Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Nyaris
Pukul 08:00 tepat.
Juan menjemput.
Bukan dengan SUV hitam yang biasa dia pakai untuk latihan.
Kali ini, dia membawa sedan coupe dua pintu berwarna abu-abu metalik. Sebuah monster mesin Jerman yang berteriak "anak muda kaya raya" dari setiap lekuk bodi aerodinamisnya.
Mesinnya menderu rendah, menggetarkan kaca jendela kamar kos Yuni.
Yuni keluar dari gerbang kos dengan koper kecilnya. Roda koper itu berbunyi gluduk-gluduk di atas aspal gang yang tidak rata, suara yang sangat kontras dengan kehalusan mobil Juan.
Dia memakai outfit hasil "transformasi Cinderella" kemarin.
Celana kulot kain berwarna krem yang jatuh sempurna, atasan turtleneck lengan pendek berwarna marun yang memberikan kesan leher jenjang, dan blazer kasual yang disampirkan di bahu.
Dia melengkapi penampilannya dengan kacamata hitam besar yang dia beli diskonan (tapi terlihat mahal karena bentuknya yang klasik) dan sepatu loafers baru yang untungnya cukup nyaman.
Rambutnya dicepol rapi dengan sedikit helai yang sengaja dibiarkan jatuh membingkai wajah. Gaya messy bun yang butuh waktu 30 menit untuk terlihat "tidak sengaja".
Juan menurunkan kaca jendela.
Dia menatap Yuni dari balik kacamata hitam aviator-nya.
"Wow," katanya singkat. Tidak ada nada mengejek kali ini.
"Apa?" tanya Yuni, membuka pintu mobil yang terasa berat dan solid.
"Kamu terlihat seperti... istri muda pejabat yang mau arisan di Plaza Senayan."
Yuni melempar tas tangannya ke pangkuan Juan. "Itu gaya 'elegan' yang kamu minta, Tuan Muda. Jangan protes."
Juan tertawa. Dia memindahkan tas itu ke kursi belakang dengan hati-hati.
"Masuk. Perjalanan panjang. Dan AC-nya dingin, jadi pakai blazer-mu dengan benar."
Yuni masuk.
Duduk di mobil itu seperti masuk ke dalam kepompong kemewahan. Jok kulit asli memeluk punggungnya. Wangi interiornya adalah campuran samar leather conditioner, cologne Juan, dan sisa aroma kopi mahal.
"Siap?" tanya Juan. Tangannya mencengkeram setir kemudi yang dilapisi kulit.
"Nggak akan pernah siap," jawab Yuni jujur.
Juan menginjak gas.
Mobil melesat meninggalkan gang sempit itu, membawa Yuni menjauh dari realitas kos-kosan menuju dunia yang sama sekali berbeda.
Dua jam perjalanan.
Mereka terjebak macet di Ciawi.
Khas akhir pekan. Deretan mobil plat B mengular, memuntahkan asap knalpot ke udara pegunungan yang seharusnya segar.
Suasana di dalam mobil hening. Tegang.
Juan mengetuk-ngetukkan jarinya di setir mengikuti irama lagu jazz instrumental dari sistem audio mobil yang jernih. Ketukannya tidak beraturan, tanda kegelisahan.
Yuni membolak-balik file skenario yang sudah dicetak di pangkuannya. Kertas itu sudah lecek di bagian sudutnya karena sering diremas.
"Berhenti baca," kata Juan tiba-tiba, mematikan musik.
"Aku takut lupa. Poin tentang nama anjing tetanggamu itu tricky."
"Kalau kamu baca terus, kamu malah kelihatan kayak lagi ngafalin naskah ujian. Santai aja. Natural."
"Gampang buat kamu ngomong. Ini keluargamu. Kamu tahu medannya."
Juan menghela napas. Dia menoleh ke Yuni.
"Yuni."
"Apa?"
"Kita tim. Ingat itu. Di sana nanti, cuma kita berdua lawan dunia."
"Kalau aku jatuh, kamu jatuh. Jadi aku nggak akan biarin kamu jatuh. Aku akan cover kamu."
Kata-kata itu terdengar solid. Meyakinkan.
Yuni menatap Juan. Di balik kacamata hitamnya, dia melihat rahang Juan yang mengeras. Dia juga takut.
"Oke," kata Yuni pelan.
Tiba-tiba, perut Yuni berbunyi. Keras. Kruyuk.
Suara itu memecah ketegangan seketika.
Juan menoleh, alisnya terangkat.
"Belum sarapan?"
"Tadi pagi mual. Gugup. Nggak bisa makan."
"Kita berhenti di Rest Area depan. Cari kopi dan roti. Gula darah rendah bikin otak lemot."
"Jangan yang ramai," pinta Yuni. "Aku belum siap ketemu orang. Aku masih merasa pakai kostum."
"Tenang. Rest Area KM 45 biasanya sepi jam segini. Orang-orang kaya biasanya langsung bablas ke vila mereka."
Juan membelokkan mobil ke Rest Area.
Dia parkir di depan sebuah kedai kopi waralaba terkenal. Sesuai prediksi, parkiran tidak terlalu penuh.
"Tunggu di sini," kata Juan. "Aku pesanin."
"Aku ikut. Mau ke toilet. Cek makeup."
Mereka turun.
Yuni merapikan bajunya di pantulan kaca mobil. Memastikan tidak ada kerutan. Mengecek lipstiknya.
Sempurna.
Tidak ada jejak Yuni si anak kos yang makan mi instan tadi malam. Yang berdiri di sana adalah Yuni, calon menantu idaman (palsu).
Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk.
Juan, secara otomatis, menggenggam tangan Yuni.
Interlocking fingers.
Yuni tersentak sedikit, tapi tidak menolak. Tangannya pas di sela jari Juan. Hangat dan kering.
Mereka masuk ke kedai kopi yang dingin dan beraroma biji kopi panggang.
Antrean cukup panjang, ternyata.
Mereka berdiri dalam diam, tangan masih bertautan.
"Mau apa?" bisik Juan.
"Caramel Macchiato," jawab Yuni. (Itu minuman favorit 'Yuni' di skenario. Aslinya dia suka kopi tubruk yang pahit dan kental).
"Bagus. Konsisten. Jangan sampai pesan Es Teh Manis di sini."
Tiba-tiba, pintu kaca otomatis terbuka.
Seorang wanita paruh baya dengan setelan olahraga branded warna neon keluar dari antrean di depan mereka. Dia berbalik cepat sambil memegang dua cup kopi panas di tangan kanan dan kirinya.
Dan menabrak bahu Juan.
"Aduh!"
Kopi panas itu tumpah sedikit, memercik ke lengan kemeja linen Juan dan sedikit ke lantai.
"Maaf, Mas, saya nggak... aduh, panas..."
Wanita itu mendongak, menurunkan kacamata hitam oversized-nya yang bertabur kristal Swarovski.
Mata yang tajam dan berlapis eyeliner tebal itu membelalak.
"Juan?"
Juan membeku.
Genggaman tangannya pada Yuni mengerat. Sangat erat hingga tulang jari Yuni terasa sakit.
Yuni melihat wajah Juan memucat seketika, seolah darahnya disedot keluar.
"Tante... Lisa?"
Yuni menahan napas.
Tante Lisa.
Nama itu ada di file skenario halaman 8.
Tante Lisa: Adik ayah Juan. Status: Janda kaya, sosialita. Karakteristik: Nyinyir, judgmental, suka membandingkan orang. Bahaya Level: Tinggi.
Bos level 1 muncul bahkan sebelum mereka sampai di kastil.
Wanita itu, Tante Lisa, tidak peduli pada kopinya yang tumpah.
Dia menatap Juan, lalu menatap noda kopi di baju Juan dengan tatapan mencela, lalu... matanya jatuh pada Yuni.
Tatapan itu.
Yuni merasakannya secara fisik.
Seperti scanner bandara yang mencari barang selundupan.
Menyapu dari ujung rambut, ke kacamata, ke baju, ke tas, sampai ujung sepatu.
Menilai harga baju. Menilai merek sepatu. Menilai keaslian tas.
Dan terakhir, menatap tautan tangan mereka yang erat.
"Ya ampun!" seru Tante Lisa, suaranya melengking, menarik perhatian beberapa orang. "Dunia sempit banget! Juan Adhitama di Rest Area pinggiran?"
"Tante... ngapain di sini?" tanya Juan. Suaranya sedikit goyah, kehilangan wibawa "Raja Teknik"-nya.
"Tante mau ke vila juga dong. Konvoi sama Om Pras di depan. Biasalah, mobil Om Pras mogok lagi, minta ngopi dulu."
Dia menunjuk ke luar jendela dengan dagunya. Ada deretan mobil mewah di parkiran VIP.
"Lho, ini siapa?"
Tante Lisa menunjuk Yuni dengan ujung kukunya yang dimanikur sempurna.
Ini dia.
Ujian pertama. Tanpa persiapan. Tanpa naskah.
Yuni merasakan tangan Juan berkeringat dingin.
Juan membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Dia blank. Ketakutan masa kecil terhadap tantenya mengambil alih.
Yuni sadar.
Juan panik.
Jika Juan diam, mereka tamat. Tante Lisa akan mencium ketakutan itu seperti hiu mencium darah.
Yuni harus mengambil alih.
Dia menarik napas dalam-dalam. Mengaktifkan mode "Yuni V.3.0".
Dia tersenyum.
Senyum sopan, manis, tapi percaya diri. Senyum yang dia latih di cermin retak.
Dia mengulurkan tangannya yang bebas (tangan satunya masih digenggam erat oleh Juan, seolah Juan bergantung padanya).
"Halo, Tante," sapa Yuni. Suaranya tenang, rendah, dan terkontrol. Mengejutkan dirinya sendiri.
"Saya Yuni."
Tante Lisa menatap tangan Yuni sebentar, seolah menimbang apakah tangan itu layak dijabat.
Akhirnya dia menjabatnya sekilas. Tangannya dingin dan penuh cincin berlian yang keras.
"Yuni? Teman kuliah Juan? Teman organisasi?"
"Pacar, Tante," koreksi Yuni lembut, tapi tegas.
Alis Tante Lisa naik hampir menyentuh garis rambutnya yang disasak tinggi.
"Pacar?"
Dia menoleh ke Juan dengan tatapan menuntut. "Juan? Kamu bawa pacar? Kok Tante nggak tahu? Kok nggak ada di grup keluarga?"
Juan akhirnya menemukan suaranya kembali, berkat keberanian Yuni.
"Iya, Tan. Ini... kejutan buat Oma. Makanya nggak dibilang di grup."
"Kejutan?" Tante Lisa tertawa. Tawa kering yang tidak enak didengar.
"Oma benci kejutan, Juan. Kamu tahu itu. Ingat waktu sepupumu bawa pacar DJ itu? Diusir sebelum masuk pagar."
Dia kembali menatap Yuni, kali ini lebih tajam. Mencari celah.
"Anak mana kamu, Manis?"
"Sastra, Tante. Universitas yang sama dengan Juan."
"Sastra?" Hidung Tante Lisa berkerut, seolah mencium bau busuk. "Sastra apa? Mau jadi apa? Penulis novel picisan?"
Yuni merasakan hinaan itu. Menusuk ego akademisnya.
Tapi dia ingat instruksi Juan di lounge hotel. Jangan marah. Jangan minder. Framing.
Yuni tidak mundur. Dia menatap mata Tante Lisa.
"Penulis atau Editor, Tante," jawab Yuni.
"Dunia butuh orang yang merapikan cerita dan bahasa, kan? Sama seperti dunia butuh insinyur untuk merapikan bangunan. Kalau bahasanya kacau, komunikasinya runtuh. Sama bahayanya dengan gedung runtuh."
Juan menoleh ke Yuni. Matanya membelalak sedikit. Itu jawaban yang cerdas.
Tante Lisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka.
Dia tidak menyangka akan didebat. Biasanya gadis-gadis yang dibawa keponakannya hanya akan tertunduk malu atau terkikik bodoh.
"Hm," gumam Tante Lisa. "Boleh juga omonganmu. Tajam."
Dia melihat jam tangannya yang bertabur berlian.
"Ya sudah. Tante ditunggu Om Pras. Dia pasti sudah ngomel kopinya lama."
Dia menepuk pipi Juan. Keras. Tepukan yang merendahkan.
"Hati-hati ya, Juan. Jangan bikin malu keluarga nanti malam. Baju kamu kotor tuh."
"Dan kamu," dia menunjuk Yuni. "Siapa tadi? Yuli?"
"Yuni, Tante."
"Ya, Yuni. Good luck. Oma lagi bad mood hari ini. Kolesterolnya naik, sahamnya turun."
Tante Lisa tertawa lagi, lalu berjalan pergi dengan langkah angkuh, sepatu sneakers mahalnya berdecit di lantai.
Juan dan Yuni berdiri mematung di tengah kedai kopi.
Hening.
Orang-orang di sekitar mereka kembali ke urusan masing-masing, tidak sadar baru saja ada pertempuran kelas sosial di dekat meja kasir.
Sampai pintu otomatis tertutup di belakang Tante Lisa.
Juan melepaskan tangan Yuni.
Dia membuang napas panjang. Seperti balon yang kempes. Bahunya turun drastis.
"Sial," umpatnya. "Sial, sial, sial."
"Itu... Tante Lisa? Yang di file halaman 8?" tanya Yuni, memastikan.
"Iya. Mulut paling berbisa di keluarga Adhitama. CCTV berjalan."
Juan menatap Yuni. Ada kilatan kekaguman di matanya.
"Kamu..."
"Apa?"
"Jawaban tadi. Soal insinyur dan editor. Itu nggak ada di skenario."
"Itu improvisasi. Kenapa? Salah?" Yuni panik sedikit. "Aku terlalu agresif?"
"Nggak," kata Juan.
Dia menggelengkan kepala, seolah tidak percaya.
"Itu brilian."
"Dia diam. Tante Lisa diam. Itu rekor dunia. Biasanya dia bakal nyeramahin orang sepuluh menit soal 'masa depan suram'."
Yuni merasakan lututnya lemas.
Adrenalinnya mulai surut, digantikan rasa gemetar di kakinya.
"Aku mau muntah," kata Yuni jujur.
"Jangan di sini," kata Juan cepat, memegang siku Yuni. "Jangan ngerusak image."
"Ayo ke mobil. Kita beli kopi drive-thru aja di tempat lain yang jauh dari sini."
"Kita harus jalan sekarang sebelum dia sadar dan balik lagi buat nanya nama bapakmu atau ngecek merek tasmu."
Mereka setengah berlari kembali ke mobil.
Masuk ke dalam kabin yang aman dan kedap suara.
Juan menyalakan mesin. AC menyembur dingin.
Tangannya masih gemetar sedikit saat memegang setir. Trauma masa kecil menghadapi Tante Lisa ternyata masih ada.
"Itu... nyaris," kata Juan, menatap kaca spion, memastikan Tante Lisa tidak mengikuti.
"Nyaris banget," sahut Yuni, menyandarkan kepalanya.
"Kamu nyelamatin kita, Yun. Kalau aku tadi gagap, dia bakal curiga."
Yuni memejamkan mata.
"Sama-sama, Tuan Muda."
"Satu musuh tumbang," gumam Juan, memundurkan mobil dengan kasar.
"Tinggal... lima puluh lagi di vila. Termasuk Bos Terakhir."
Yuni mengerang panjang.
Mobil melaju keluar dari Rest Area, kembali ke jalan raya yang kejam.
Nyaris.
Benar-benar nyaris.
Tapi di balik rasa takut itu, ada perasaan lain yang tumbuh di dada Yuni.
Rasa bangga. Dan rasa memiliki kendali.
Dia bukan sekadar bidak. Dia adalah pemain.
Dia bisa melakukannya.
Dia bisa menghadapi mereka.
Setidaknya, untuk satu ronde ini, dia menang.