Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oma tidak Setuju
Mercedes Benz yang ditumpangi Garda baru saja menepi ke carport rumah utama keluarganya. Siska, sang ibunda, memintanya untuk sarapan di rumah utama pagi itu. Padahal dia sudah melewati sarapan bersama Bening beberapa jam lalu. Paling nanti dia hanya akan meminta dihidangkan kopi.
"Ardo?" tegurnya pada sang sopir.
"Ya, Pak? Ada yang kelupaan?"
"Tolong carikan saya kamar indekos di dekat kantor kita. Cari yang harganya mahal dan fasilitasnya lengkap. Juga tidak terlalu jauh dari minimarket tempat Bening bekerja," tukas Garda. Kemudian ia tampak berpikir sesaa sebelum mendorong pintu mobil untuk keluar. "Kalau tidak ada di dekat kantor, cari yang di dekat minimarket."
"Baik, Pak Garda."
Lantas pria berjas abu-abu pekat itu turun dari mobil. Ia harus bersiap menemui ibunya.
Rumah utama keluarga Kadityanegara terdiri dari dua lantai. Tampak sederhana, tetapi penuh dengan perabot. Interior modern di pilih oleh mendiang ayahnya setelah beberapa kali direnovasi. Dulu Garda tinggal di situ sebelum menikah dan memiliki Nata. Bisa dibilang, itu adalah rumah masa kecilnya.
Ada kolam ikan koi kecil di taman halaman depan. Dulu ayahnya sangat menyukai segala jenis ikan hias. Bahkan punya satu ruangan khusus untuk menyimpan akuarium dan ikan-ikannya. Ruangan itu masih dijaga sampai saat ini, meski ayahnya sudah tiada.
"Papa!" seru Nata dari arah meja makan.
"Natasha, nggak baik berteriak-teriak di depan makanan." Siska memprotes setelah menyesap teh hangat. Ia pun melirik sang cucu.
"Hehe, maaf Oma. Abisnya Papa lama banget. Keburu laper. Aku harus ke kampus lebih pagi."
Garda mendekat, melepas jas dan menyampirkan ke punggung kursi. Tersisa kemeja putih di tubuhnya. Pria itu menggelung lengan kemeja hingga sebatas siku. Lantas duduk di kursi dekat Nata.
"Maaf, di jalan agak macet," tukasnya.
"Nggak masalah karena kamu juga sudah di sini. Ayo, sarapan!" ajak Siska
Selama sekian detik ketiganya disibukkan dengan makanan yang tertata di meja makan. Atensi Siska beralih ke arah sang putra yang mendadak meminta dibuatkan kopi oleh seorang asisten rumah tangga. Tak biasanya Garda melakukan itu.
"Tumben kopi saja?" Siska menegur.
"Yeah agak kenyang. Nanti sarapan di kantor aja."
Nata menyipitkan mata ke arah sang ayah. "Papa nggak lagi diet buat narik perhatian seseorang, kan? I mean seorang wanita?"
Pertanyaan Nata lantas membuat Siska juga melirik putranya. Sudah lama sejak perceraiannya, Siska tak pernah mendengar Garda membicarakan seorang wanita lagi. Apalagi sekarang Nata sudah dewasa, sudah berkuliah, mungkin saja setelah bertahun-tahun Garda butuh seorang wanita?
"Bukan, Nata. Kamu jangan sembarangan bicara, dong. Papa kan pengen ngopi doang," katanya.
"Mama akan sangat senang kalau kamu bisa mengenalkan seorang wanita lagi, Garda. Udah lama Mama nggak bertemu seorang wanita yang kamu anggap spesial," ucap Siska.
Garda mengibaskan tangan di depan wajah setelah mengucapkan terima kasih kepada asisten ruma tangga yang menyajikan kopi. "Perusahaan sedang sibuk. Saya nggak ada waktu untuk hal semacam itu, Ma."
"Euh, dasar Papa. Awas aja nanti kalau Papa kaget aku yang duluan mengenalkan pacar ke Oma," celetuk Nata.
"Sebelum bertemu Oma, dia harus melewati Papa dulu." Garda menyesap kopinya.
Siska tersenyum melihat interaksi sang putra dan cucu satu-satunya. Rumah utama sering sepi karena keduanya memilih tinggal di rumah terpisah dari Siska. Meski begitu, untungnya di beberapa kesempatan mereka masih bisa sarapan, makan malam, atau berlibur bersama.
"Kamu masih muda untuk pacaran-pacaran, Nata. Fokus saja kuliah," ujar Siska.
"Cih! Oma kayak nggak pernah muda aja. Lagipula kalau aku punya pacar, aku kan kencannya nggak berdua. Bisa double date sama Bening. Nanti sekalian Bening aku kenalkan ke cowok, deh."
Mendengar ucapan putrinya, Garda melotot saat menyesap minuman. Nyaris saja ia terbatuk-batuk. Enteng sekali Nata berucap.
Awas saja kalau sampai ia berani mengenalkan Bening dengan pria di luar sana.
"Ngomong-ngomong tentang temanmu itu. Apa nggak terlalu berlebihan membiarkannya terus di rumah kalian?" Siska memotong roti di piringnya. "Menurut Oma, kala keseringan dibantu begitu, nanti yang ada ketergantungan sama kamu Nata. Zaman sekarang, sulit mengetahui orang yang tidak tahu diri dan benar-benar berterima kasih."
Garda hendak memprotes, tetapi kekagetan dan kekesalannya akibat ucapan sang ibu justru diwakilkan oleh Nata.
"Oma, jangan bicara seperti itu, dong. Bening itu sahabat aku. Aku yang mau tolong dia da dia nggak bergantung pada aku dan Papa. Dia anaknya baik banget, tau terima kasih, dan yang jelas nggal seperti apa yang Oma katakan." Nata terlihat tidak minat lagi pada sarapannya. Ia menggeser piring dan bersandar ke punggung kursi.
"Benar, Ma." Garda akhirnya bicara. "Kalau ada Bening di rumah, Nata nggak akan kesepian kalau saya dinas ke luar kota atau luar negeri."
"Tapi, tetap saja ... Mama nggak setuju kalau dia menumpang di rumah kalian. Apalagi jika terlalu lama," cetus Siska.
"Menumpang?" Garda meletakkan cangkir kopi. "Bukan seperti itu, Ma. Bening sedang ada masalah, ada musibah, Nata pasti ingin membantu sahabatnya."
"Benar, tuh!" Nata mengangguk setuju.
"Rumah kalian bukan penampungan."
"Oma!" sergah Nata karena omongan neneknya. "Udahlah. Aku mau ke kampus. Pokoknya aku nggak suka Oma menganggap Bening seperti itu."
Tanpa berkata apa pun lagi, Bening bergegas meninggalkan meja makan. Tak peduli nanti akan mendapat ceramah dari Garda karena tak sopan pada neneknya sendiri. Kini hanya tersisa Siska dan Garda di sana.
"Lihat anak itu, mirip sekali dengan ibunya," kata Siska.
"Ma ...." Garda menahan kalimat karena ponselnya tiba-tiba bergetar.
Ia merogoh benda pipih itu dan mengecek sebuah pesan masuk dari nomor asing. Namun, begitu membaca isi pesan, sepasang mata Garda membelalak.
Nomor Tak Dikenal: Hai, Sayang, apa kabar? Lama nggak dengar kabar kamu. Gimana Natasha? Aku pengen ketemu dia. Aku di Indonesia sekarang.