Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duplikat kunci apartemen
Tatapan sinis dari para tetangga membuat bu Fitri mengerutkan kening. Hatinya di penuhi banyak tanya ada apa gerangan sampai mereka menatapnya dengan tatapan menghujam.
Karena bu Fitri merasa tidak memiliki salah terhadap mereka, dia masih bersikap wajar dan biasa saja.
Dengan acuh wanita paruh baya itu memilah sayuran yang selalu lewat depan rumahnya.
"Bu, memangnya kurang apa mantu ibu yang katanya direktur itu, kok bisa si Nara mengkhianatinya" ucap Risma tetangga bu Fitri yang juga tengah memilih sayuran di gerobak tukang sayur.
"Maksud bu Risma apa ya, saya tidak mengerti"
"Mentang-mentang cantik jadi Nara bawa-bawa pria lain masuk ke apartemennya"
"Astaghfirullah, apa sebenarnya maksud bu Risma?" Dengan nada sedikit meninggi, bu Fitri kembali menanyakan maksud dari perkataannya.
"Bu Fitri belum tahu, tentang berita anak ibu yang viral?" tanya ibu-ibu yang lain.
"Berita apa, saya benar-benar tidak tahu, saya tidak main medsos"
"Untuk lebih jelasnya, coba deh bu Fitri tanya ke Nara, apa yang sudah dia lakukan"
Dengan hati bergemuruh, bu Fitri mengacuhkan setiap ucapan para tetangga, tapi tak serta merta membuat pikirannya abai. Ia tetap memikirkan berita yang mereka perbincangkan.
"Totalnya berapa ini pak?"
"Saya hitung dulu ya bu" sahut si tukang sayur. Selang dua menit, dia kembali bersuara. "Totalnya enam puluh lima ribu bu"
"Ini" bu Fitri menyerahkan uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu. "Yang lima ribu kasih oncom ya pak"
"Iya jadi pas ya bu"
"Makasih, permisi"
Ketika baru mengambil tiga langkah menjauh, bu Fitri kembali mendengar gunjingan mereka yang terdengar sangat menyakitkan. Ia berusaha mengendalikan diri untuk tak terpancing dengan ucapan mereka.
"Nara" teriak bu Fitri. Dia yang berada di dapur langsung menghampiri sang ibu begitu mendengar panggilannya.
"Na, coba kamu buka ponsel kamu, ada berita apa di medsos. Mereka bilang ada film pendek yang kamu buat"
"Film apa bu?" Tanya Nara mengernyit.
"Ibu juga kurang paham. Coba buka dulu" titahnya dengan gugup.
Bergegas Nara melangkah menuju kamar dan mengambil ponsel yang ia letakan di atas nakas samping tempat tidur.
"Tidak ada apa-apa bu"
"Apa mereka bohongin ibu Na"
"Iya mungkin. Lagipula film apa si, Na merasa tidak pernah bikin film, apalagi berperan di dalamnya"
Tentu saja video dengan durasi Delapan menit dan enam belas menit itu tidak Nara temukan, sebab para pesuruh Rania langsung mendelete video itu setelah bertahan sekitar sepuluh menit lewat di beranda para penghuni medsos. Karena Rania tak ingin polisi ikut turun tangan dan akhirnya kepalsuan dari video itu justru akan terbongkar.
"Ibu mau masak apa hari ini?"
"Ini, ibu beli ikan bawal, sayur asem sama oncom"
"Ikan bawalnya mau di apain bu?" tanya Nara seraya mengeluarkan belanjaan dari dalam kantong plastik. Baru saja ia mengeluarkan ikan dari sana, Ia langsung berlari menuju kamar mandi karena tidak tahan dengan bau amis yang begitu menyengat.
Hal itu membuat bu Fitri menggelengkan kepala.
"Maaf ya bu, tadi tidak tahan sama bau ikannya"
"Iya, tidak apa-apa sayang, namanya lagi hamil, ibu juga pernah merasakan" Bu Fitri mengatakannya sembari mencuci lima ekor ikan bawal, bibirnya tersungging karena senang dengan kehamilan putrinya. "Ya sudah, ini biar ibu yang masak, kamu tolong buatkan teh jahe untuk bapak"
"Iya bu"
Usai menyeduh teh jahe, Nara menaruhnya di atas meja ruang tv. Setelah itu, ia kembali menuju dapur untuk membantu sang ibu memasak.
"Bapak ada di mana bu?"
"Paling di belakang rumah, tadi bilangnya mau bersihin halaman belakang"
"Apa Na taruh tehnya ke belakang bu"
"Tidak usah, sebentar lagi pasti bapak masuk"
"Masak apa bu?"
Benar saja hanya selang sekian detik setelah bu Fitri mengatakannya, pak Ramdan datang dalam kondisi peluh membasahi kaos bagian punggungnya.
"Sayur asem pak"
Tampak pak Ramdan meraih gelas lalu menuangkan air dan di detik berikutnya, ia meneguk air itu hingga habis.
"Bapak panjang umur, baru saja di omongin eh datang beneran"
"Aamiin kalau bapak panjang umur Na, biar bisa main terus sama cucu"
"Apa ibu juga panjang umur ya pak?"
"Ibu kok ngomong gitu" potong Nara cepat. "Ibu sama bapak akan panjang umur"
"Aamiin" jawab pak Ramdan dan bu Fitri kompak.
"Yuk sekarang kita sarapan dulu" Bu Fitri menyajikan menu masakannya pagi ini. Meskipun terkesan sederhana, namun rasa dari masakannya benar-benar enak dan menggugah selera, membuat pak Ramdan serta Nara berkali-kali memuji masakannya.
"Bu, sepertinya bapak sudah tidak bisa bekerja" ucap Pak Ramdan di tengah-tengah sarapannya.
"Tidak apa-apa pak" jawab sang istri seraya mengunyah makanan. "Kita bisa buka usaha saja di rumah, toh sudah tidak ada kebutuhan yang nilainya tinggi, jadi kita bisa santai cari uangnya"
"Kita hidupin lagi warung bubur ayam ibu gimana?"
"Ide bagus pak"
"Tapi ibu kan sudah tidak boleh terlalu cape, apalagi kalau jualan bubur harus bangun pagi-pagi sekali, sedangkan ibu tidak boleh kedinginan juga?" pungkas Nara mengingatkan. "Ibu ingat kan kalau jantung ibu bermasalah, terkena hawa dingin saja sudah menggigil"
"Kamu tenang saja, ibu akan hati-hati dan tidak terlalu ngebut, tidak seperti dulu yang harus kejar target demi bisa mengirimimu uang ke luar negri untuk keperluan kamu selama sekolah, iya kan pak"
"Betul Na, bapak nanti yang akan bangun pagi, semua nanti bapak yang kerjakan dan ibu cukup mengecek dan mengarahkan cara membuat bubur"
"Tapi kalau boleh Nara kasih saran, bapak berkebun saja di rumah, di belakang kan masih lumayan luas tuh halamannya, nah bapak bisa tanam sayuran di sana"
"ltu ide yang bagus juga Na, paginya bapak jualan bubur, siangnya sampai sore bapak bisa berkebun"
"Loh, kan malah jadi tambah cape pak"
"Bapak rasa tidak, justru bapak akan jenuh kalau tidak ada kerjaan"
"Terserah bapak sama ibu deh, tapi pesan Nara, kalian jangan terlalu lelah, lagi pula kan setiap bulan sudah ada jatah dari mas Tama"
"Kita tidak bisa mengandalkan suamimu Na"
"Tapi ini permintaan mas Tama kok bu"
"Ibu tahu" sahutnya lalu meneguk air dalam gelas. "Tapi tetap saja kami harus bekerja, kami tidak bisa enak-enakan apalagi memanfaatkan menantu kami, tidak bisa. Iya kan pak?"
"Apa yang ibu katakan sangat betul Na, meskipun suamimu pemilik perusahaan besar, tapi kami tidak ingin merepotkan kalian. Kalau kamu dan suamimu memang menjatah kami, akan kami terima, dan kami akan menabungnya. Jika suatu saat kalian membutuhkan uang itu, jadi kami bisa membantu kalian. Ingat nak, orang itu tidak selalu berada di atas, adakalanya roda yang kita tempati berada di bawah, jadi jangan terlalu larut dengan apa yang kita miliki saat ini"
"Kamu juga jangan terlalu bangga sudah menikah dengan Tama" tambah sang ibu "di saat kita senang, ingat juga dimana kita sengsara"
"Iya bu, tapi beneran ya pak bu, kalian jangan terlalu lelah" ujar Nara matanya melirik bu Fitri lalu pak Ramdan. "Na pengin kalian sehat terus, bisa temani Na sampai tua, dan Na bisa merawat masa tua kalian"
"Alhamdulillah, beruntung bapak punya anak sepertimu. Di saat banyak seorang anak yang justru menitipkan orang tua mereka ke panti, kamu justru sebaliknya, ingin merawat kami"
"Bapak sama ibu juga sudah mati-matian berjuang untuk Na meraih cita-cita Na, sampai Na menjadi seperti ini, jadi sudah kewajiban Na berjuang untuk bapak dan ibu"
Pak Ramdan terlihat mengangguk-anggukan kepala, sementara bu Fitri tersenyum bahagia.
"Suamimu bagaimana?"
"Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya di Surabaya pak, Na sangat paham jika ada pekerjaan di luar kota. Dulu Na yang selalu dampingi mas Tama, jadi Na tahu seberapa sibuknya dia"
"Terus sekarang siapa yang selalu menemani Tama, apa ada sekertaris baru?"
"Ada pak"
"Kamu tidak khawatir?"
Tersenyum, sebelum kemudian berkata. "Apa yang harus Na khawatirin pak, kalau sekertaris mas Tama sekarang sepupunya sendiri, pak Aldi"
"Loh kok laki-laki, biasanya sekertaris itu identik wanita kan?"
"Iya pak, mas Tama tidak mau cari sekertaris wanita, jadi dia menunjuk pak Aldika jadi sekertarisnya sekarang"
"Cukup bijak suamimu, kamu harus selalu membuatnya bahagia, dia benar-benar mencintaimu sekaligus sangat menghargaimu"
"Iya pak, itu pasti"
Tak terasa, tahu-tahu mereka telah selesai menyantap sarapan. Dan kini, Nara yang akan mencuci semua piring bekas mereka makan. Tadinya bu Fitri melarang putrinya untuk melakukan pekerjaan, karena kondisinya yang lemah bawaan hamil, tapi Nara memaksanya dan meyakinkan sang ibu bahwa dirinya tidak apa-apa.
***
Di tempat lain, bu Rania sudah menyuruh orang untuk mengganti kunci apartemen milik Tama dengan kunci yang baru. Jadi kunci yang saat ini di pegang oleh Nara, benar-benar sudah tidak bisa di pakai.
"Ini yang baru bu, dan ini yang lama"
"Yang lama di buang saja" balas bu Rania sembari menerima duplikat kunci baru.
Bersambung
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻