Dalam setiap perceraian, korban paling nyata adalah anak. memiliki orang tua yang tidak pernah harmonis adalah pukulan telak untuk seorang anak yang sudah mulai mengerti arti sebuah keluarga, itulah yang dialami Arkana.
Diusia remaja yang butuh perhatian penuh dan bimbingan untuk menentukan jati diri, Arkan malah mengalami keterpurukan atas perceraian kedua orangtuanya. dia tidak menemukan kehangatan dan dia selalu mencari perhatian dengan cara brutalnya.
Mungkinkah akan ada ruang teduh untuknya merasakan kehangatan ??
Bisakah dia melewati masa transisinya dengan baik ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sakabiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Junkies
Mereka sampai di rumah Arkan, Bi Ija menyapa keduanya dengan hangat dan cukup kaget dengan kedatangan Vero.
Setelah menyapa bi Ija, Vero dan Nina langsung naik menuju kamar Arkan. Kehadiran Vero juga membuat Arkan terkejut. Terlebih dia melihat hubungan Nina dan Vero yang tampak semakin dekat. Arkan semakin curiga dengan gelagat Vero.
"Gue akan ikut belajar disini hari ini!" kata Vero yang langsung duduk di samping Arkan, Arkan tampak malas seperti biasa.
"Hari ini kita belajar Akuntansi!" kata Nina yang langsung mengeluarkan buku-bukunya dari tas.
"Siap bu guru!" tukas Vero menggoda, Nina hanya tersipu. Arkan memicingkan matanya, dugaannya semakin kuat.
"Heh, kecurigaan gue terbukti," gumam Arkan.
"Apa?" tanya Vero.
"Gue ngantuk," kata Arkan yang malah naik ke atas kasurnya lalu pura-pura memejamkan matanya.
Vero heran dengan sikap Arkan, Nina sendiri tidak merasa aneh, sikap itulah yang selalu dia dapat selama ini tapi itu sama sekali tak menyurutkan semangatnya.
Vero melirik kearah Nina dan Nina hanya mengangkat kedua belah bahunya, dia tetap mencatat di buku tulis Arkan dengan telaten dan itu semakin membuat Vero salut. Vero tatap Nina dengan lekat, dia yakin kalau Nina memang benar-benar orang baik.
"Kapan lo balik ke sekolah?" tanya Vero pada Arkan yang masih memejamkan matanya, Arkan belum memberi jawaban.
"Ar ...." panggil Vero.
"Heum," sahut Arkan masih dengan mata terpejam.
"Apa setiap kali Nina datang lo selalu begini?" tanya Vero, Nina hanya tersenyum dan lanjut menulis.
Kriiiiiing ....
Ponsel Vero berdering, dia tatap layar ponsel dan yang menghubunginya itu ternyata mamanya, dia segera angkat.
"Halo Ma?" sapa Vero.
"Cepat pulang sayang, kakakmu pulang."
Vero terlihat senang mendengar itu.
"Oh ya?"
"Iya, dia bawakan oleh-oleh banyak sekali untuk kamu, cepat ya! Jangan biarkan dia menunggu lama."
Vero mengakhiri telphonenya, kemudian dia bersiap untuk pulang, dia kenakan jaketnya kembali.
"Gue cabut ya ar!" kata Vero.
"Heum," jawabnya tanpa membuka mata.
"Pulang dulu ya Nin," lanjut Vero pada Nina.
"Iya, hati-hati ya di jalan," sahut Nina.
"Ya, kamu juga yang sabar ya."
"Ha ?" Nina bengong tidak faham maksud Vero.
"sabar menghadapi Arkan!" jawabnya dengan nada gurauan, Nina tersenyum simpul mendengarnya sedangkan Arkan? Dia hanya memicingkan matanya yang masih menyipit.
Vero pergi, meninggalkan mereka berdua saja seperti hari-hari yang sudah mereka lewati. Nina melanjutkan fokusnya, dia terus mencatat sampai selesai.
"Gue kasih soal lagi ya," kata Nina, Arkan masih pura-pura tidur.
"Huh, kenapa ada orang seperti ini ya," gerutu Nina yang kadang-kadang merasa kesal juga dengan sikap Arkan ini.
"Arkan!" panggil Nina, Arkan memicingkan matanya.
"Mau sampai kapan lo begini?" tanya Nina kesal.
Arkan bangun lalu setengah bangkit sampai dia terduduk di tempat tidur nyamannya itu.
"Terus lo mau sampai kapan mengganggu kehidupan gue?" tanya balik Arkan dengan nada sarkas ciri khasnya.
"Gue gak pernah ada maksud mengganggu, cuma mau mengembalikan semangat belajar lo!"
"Dan lo akan tetap gagal!" tegaskan Arkan.
"Ayolah, tak ada yang bisa membantah kalau pendidikan itu sangat penting! Lo cuma butuh kemauan! dan gak ada aral yang menghadang ... lo bisa sekolah setinggi yang lo harap tanpa memikirkan hal lainnya!" Nina kembali melancarkan nasihatnya, dan itu tentu saja membuat Arkan semakin muak.
"Gue gak peduli!"
"kemarin lo udah menunjukan progres yang baik, kenapa hari ini lo kembali bersikap begini?"
Arkan diam, kemarin dia mau mengerjakan soal dari Nina sebagai syarat dia mengetahui cerita tentang jersey Vero yang tiba-tiba dipakai oleh Nina, tak lebih dari itu.
"Lihat gue Ar! Jangan merasa lo adalah orang yang paling tidak beruntung di dunia ini! Gue bahkan gak tahu sosok orangtua kandung."
"Cukup!" Arkan menyambar kalimat Nina, dia terlihat marah.
"Gak usah banding-bandingkan kehidupan gue dan kehidupan lo! Gue gak peduli sama sekali!" kata Arkan tegas, Nina hampir menyerah.
"Jangan hanya melihat luka hati lo dari sudut pandang lo sendiri! Lo perlu melihat ke sekitar."
"Gak usah jual nasib buruk lo buat mendapat belas kasihan bokap gue!"
Kata-kata Arkan sungguh menusuk tepat di jantung Nina. Apa yang Arkan katakan memang benar, dia mempertaruhkan nasibnya dengan tantangan yang Ayah beri untuk mengajar dan membujuk Arkan untuk kembali ke sekolah.
"Itu benar! Ini memang tujuan gue disini, demi bisa kembali merajut cita-cita sederhana gue untuk lulus sampai sekolah menengah atas, gue rela menjadi orang bodoh yang berusaha meruntuhkan gunung es seperti lo!" ujarnya, kini Nina tak dapat menahan lagi, dia sungguh emosional.
Arkan menatap benci kearah Nina, moodnya memang sangat labil saat ini. Setiap dia merasa terganggu, dia akan melakukan apapun untuk melampiaskannya.
Arkan bangkit, dia turun dari tempat tidurnya lalu berdiri tepat di depan Nina yang masih terduduk di lantai dengan buku-buku disekitarnya.
"Ini hari terakhir lo menginjakan kaki disini! Sudah cukup gue dengar semua omong kosong lo! Gue juga akan suruh Ayah menarik semua uang yang sudah dia bayarkan buat biaya sekolah lo! Lo sama sekali gak berhasil mengajari gue!"
Arkan sedang menjadi srigala kejam hari ini, dia sedang badmood dan lagi-lagi Nina jadi korban dari ketidak stabilan suasana hatinya itu.
Sebenarnya Nina sangat takut dengan ancaman Arkan itu, dia tidak ingin ayah menarik kembali kebaikannya. Nina hanya ingin menyelesaikan study-nya sampai dia dapat ijazah SMA.
Nina bereskan buku-buku Arkan lalu dia simpan kembali diatas meja belajar dengan rapi tapi Arkan mengambil tumpukan buku itu lalu.
BRAKKK, dengan brutal Arkan lemparkan itu kearah Nina sampai menghantamnya cukup keras. perlakuan Arkan memang seperti seorang bipolar. kadang dia bersikap tenang, tapi kadang dia juga bersikap seperti monster seketika.
Nina terdiam, terpaku dan tak tahu harus berbuat apa. Sementara Arkan menatapnya dengan mata memerah yang menyimpan kemarahan yang begitu dalam pada Nina.
"Lo manfaatkan kondisi gue buat mencapai cita-cita bodoh lo, begitu?? Lo manfaatkan rasa sakit gue untuk kepentingan bodoh lo! begitu?" Arkan menghardik berkali-kali, Nina makin terpaku.
"Dimana sisi humanis lo? Minggu ini, gue catat lo sebagai orang paling kejam di hidup gue!" kata Arkan semakin meracau, Nina tak mampu berkata-kata, apa yang dia bilang itu memang ada benarnya. Nina memang memanfaatkan kondisi Arkan yang rapuh untuk bisa kembali sekolah.
"Pergi!" usir Arkan, Nina masih saja diam tapi matanya tertuju pada sesuatu yang tampak terselip di bawah ranjang Arkan.
Nina kembali memperhatikan dengan seksama, dan betapa terkejutnya dia, dia tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia benar-benar terkejut!
Apa yang Nina lihat?
Nina melewati Arkan lalu dia mengambil barang tersembunyi itu, ternyata ....
"Apa ini?" tanya Nina lalu mengangkat sebuah bong, itu adalah alat hisap untuk metamfetamine atau lebih dikenal dengan 'sabu'. Barang haram yang sudah menghancurkan kehidupan banyak orang.
Nina benar-benar tak percaya, kenapa Arkan lakukan hal bodoh itu. Nina sampai merasa sedih mendapati hal itu. Pantas saja hari ini Arkan sangat labil, ternyata dia sedang mengkonsumsi barang terlarang itu, Nina gak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Arkan yang semakin kacau.
Arkan masih menatapnya dengan tatapan seorang junkies yang sakit.
"Hentikan! Kenapa lo lakukan ini?" kata Nina penuh emosi, dia sampai tak kuasa menahan air matanya.
"Gak usah sok peduli! Sebaiknya lo pergi dan diam!" kata Arkan berdesis tajam.
"Ini salah! Apa yang lo lakukan ini salah!" bentak Nina, dia memang masih shock dengan apa yang dia dapati hari ini.
"Apa peduli lo!!!" Arkan membalas bentakkan Nina, suasana semakin tegang.
"Dari mana lo dapat barang haram itu?" tanya Nina dan air matanya semakin berderai, Arkan masih tidak percaya dengan kepedulian Nina, dia selalu menganggap semuanya omong kosong.
"Sekarang lo sadarkan, kalau semua yang lo lakukan ini sangat percuma! Gue sudah masuk ke lorong gelap dan gue sudah merasa nyaman ada di dalamnya! Gak usah berusaha menarik gue dari sana! gue gak akan kembali lagi!"
Kata-kata Arkan membuat Nina semakin takut, dia takut apa yang Arkan katakan itu benar. Nina bawa botol kecil alat penghisap sabu itu menuju kamar mandi di pojok ruang kamar Arkan.
PRAAK
Nina langsung pecahkan bong itu, dia pecahkan dengan emosional, dia meremas selang kecil yang terhubung didalamnya. Dia mencoba membuangnya, dia ingin menghancurkan semuanya lalu tangisnya pecah di kamar mandi itu, dia sangat terpukul mengetahui kenyataan kalau Arkan sudah terlanjur masuk dalam lembah hitam itu. Nina sangat menyesal karena dia tidak sempat menyelamatkan Arkan, dia sungguh sangat menyesal.
Arkan hanya diam melihat tindakan Nina, dia juga tak bereaksi apa-apa saat Nina menangis penuh sesal di kamar mandinya.
Akankah Arkan keluar dari lembah hitam itu?
Bagaimana masa depan Arkan setelah dia mengenal barang terlarang itu? Apakah Nina masih punya tekad untuk menyelamatkannya?
ko tokohnya sm kaya d platform sebelah y arkana n lalina 😂