Malam itu aku hanya bisa melihat suamiku pulang kembali ke rumah istri sahnya. Meski kecewa aku tidak marah, kami menikah siri enam tahun lalu saat aku bahkan belum lulus SMA. Demi karirnya suamiku rela menikah dengan anak pemilik rumah sakit tempatnya bekerja.
Kadang aku bertanya, kenapa aku yang istri pertama harus mengalah?
Enam tahun kami menikah, aku tidak dikaruniai seorang anak. Aku yang sebatang kara ini hanya bisa bergantung hidup pada suamiku. Lagi pula aku sangat mencintainya hingga rela di madu. Tapi, lambat laun hatiku terasa begitu hancur dan remuk, apalagi saat mengetahui kalau vitamin pemberian suamiku sebenarnya adalah obat KB agar aku tidak memiliki anak dengannya.
Aku melihat wanita itu, wajah cantik, kulit putih, dan pembawaan yang anggun. Siapa yang tidak menyukai wanita secantik ini??
Dari pakaian dan juga penampilannya sudah pasti dia adalah wanita kaya, mana mungkin aku yang hanyalah seorang satpam bisa menaruh hati padanya?
Tapi, wanita ini terlalu menarik perhatian, terlalu susah untuk tidak mengagumi kecantikannya, terlalu susah untuk tidak menyukainya. Siapakah yang akan memiliki wanita itu??
Hasrat ini harus disembunyikan, di tekan, jangan sampai membuatnya sadar, kalau aku menyukainya.
Bila mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku tak ingin menjadi benar. ~ Raksa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Devy Meliana Sugianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit Kok Bahagia
Mira duduk di depan Raksa, menikmati coklat panas yang Mira buat. Raksa menutup diri dengan selimut dan celana pendek, seragamnya tengah berputar di dalam mesin pengering pakaian. Mira sudah berganti pakaian kering, ia juga menikmati coklat panas agar rasa dingin setelah kehujanan ini menghilang.
Raksa yang tak pandai bertutur kata hanya bisa diam, namun banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Kenapa bertahan kalau memang rasanya sesakit itu?
"Cinta bisa jadi anugrah, tapi dalam hidupku, cinta adalah harga yang tak pernah bisa aku bayar." Mira membuka mulut, ia tahu apa yang ada di dalam benak Raksa. Pasti pria itu bertanya, alasannya menikah dan bertahan dengan Ardan.
"Kenapa tidak bisa di bayar?" Raksa kembali bertanya.
"Karena Mas Ardan pernah menyelamatkan nyawa ibuku, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Mungkin hanya dengan bunuh diri, aku bisa membayar hutangku pada Mas Ardan." Mira menggenggam gelas yang hangat itu.
Tatapan matanya kembali sayu, rambutnya yang basah masih meneteskan sisa air hujan.
Raksa suka menatap wajah Mira saat ini, namun ia jauh lebih suka kalau Mira tersenyum. Raksa ingin membuat Mira kembali tersenyum.
TING!
Bunyi mesin pengering menandakan kalau pakaian Raksa sudah bisa di pakai kembali. Mira bergegas mengambil pakaian Raksa untuk di pakai.
"Terima kasih." Mira merasa berterima kasih pada Raksa karena pria itu menyelamatkannya. Bahkan mau mendengar cerita singkatnya. Cukup melegakan, seorang teman baru dalam dunia Mira yang sempit.
Raksa menatap Mira, ia ingin dari sekedar kata terima kasih, namun Raksa bisa apa? Mira sudah kembali menutup diri dengan mengatakan alasannya tidak bisa melepaskan diri dari Ardan.
"Cari saja aku bila kau butuh sesuatu." Raksa pamit pada Mira.
Mira tersenyum hangat dan melepaskan kepergian Raksa.
.
.
.
Di Villa Wijaya.
Raksa duduk di depan televisi sambil berselimutkan bedcover tebal. Ia baru saja pulang bekerja dan membawa virus penyakit. Ketiga adiknya cukup terkesima karena si abang yang terkenal kuat dan sangat jantan itu mendadak letoy dan tumbang.
"Hatching!!" Raksa bersin bersin, terkena flu.
"Beruang berotot seperti Kak Raksa bisa kena flu juga??" Galih menatap Raksa, ikut prihatin.
"Dia masih manusia well... tapi emang sudah lama sekali sejak Kak Raksa sakit, ya. Dengan tubuh sekuat badak itu aku pikir mustahil dia bisa sakit."
"Ayahku bilang, Akhir akhir ini Kak Raksa tidak bisa tidur, dia juga terlalu sering berlatih. Entah apa yang dia pikirkan." Tiara angkat bahu.
Galih dan Delfi --yang juga lelaki-- langsung saling tatap, bila di kaitkan dengan sabun batangan mereka yang sering cepat habis belakangan ini, apakah????
"Gak ... gak mungkin ... gak mungkin Kak Raksa punya pacar." Galih denial.
Lalu saat mereka kembali menoleh, mereka melihat Raksa senyum senyum sendiri. Keduanya kembali bertatapan dengan wajah pucat. Sakit bukannya lemas malah bahagia ... kok bisa?
"Masa sih well??" Delfi mengusap wajahnya. Membayangkan bagaimana kakaknya yang datar dan kaku itu merayu wanita membuat bulu kuduk Delfi meremang.
"Kak Raksa kan ganteng! Sudah wajah donk kalau banyak yang suka." Tiara membela Raksa.
"Iya, asal dia nggak senyum. Coba kau lihat wajahnya yang senyum senyum sendiri itu, lebih seram dari pada pembunuh di serial killer mana pun." Galih menunjuk diam diam wajah kakak pertamanya, Raksa tak terbiasa mengumbar senyuman hingga tersenyum saja bisa membuat ketiganya syok. Padahal Raksa memang pembunuh berantai kan?! Geblek semua emang.
"Tuan Muda, ada surat lagi." Tandi datang, ia bergegas memberikan sepucuk surat berlogo Wijaya kusuma di bagian segel.
Raksa mengeryit, kali ini target datang jauh lebih cepat dari biasanya. Belum genap satu minggu dan target berikutnya sudah di kirimkan. Padahal biasanya mereka membunuh dalam kuartal trimester sekali.
Dengan cepat Raksa membuka segel dan membaca siapa nama yang tertulis di dalamnya.
"Surya Cahyadi, pengusaha tambang yang korupsi sampai merugikan negara sejumlah 271 Triliun. Uangnya di gunakan untuk mendanai kampanye Bayu Lukmono sebagai presiden. Hatching ..." Raksa membaca lalu bersin, membuat ketiga anggota Wijaya yang lain terkekeh.
"Lebih baik Kakak pergi ke dokter dulu deh." Gilang bergeleng melihat ingus Raksa.
"Iya, pergi ke dokter sana!! Aku buat antrian di rumah sakit." Tiara mengheck sistem di rumah sakit hingga Raksa mendapatkan nomor antrian pertama di poli umum.
"Aku anter, Kak!! Kebetulan aku mau memesan beberapa bahan untuk membuat peluru." Delfi mengangkat tangan paling tinggi.
"Baiklah." Raksa menurut, ia juga ingin segera bisa masuk kerja dan bertemu dengan Mira.
......................
Dua hari kemudian..
Mira duduk di kedai kopi dan Raksa berdiri di depan toko perhiasan. Keduanya melakukan rutinitas yang sama namun kali ini ada yang berbeda. Baik Mira mau pun Raksa saling melepaskan senyuman, menyapa dengan ramah.
"Sudah lebih baik, manager bilang kau sakit." Mira menemui Raksa. Kemarin mereka tidak bertemu.
"Ya, hanya flu." Raksa mengangguk.
"Ini, ada vitamin dan kue. Aku belum sempat berterima kasih secara formal karena kau cuti." Mira menyodorkan papper bag dengan kue strawberry yang manis. Raksa menerimanya dengan suka cita.
Setelah memberikan kue itu pada Raksa, Mira pergi hendak kembali ke apartemennya. Baru beberapa langkah, tangan Mira di tarik oleh Ardan.
Pria itu tampak sebal dan sangat kesal pada Mira yang mengacuhkan teleponnya selama dua hari. Sejak gagal bunuh diri, Mira memilih untuk mengacuhkan Ardan. Hal ini membuat hati Ardan tidak tenang di tengah masa kampanye yang begitu sibuk.
Di tambah saat dia datang; Mira tengah memberikan kue pada seorang satpam yang tidak ia kenal.
"Jadi begini caramu membuat perhitungan denganku, Mira!! Kau benar benar kekanak kanakan!!" Ardan menyeret Mira ke parkiran basement. Ia memojokkan Mira hingga membentur body mobil sedan mewahnya.
"Aku bicara aku salah!! Aku diam pun aku salah!! Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku, Mas?? Apa masih belum cukup pengorbananku selama ini?? Aku selama ini juga hanya diam saja saat kau bersama dengan istri sah-mu itu!" Mira kini berani membantah, entah dari mana datangnya keberanian Mira.
Aku juga hanya diam saja saat ia mengataiku sebagai p3lacurmu! Jerit Mira dalam hati.
"Aku tidak suka melihatmu tersenyum pada satpam itu!! Aku tidak suka melihatmu tersenyum pada pria lain!! Aku ini suamimu!! Kau hanya boleh menangis dan tersenyum di depan ku! Kau pahamkan??!" Ardan berteriak pada Mira.
"Bukankah kau bilang di depan istrimu kalau kau tidak mengenalku?? Lantas kenapa aku bahkan tidak boleh tersenyum pada orang lain, hah??" jerit Mira balik.
"Karena aku mencintaimu, Mira!! Selamanya kau hanya milikku! Tidak ada yang boleh melihat senyumanmu selain aku! Aku suamimu!" bentak Ardan.
Dasar munafik kamu, Mas!! Kau mengatakan cinta padaku! Tapi kau tak pernah mau melepaskan Jenna atau pun melepaskanku!! Mira berdecih dalam hati, lewat tatapan matanya ia menantang Ardan dengan begitu berani.
"Setidaknya senyuman satpam itu lebih tulus darimu." Mira menghempaskan tangan Ardan.
Ardan mengangkat tangannya, ia hampir saja melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Mira karena cemburu Mira memuji orang lain di depannya. Namun tangan Ardan tertahan oleh sesuatu.
"Jangan memukul wanita, Tuan. Apa orang tua Anda tak pernah mengajarkan hal dasar itu kepada Anda?" Raksa menahan tangan Ardan. Tangan itu terlalu kuat hingga Ardan bahkan tak bisa menggerakkannya barang semili pun.
Keduanya terlibat saling tatap dengan mata tajam masing masing. Mira terbelalak melihat Raksa nekat membelanya.
"Hanya pria pengecut yang memukul wanita." Raksa menghempaskan tangan Ardan dan menyembunyikan Mira di belakang tubuh kekarnya.
......................
keknya semua novel yg aku baca pada pake sabun batang 🤣