Barbar Queen & Sang Ceo Kejam

Queen melangkah menghampiri Roland yang sudah ketakutan setengah mati. Pria gemuk itu mundur dengan tubuh gemetar, lututnya nyaris tak mampu menopang berat badannya sendiri.

“Queen, maafkan aku… aku berjanji tidak akan datang lagi,” ucap Roland terbata, suaranya pecah oleh rasa takut.

Darah mengalir dari pelipis Queen, membasahi pipinya dan menetes ke punggung tangannya yang masih menggenggam tongkat besi. Tatapannya dingin, tidak ada sedikit pun belas kasihan.

“Kau datang melukaiku dan rekan-rekan kerjaku,” ucap Queen datar, napasnya berat. “Dan dengan satu kata maaf, kau pikir aku harus memaafkanmu? Jangan bermimpi.”

Tanpa ragu, Queen mengayunkan tongkat besi itu ke kepala Roland.

Brak!

Tubuh gemuk pria itu langsung tumbang ke tanah. Ia menjerit kesakitan, penglihatannya buram, darah mengalir dari kepalanya dan membasahi aspal. Roland menggeliat lemah, tidak lagi mampu melawan.

Namun setelah satu ayunan itu, tenaga Queen akhirnya habis. Pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya oleng, lalu ambruk.

“Queen… Queen!” seru Jason panik.

Ia menangkap tubuh Queen tepat sebelum gadis itu jatuh sepenuhnya ke lantai. Jason langsung menggendongnya, wajahnya dipenuhi kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Beri mereka pelajaran,” perintah Jason dengan suara dingin dan penuh amarah sebelum melangkah menuju mobil.

Rey segera membuka pintu, lalu masuk ke kursi pengemudi. Mobil melaju meninggalkan gudang dengan kecepatan tinggi.

Sementara itu, pengurus gudang dan para karyawan terdiam, menatap punggung Jason yang menghilang dengan wajah penuh tanda tanya.

“Apa sebenarnya hubungan mereka?” tanya sang pengurus dengan suara rendah.

Seorang karyawan wanita mendengus sinis. “Apa jangan-jangan Queen itu wanita simpanan bos? Sampai-sampai dia secemas itu.”

Wajah pengurus langsung mengeras.

“Jaga mulutmu,” bentaknya pelan namun tegas. “Jangan bicara sembarangan kalau tidak ingin celaka.”

Rumah sakit.

Lorong IGD terasa sunyi dan dingin. Jason berdiri tegak di depan ruang darurat, tangannya mengepal sejak Queen dibawa masuk. Rey berdiri tak jauh di belakangnya, sesekali melirik pintu yang masih tertutup rapat itu.

“Bos, apa perlu kita hubungi Zoanna?” tanya Rey hati-hati, memecah keheningan.

Jason menoleh tajam, sorot matanya dingin dan keras.

“Tidak perlu,” jawabnya singkat. “Dia bukan ibu yang baik. Lebih baik Queen menjauh darinya.”

Jason kembali menatap pintu ruang darurat, rahangnya mengeras.

“Mengenai proses perceraiannya, bagaimana?” tanyanya kemudian.

“Pengacara Robert sedang mengurus semuanya. Besok akan ada persidangan,” lapor Rey. “Dengan kondisi Nona Queen, sepertinya dia tidak akan bisa hadir.”

“Queen tidak perlu hadir,” kata Jason tegas. “Wanita itu akan menyelesaikan masalahnya dengan bantuan Robert. Kalau bukan karena Queen, aku tidak akan tertarik ikut campur.”

Nada suaranya datar, namun Rey tahu—di balik ketenangan itu, Jason sedang menahan amarah dan kekhawatiran yang besar.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang darurat terbuka. Seorang dokter keluar sambil melepas sarung tangannya. Jason dan Rey langsung melangkah mendekat.

“Apakah Anda keluarga pasien?” tanya dokter itu profesional.

“Saya keluarganya,” jawab Jason tanpa ragu. “Bagaimana kondisinya?”

Dokter mengangguk pelan.

“Pukulan yang dialami pasien cukup keras. Dia perlu beberapa waktu untuk dirawat di sini. Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan dua hari lagi untuk memastikan kondisinya stabil.”

Jason menahan napas, matanya tak berkedip.

“Untungnya tidak ada pendarahan serius,” lanjut dokter itu. “Namun kami tetap harus memastikan tidak ada dampak pada jaringan saraf otaknya.”

Jason mengepalkan tangannya semakin kuat.

“Pastikan dia mendapat perawatan terbaik,” ucapnya dingin namun penuh tekanan.

“Tentu,” jawab dokter itu singkat sebelum berlalu.

Jason berdiri kaku di depan pintu ruang perawatan. Sorot matanya gelap, penuh amarah yang tertahan.

“Cari orang yang memukulnya,” ucap Jason dengan suara rendah namun mengandung ancaman mematikan, “dan bunuh.”

“Baik, Bos,” jawab Rey tanpa ragu. Ia segera berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan lorong rumah sakit yang kembali sunyi.

Jason tidak bergerak. Pandangannya menembus pintu kaca buram ruang perawatan, seolah bisa melihat tubuh Queen yang terbaring lemah di baliknya. Perlahan, kemarahan di wajahnya berubah menjadi kesedihan yang dalam.

Ia mendekat satu langkah, menempelkan telapak tangannya ke dinding dingin rumah sakit.

“Queen…” gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

“Kau bahkan belum mengingat siapa aku.”

Jason menghembuskan napas panjang, dadanya terasa sesak.

“Aku menunggumu selama bertahun-tahun,” lanjutnya pelan, penuh penyesalan. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi meninggalkanku lagi.”

Matanya memerah, namun tidak setetes air mata pun jatuh.

“Selama bertahun-tahun aku melindungimu… memantau hidupmu dari kejauhan. Semua aktivitasmu aku tahu,” ucapnya lirih, penuh kepedihan. “Tapi saat akhirnya kau ada tepat di depan mataku… kau malah terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.”