Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Tak ada sepatah katapun terucap dari bibir Gea ataupun Mitha selama dalam perjalanan ke kost. Mereka memilih menutup mulut rapat-rapat. Gea tentu saja amat menjaga perasaan Mitha yang kembali bergejolak. Mitha bahkan tak sadar jika mereka sudah sampai di halaman kost jika Gea tak memberitahunya.
"Mith, turun dulu gih. Capek tau." gerutu Gea lucu sambil memanyunkan bibirnya yang polos tanpa sapuan lipstik. Mitha segera turun dari boncengan bersamaan dengan kedatangan dua orang pria yang berjalan mendekati mereka.
"Asalamualaikum." sapa salah satunya.
"Walaikumsalam. Ya Allah, papa...!!" Mitha baru menyadari jika yang datang adalah papanya Abimanyu bersama Bian sang sekretaris. Mitha buru-buru mencium tangan sang papa.
"Papa kenapa kesini malam-malam? Nggak ngabarin Mitha lagi."
"Kamu harus pulang sekarang Mith." Abi berkata tegas. Tampak aura ketegangan tergambar diwajahnya.
"Tapi...ada apa pa?" tiba-tiba Mitha ingin tau. Tidak biasanya papanya terlihat tegang. Keseharian pria itu memang berpembawaan tenang dan tegas, namun penuh kasih sayang.
"Mamamu terus menanyakanmu."
"Tapi kak Elang..."
"Mamamu kritis." jelas papanya pendek dengan air muka yang sangat sedih, bahkan ujung matanya basah oleh air mata. Abi sedang sangat terpukul karenanya.
"Jangan pikirkan dia nak. Ikutlah papa pulang. Jangan berdebat lagi. Papa capek." dan Mitha hanya bisa diam dan menganggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia meneggok ke arah Gea yang masih terpaku ditempatnya.
"Ge..maaf aku nggak bisa kumpul kalian dulu. Aku harus ikut papa pulang." ucap Mitha pelan. Gea segera meninggalkan motornya dan menggenggam tangan sahabatnya.
"Nggak papa Mith. Yang sabar ya. Kabarin aku kalau ada apa-apa."
"Makasih Ge."
"its oke. Cepatlah pulang. Kasihan mamamu." kata Gea lirih seakan ikut berada dalam suasana haru keluarga kecil itu.
Abi segera masuk ke mobil diikuti Mitha. Bian lah yang terakhir masuk dan langsung menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Seolah ada yang mereka kejar. Mitha banyak terdiam melihat papanya. Dia tau Abi sedang sangat bersedih. Maria adalah belahan jiwanya. Wanita keturunan Inggris itu sudah menemaninya dari titik nol. Titik dimana dia sedang tidak punya apa-apa. Seorang mahasiswa universitas Oxford yang hanya bergantung dari orang tuanya.
"Sebenarnya ada apa pa?" tanya Mitha dengan air mata berlinang. Diamnya Abi adalah hal yang membuatnya sangat khawatir.
"Tumor yang mamamu derita sudah berubah menjadi kanker Mith. Mama dalam masa sulit sekarang." desah papanya terdengar putus asa.
"Papa bilang akan membawa mama ke Singapurakan? Kenapa tidak kesana sekarang pa?" kali ini Mitha benar-benar sudah meneteskan air matanya. Kanker? Ah ya Tuhan...penyakit mematikan itu menyerang mama tersayangnya? Ingin rasanya Mitha berteriak kencang.
"Sudah stadium 4 Mith. Mama akan sulit tertolong." gumam Abi yang lagi-lagi membuat seluruh persendiannya terasa lemas.
"Secepat itu? Papa bukannya mama...."
"Dokter salah menganalisa dan menangani penyakit Maria. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa adanya keajaiban untuk mama kalian."
"Papa.." dan kali ini Mitha menangis keras sambil memeluk Abi yang diam bak patung lilin. Seorang pria yang sudah kehilangan harapan dan semangat hidupnya.
"Bersikaplah biasa saja di depan mama Mith. Kau dan Elang harus menghilangkan ego masing-masing. Tolong bersikaplah sewajarnya sebagai suami istri nak. Demi kebahagiaan mama yang mungkin sudah tak lama. Biarkan mama kalian bahagia melihat kalian saling mencintai."
"Bukan aku yang tidak mau pa. Tapi kak Elang...dia terlihat sangat membenciku. Aku bahkan...."
"Elang sudah papa beritau."
"Tapi..."
"Turun Mith. Kita sudah sampai. Dengarkan dan lakukan perintah papa tadi nak. Papa mohon."
"Insyaallah pa." Apa sekarang Mitha punya pilihan? dia hanya entah anak siapa yang sudah dibesarkan keluarga mereka. Bukankah dia akan dan harus berbuat apa saja untuk balas budi? Hal yang mungkin tidak bisa dia tebus seumur hidup.
Bian membukakan pintu mobil dan membiarkan Abi turun, setelahnya Mitha yang sudah turun duluan menjajari langkah papanya untuk masuk ke rumah. Seorang pembantu membukakan pintu untuk mereka.
"Mitha??" Maria yang sedang duduk di kursi roda memekik gembira. Mitha segera berlari memeluk mamanya.
"Kau terlihat kurus sayang. Apa asrama sudah membuatnya begitu tersiksa?" sekuat hati Mitha menahan air matanya yang akan tumpah. Bagaimana mamanya masih begitu memperhatikannya saat dirinya sudah sangat terlihat lemah dengan rambut yang mulai rontok dan tubuh yang semakin kurus saja dari hari ke hari? sekilas Mitha melirik papanya yang juga sama seperti dirinya. Pura-pura dan memaksakan diri bahagia.
"Ahh itu biasa ma. Apa mama lupa jika putri cantik mama ini wanita yang sangat tangguh dan pantang menyerah?"
"Aahhh benarkah? mungkin sekarang mama jadi pelupa ya Mith?"
"Mitha tau mama cuma nge test saja." kilah Mitha sambil memasang ekspresi cemberut andalannya. Sontak Maria terbahak. Mitha memang lucu jika sedang merajuk. Dicubitnya kedua pipi sang putri gemas.
"Berapa lama kamu dirumah?" kali ini Mitha menatap papanya yang langsung memberi isyarat.
"Mulai sekarang Mitha akan tetap ada dirumah ma. Program asramanya sudah usai."
"Wahh...mama senang sekali Mith. Akhirnya mama ada temannya."
"Bukannya selama ini ada kak Elang yang nemenin mama ya?"
"Elang??haduhh..anak itu sibuk seperti papamu Mith." Mitha menghela nafas. Sibuk? Iya. Elang sibuk dengan Sindy dan Kiara hingga tak memperhatikan mamanya. Hati Mitha trenyuh.
"Mama sudah makan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Sungguh dia ingin menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan Elang. Hatinya masih terasa sakit saat memikirkannya.
"Sudah tadi."
"Udah minum obat?" Maria yang sekarang terdiam. Mitha mengusap punggung tangannya lembut.
"Sudah tidak ada gunanya mama minum obat itu Mith. Umur mama sudah tidak lama lagi." desahnya, membuat Abi yang ada dibelakang kursi rodanya mengusap air disudut matanya.
"Tidak ada yang tau umur manusia, ma. Allah melarang manusia putus asa bagaimanapun keadaannya. Bukankah setiap sakit yang diderita oleh seorang hamba adalah penggugur dosa? Mama tidak boleh menyerah." tutur Mitha bijak.
"Apa mama tidak ingin melihat cucu-cucu mama nantinya?"
Deg ....suara itu????
Mata kebiruan Maria berbinar. Elang datang dengan senyum riang dan langsung mencium punggung tangannya, membuat Mitha sedikit bergeser ke kanan karenanya.
"Cucu? Tentu saja mama ingin Lang."
"Kalau begitu mama harus kuat ya." kali ini kepala Maria mengangguk mantap. Terlihat sekali rona bahagia diwajahnya.
"iya.