta pria itu untuk pulang, bahkan menurut Nathan ia lebih tepatnya diusir oleh wanita yang sikapnya terus saja memancing amarahnya itu.
"Dia memang mirip dengan El..." ucap Anggita pelan. Ia menunduk, menatap kedua tangannya yang saling bertaut. Wajah wanita itu berubah sendu kala seseorang terlintas dalam pikirannya. "Tapi...itu sepertinya hanya kebetulan, Ma. Dia benar-benar bukan lah Daddy dari Elvano." Anggita yakin dengan ucapannya, setelah wanita itu berulang kali menelisik Nathan.
Dia bukan Ivan... lanjut Anggita lagi dalam benaknya.
Galang mendesah pelan. Pria paruh baya itu bisa melihat kejujuran dari ucapan putrinya. Juga kekecewaan yang tersimpan. Galang akhirnya membiarkan Anggita untuk beranjak pergi meninggalkan mereka.
Menarik kesimpulan, permasalahan hari ini hanyalah tentang keberanian cucu tampan mereka yang menyebut pria bernama Nathan tadi sebagai Daddy. Dan Anggita berjanji pada pria itu bahwa ia akan meluruskan kesalahpahaman ini sesuai keinginan Nathan. Karena janji itu jua lah, Nathan mau pulang meski rasanya kesal ia diusir oleh Anggita.
Pria yang penampilannya sudah kacau itu pulang ke apartemen pribadinya. Jas serta dasi yang sudah terlepas ia tenteng begitu saja, Nathan bahkan langsung melemparnya ke atas tempat tidur setibanya pria itu di dalam kamar. Ia memilih masuk ke dalam kamar mandi demi membersihkan diri.
Melewati cermin besar, Nathan sesaat sempat berhenti demi memperhatikan wajah tampannya. Rambut perak yang ia rawat dengan sepenuh hati itu kini terlihat acak-acakan. Semuanya ulah Anggita.
Ya Tuhan!
Rasanya Nathan masih ingin membanting wanita bar-bar itu. Bukan hanya menjambak rambut, Anggita juga menendang bokongnya serta memukuli dirinya secara berutal. Untung Nathan bisa melindungi wajahnya, jika tidak, Nathan yakin akan banyak bekas cakaran yang tertinggal dan pasti merusak pesona pria itu.
Nathan langsung melepaskan seluruh pakaian. Ia memilih segera mandi dan setelahnya mengenakan setelan rumahan. Nathan beranjak meninggalkan kamar setelah merasa segar, ia menuju dapur dan meraih minuman kaleng dari dalam lemari pendingin.
Sesaat, ia menyempatkan diri untuk membuka laporan pekerjaan yang dikirim oleh Rendi sang asisten. Cukup banyak pekerjaan yang harus ia periksa, tapi Nathan merasa lelah hari ini, sehingga ia memilih kembali ke kamar untuk beristirahat.
Pria itu menghempaskan diri di atas tempat tidur begitu saja. Dengan tangan serta kaki yang terentang, Nathan menatap langit-langit kamar. Hari ini terasa begitu panjang untuknya. Selain pekerjaan kantor, ternyata berurusan dengan seorang wanita juga menguras banyak tenaga.
Nathan terkekeh kecil, merasa tak percaya di usianya yang sekarang, ia masih bisa bergelut dengan wanita. Mengingatkan pada tingkahnya dulu di masa lalu yang selalu jahil dan membuat para gadis-gadis menangis.
Pria itu juga langsung mendengus ketika mengingat pukulan-pukulan yang berhasil ia terima dari Anggita, wanita berbeda yang begitu berutal menghajarnya. Sampai wajah yang lumayan cantik itu kembali muncul dalam ingatan Nathan, netra tajam yang menatapnya garang, serta napas wanita itu yang memburu, dan dada....
"Shit!!" Nathan mengumpat, mengacak rambutnya. "Bisa-bisanya aku mengingatnya!!"
Meraih selimut dengan kasar, Nathan segera membungkus dirinya dan memilih untuk menutup mata. Sebaiknya ia tidur dari pada pikirannya berkelana liar.
"Huft!! Sial!!" Selimut itu kembali tersingkap kasar. Bukannya bisa melupakan, belahan keramat itu malah terus muncul dan terasa semakin nyata. "Tidak anak, tidak ibunya membuat hidupku kacau saja!!"
Nathan bangun dari tempat tidur dan memilih keluar dari dalam kamar menuju ruang kerja pria itu. Ia akan memeriksa semua laporan yang dikirimkan Rendi tadi, dari pada harus dihantui oleh sesuatu yang berhasil membuat darahnya terus berdesir.
Lain Nathan, lain pula yang terjadi dengan Anggita. Wanita itu kini berdiri diam dengan tatapan yang tertuju pada tempat tidur. Di sana, putra tampannya sudah terlelap. Anggita sebenarnya datang ke kamar Elvano untuk bicara dengan putranya itu, tapi nampaknya harus ia urungkan karena Elvano sudah tidur.
Anggita merapikan selimut yang memeluk hangat tubuh putranya. Ia menunduk demi meninggalkan ciuman yang dalam pada pucuk kepala berhiaskan rambut keperakan itu.
"Mommy... sangat menyayangimu, El." Anggita mengucapkannya dengan sangat pelan tanpa menghilangkan tekanan dalam nada suaranya. Tak ingin suaranya sampai mengganggu tidur sang putra.
Beberapa kilasan di masa lalu juga kembali terulang dalam ingatan, tetapi Anggita secepat mungkin mengenyahkan. Ia sudah memilih keputusan yang besar, dan selamanya akan ia jaga dan coba pertahankan.
"My Son," ucap Anggita lagi. Sorot mata wanita itu mengunci wajah polos Elvano yang terlelap. Sorot mata yang dipenuhi akan ketakutan, takut kehilangan.
Anggita cukup lama terdiam di dalam kamar Elvano, sebelum akhirnya, ia memilih meninggalkan kamar Elvano dengan menutup pintu kamar secara perlahan. Ia akan coba bicara pada putranya itu besok pagi.
Tanpa Anggita sadari, netra polos itu malah membuka setelah kepergiannya. Elvano juga terdiam menatap langit-langit kamar, pikiran kecilnya terlihat bekerja untuk menyusun sesuatu, dan tak lama setelahnya ia kembali terpejam, melanjutkan tidur dengan wajah yang tersenyum lebar.
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/