Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. MUFAKAT
"Ibu," Dila mematung di tempatnya saat ia membaca gerakan bibir wanita yang telah belasan tahun merawatnya dengan penuh kasih.
Tak salah dugakah aku? Ibu membenciku?
"Ruhama! istighfar," seru Yai Sa'id saat wanita yang dikenalnya lembut pada Dilara justru melemparkan perkataan pedas nan menyakitkan bagi putrinya ini.
"Ibu, salahku, maaf." Ezra menghampiri kerumunan didapur yang terlihat kian sempit karena sesak akan banyaknya manusia disana.
"Sudah, kita kedepan saja melanjutkan pembicaraan ini," ajak Yai Sa'id agar semuanya jelas duduk permasalahan.
Ruhama yang terlanjur emosi kini menyesal melihat Dilara hanya menundukkan kepala, baju basah pun tak ia hiraukan. Hijabnya nampak bergeser namun di menit berikutnya gadis itu terlihat membenarkan posisi kerudung yang miring terkena tarikan tangan Ruhama saat memukulnya tadi.
Dila, maafkan ibu sudah kasar dan emosi, Nak....
"Ruhama, tentang niatan Nak Ezra bagaimana? ditanggapi sekarang atau nanti?" tanya Yai kembali.
"Aku ga punya hak, tanyakan saja padanya," ketus Ruhama memicingkan mata pada Dila yang duduk dilantai dekat dengan kursi yang dia tempati.
"Baik ... Dila, dilamar oleh Nak Ezra bersedia?" Yai Sa'id beralih pandang pada Dila.
"Ga baik jika karena terpaksa ... menikah itu bukan perkara yang dapat dijadikan candaan ... banyak kebaikan didalamnya serta ibadah yang akan membawa Dila ke Jannah apabila suamimu redho padamu," tegas Yai sebab Dila hanya diam.
Bagaimana aku dapat bicara, mengangkat kepala saja aku enggan karena tatapan ibu yang menusuk.
Allahumma innaka taqdiru wa laa aqdiru wa laa a’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuubi. Fa in ra aita lii fii Ezra Qavi bin Emery khairan fii diinii wa aakhiratii faqdirhaa lii.
"Dila," panggil Yai lagi.
"Dila, ini." Mita menyodorkan secarik kertas pada gadis berbusana gamis navy itu, bertuliskan wejangan yang baru saja Yai Sa'id sampaikan.
Dilara tersenyum sekilas pada Mita lalu menerima uluran tangannya yang masih menggantung diudara. Ia pun membaca pelan tulisan tangan rapi milik calon adik iparnya.
Hening.
Dia lalu meraih pulpen yang kembali Mita sodorkan padanya saat dirinya rikuh hendak mengambil alat tulisnya kedalam kamar namun ia segan.
Kak Mita, syukron.
Dila menulis lagi, persis di bawah tulisan Mita. Untaian kalimat yang ia torehkan sama rapi nya dengan barisan kata diatasnya.
"Aku menerima lamaran Bang Ezra karena aku menyukainya."
"Aku tidak pernah punya niatan mempermainkan pernikahan Yai, aku hanya menjelaskan perasaanku ... memang aku tidak pantas baginya namun diri ini tak meminta, terlebih mengemis padanya ... Dila hanya mengikuti untaian nasib dari pemilik jagat raya ... jika memang ini takdirku, aku akan menerima ... jikalau pun ini keliru didalam perjalanannya nanti ... Dila yakin dan percaya bahwa semua ini memang sudah diatur oleh-Nya."
"Semua ini Dila kembalikan pada Ibu dan Bang Ezra ... apabila keduanya ridho maka aku melanjutkan ... kiranya Bang Ezra tahu betapa banyak kekuranganku, bahkan mungkin tiada kelebihanku bila disandingkan dengannya, semoga ini adalah keputusan yang benar."
Dilara menyerahkan kertas yang dia tulis pada Yai Sa'id agar beliau membacanya.
Keheningan menjeda lama saat Dilara menulis tadi, hingga hembusan nafas dari setiap insan yang berada dalam ruangan itu nyaris terdengar. Bila saja degup jantung para penghuni yang berselisih tegang ikut menggema, rasanya ruangan ini akan lebih mirip menjadi sebuah studio gelombang ultrasound organ vital manusia.
"Ruhama, bacalah," Yai Sa'id menyerahkan kertas yang baru saja selesai dia baca kepada Ruhama.
Netra wanita paruh baya itu memanas, memejam sesaat sebelum sebaris cairan dingin nan bening luruh membasahi pipi yang mulai terlihat kerut halus dibeberapa bagian wajahnya.
"Dila yakin?" tanya Ibu menyentuh bahu anak gadis yang masih setia menunduk.
"Dila yakin mau nikah sama dia?" pertanyaan yang sama dia ulangi saat wajah ayu sang anak menoleh ke arahnya.
"Iya," jawab Dila lemah takut akan melukai sang Bunda.
"Ya sudah, Yai, dengar penuturan Dila? aku bisa apa jika kalian memaksa ... mungkin ini memang garis nasib putriku...." tunduk Ibu disertai isakan halus.
Dirinya tahu, Dilara terpaksa menikahi Ezra, pasti karena permintaan lelaki itu pada anak gadisnya yang masih lugu.
"Alhamdulillah, Nak Ezra silakan menyerahkan tanda khitbah pada Ibu ... Nak Ezra dan Dila, dilarang menerima pinangan pihak lain ataupun berduaan meski sudah di khitbah ya...."
Allahummaj’al haadzihil khitbah khitbatan mubaarokatan mushlihatan daaimatan abadan zhoohiran wa baathinan awwalan wa aakhiron bi rohmatika yaa arhamar roohimiin.
Setelah Yai Sa'id membaca doa khitbah, prosesi penyerahan lamaran dilakukan oleh Mita dan Ruhama. Gadis itu senang bukan kepalang Dila menerima pinangan kakaknya.
Meski dilingkupi keterbatasan, Mita yakin Dila sanggup menjadi istri yang bisa memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan memberinya banyak keponakan yang lucu.
Dilara juga akan menemani hari-harinya karena usia mereka tidak terpaut jauh sehingga Mita bisa lebih nyaman ketika ia bertukar cerita suatu saat nanti.
Kertas yang ditulis oleh Dilara akhirnya sampai ke tangan Ezra. Lelaki tampan nan gagah itu membacanya pelan, meresapi makna setiap kata yang Dila torehkan disana.
"Pinter juga ya kamu." Gumam Ezra.
Tanpa sadar ujung bibirnya tertarik ke atas melengkungkan sebaris senyum.
"Nak Ezra, ini mau dilanjutkan membahas tanggal nikah atau bagaimana?" Yai said bertanya kembali.
"Aku ingin secepatnya, maka dari itu aku meminta dokumen Dila untuk keperluan pencatatan sipil, Yai ... mengenai tanggalnya silakan ditentukan oleh pihak Yai saja," ujar Ezra kembali menyampaikan maksudnya.
"Ruhama?"
"Baiknya Yai saja, saya manut," gumam Ibu pelan.
"Dijadikan satu dengan rangkaian maulid saja bagaimana? dua hari sebelum acara inti, di pondok ... berarti minggu depan," saran Yai Sa'id pada kedua belah pihak.
"Aku ikut, lebih cepat lebih baik." Tegas Ezra.
"Ruhama?"
"Nggih Yai, monggo," balas Ibu cepat.
"Walimatul ursy atau tidak Nak Ezra?"
"Tergantung Dila, karena ini urusan wanita tapi aku tak keberatan ... mungkin nanti private saja," Ezra menyerahkan keputusan resepsi pada Dila, Mita kembali menuliskan semua yang mereka bicarakan.
"Aku tidak ingin resepsi, aku khawatir tidak bisa menyalami semua tamu Bang Ezra nanti ... juga tak ingin menjadi pusat perhatian." Tulis Dila di kertas yang sama dan diserahkan kembali pada Mita.
Yai Sa'id dan Ezra membaca keinginan Dila yang tertuang disana. Lalu mengabulkannya.
"Baik, sudah tercapai kata mufakat ya ... ana akan mengatur wali hakim bagi Dila nanti ... Nak Ezra, kiranya keluarga inti bisa hadir meski laki-laki bisa menikah tanpa wali namun akan sangat elok jika peristiwa bahagia ini menjadi momentum silaturahim bagi kita semua agar saling mengenal lebih dekat." Pinta Yai Sa'id agar Ezra mengajak ayah kandungnya saat prosesi nanti.
"Baik, Yai ... jika begitu kami permisi, akan aku siapkan segalanya karena waktunya terbatas ... dokumennya, Dila?" Ezra mengalihkan pandangan pada calon istrinya.
Mita meminta Dila menyiapkan semua keperluan untuk proses regulasi pencatatan di dinas terkait.
"Apakah ini sudah benar ya Allah?" batin Dila meragu.
.
.
...___________________________...
⭐⭐⭐⭐⭐