NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. Rahasia Yang Akhirnya Di Ketahui

Selena baru tiba di rumah setelah seharian penuh berkutat di butik. Jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam—terlalu larut memang, tapi beberapa klien meminta revisi mendadak untuk gaun yang harus dikirim besok pagi. Begitu membuka pintu rumah, aroma khas lilin aroma terapi lavender menyambutnya, bercampur dengan bau cokelat yang samar-samar.

"Aruuu….Aruuu! Mama pulang!” seru Selena sambil menaruh tas di meja konsol dekat pintu.

Dari dalam rumah terdengar suara kecil membalas, “Mamaaa!” disusul suara langkah kaki kecil yang berlari tergesa. Arunika muncul dengan wajah belepotan warna cokelat, rambutnya berantakan, dan tangan mungilnya memegang sendok plastik.

Selena langsung berhenti di tempat. “Lho… kok muka kamu cemong gini, Nak? Kamu habis makan apa, hmm?” tanyanya penuh selidik, sedikit membungkuk agar sejajar dengan wajah putrinya.

Arunika menatapnya dengan mata bulat penuh polos. “Habis makan cokelat, Ma.”

Selena mengerjap cepat, mencoba memastikan ia tak salah dengar. “Cokelat? Tapi… bukannya jadwal kamu makan cokelat itu hari Minggu, ya? Kok sekarang malah makan, hmm?”

“Tapi tadi Ayah yang kasih, Ma,” jawab Arunika jujur sambil tersenyum manis, pipinya masih belepotan cokelat. “Katanya buat Aru, biar nggak sedih nunggu Mama lama-lama.”

Selena terdiam sesaat. Ia mengalihkan pandangan pada Daren yang berdiri di belakang sofa sambil tersenyum kaku dan menggaruk kepala yang jelas-jelas tidak gatal.

“Kenapa ya, Sel… aku salah, ya?” tanyanya hati-hati.

Selena menarik napas pelan, menahan diri agar suaranya tetap lembut. “Emm, Kak… kan kita udah sepakat untuk ngebatasin makanan manis buat Arunika, ingat? Soalnya dia sering sakit kalau kebanyakan. Kakak juga udah setuju kemarin. Kenapa sekarang malah Kakak yang ngelanggarnya?” ucap Selena pelan, tapi nada kecewanya terasa jelas.

Daren menelan ludah. Raut wajahnya berubah panik. “Aku… aku beneran lupa, Sel. Tadi dia udah pasang wajah puppy eyes gitu, aku nggak tega.”

“Nah itu dia,” jawab Selena sambil melipat tangan di dada. “Setiap kali dikasih wajah puppy eyes sama Arunika, kamu langsung luluh. Kalau kayak gini terus, bisa-bisa tiap hari Arunika makan cokelat dong.”

Daren langsung menunduk, bibirnya meringis. “Maaf, deh. Aku janji nggak bakal ngulangin lagi. Sumpah, Sel.”

Selena mendesah pelan, menahan diri agar tidak memperpanjang. “Aku capek, Kak. Aku masuk kamar dulu, ya,” ucapnya datar lalu beranjak ke kamar, meninggalkan suaminya dan anak mereka di ruang tamu.

Daren hanya bisa memandangi punggung istrinya yang menjauh.

“Ayah… Mama marah, ya?” tanya Arunika pelan, menatap ayahnya dengan mata berkaca.

Daren tersenyum lembut, menahan rasa bersalah yang makin menyesakkan dada. Ia mengusap kepala putrinya pelan. “Nggak kok, sayang. Mama cuma capek. Sekarang yuk, Ayah temenin kamu cuci muka dulu biar bersih. Nanti kita baca buku sebelum tidur, gimana?”

“Boleh!” seru Arunika ceria lagi, seolah tak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi.

Daren menggandeng putrinya ke kamar mandi kecil di dekat dapur. Sementara itu, Selena duduk di tepi ranjang, melepaskan anting dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia menatap langit-langit kamar yang temaram, mencoba meredam perasaan kesalnya.

Ia tahu Daren bukan tipe suami yang cuek atau lalai—justru sebaliknya, terlalu lembut. Tapi terkadang kelembutannya itu justru membuatnya sulit tegas pada anak.

Pintu kamar terbuka pelan. Daren muncul di ambang pintu, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak menyesal.

“Sel… udah bersih kok Aru-nya. Dia udah bobo sekarang,” ucapnya pelan sambil mendekat.

Selena tidak langsung menatapnya. Ia hanya menatap jari-jarinya yang bermain dengan ujung selimut. “Kak, aku ngerti kok kamu cuma nggak tega. Tapi aku bener-bener khawatir sama kesehatan Aru. Kamu tahu kan dia sempat demam gara-gara alergi gula waktu itu?”

Daren duduk di tepi ranjang, mengangguk pelan. “Iya, aku tahu. Dan aku salah. Aku cuma pengin dia senyum waktu nunggu kamu, Sel. Dia nanya terus, ‘Mama kapan pulang?’ dari jam lima sore. Aku cuma pengin ngelihat dia ceria lagi. Tapi ternyata malah bikin kamu kesal.”

Nada lembutnya membuat hati Selena sedikit melunak. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Daren. “Aku tahu kamu sayang banget sama dia. Aku juga sama. Cuma… kita harus bisa tegas bareng-bareng. Aru butuh batas biar nggak gampang sakit lagi.”

Daren menatap mata istrinya lama, lalu mengangguk mantap. “Oke, mulai besok aku nggak bakal ngelanggar jadwal lagi. Cokelat cuma hari Minggu. Janji.”

Selena menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Oke. Tapi aku pengen kamu yang jelasin langsung ke Aru besok pagi, ya. Biar dia ngerti kalau bukan Mama yang marah, tapi memang aturannya begitu.”

“Siap, Bu Guru,” jawab Daren pura-pura hormat, berusaha mencairkan suasana.

Selena akhirnya tertawa kecil, meski lelah masih jelas di wajahnya. “Udah, mandi sana. Bau cokelat.”

“Eh, itu bukan aku, itu Aru—”

“Daren.”

“Baik, baik. Aku mandi.”

Daren langsung berdiri, pura-pura lari kecil menuju kamar mandi. Selena menggeleng sambil tersenyum tipis, hatinya perlahan menghangat. Kadang, meski kesal, ia tahu—keluarganya ini memang sumber bahagia yang tak ternilai.

 

Malam itu, setelah Arunika tertidur Selena duduk di balkon kamarnya. Angin malam membelai pelan rambutnya, membawa aroma bunga mawar dari taman dan kenanga yang tak sengaja dibawa. Di pangkuannya, berserakan beberapa foto lama — masa SMA, masa di mana semuanya terasa sederhana. Ada foto dirinya bersama teman-teman, foto saat reuni kecil di taman belakang sekolah, dan satu foto yang membuatnya terdiam lebih lama: dirinya dan Kavi.

Ia menatap foto itu lama wajah muda di dalamnya tersenyum tanpa tahu, betapa banyak luka dan cinta yang kelak menunggu di depan. Kadang ia iri pada dirinya yang dulu polos belum belajar kehilangan.

“Lucu, ya,” gumamnya pelan. “Dulu cita-citaku cuma satu… jadi pengangguran kaya raya, biar nggak capek-capek kerja. Tapi sekarang malah jadi istri, ibu rumah tangga, sekaligus desainer lembur.”

Ia terkekeh kecil, lalu menatap langit malam yang bertabur bintang. “Kadang aku nggak nyangka hidupku bisa serumit ini.”

“Kenapa ya, Kak Daren sekarang beda banget dari dulu? Dulu waktu Mas Kavi ngenalin dia, aku kira orangnya dingin, cuek, susah didekati. Nggak pernah senyum, apalagi ramah sama orang baru. Tapi waktu Arunika lahir, aku baru tahu… ternyata dia bisa selembut itu, bisa sehangat itu.”

Selena menunduk, pikirannya melayang jauh ke masa lalu — ke hari di mana ia pertama kali mengenal Daren lewat Kavi, waktu awal mereka pacaran. Ia masih ingat betul betapa gugupnya ia ketika Kavi mengajaknya makan malam di rumah keluarganya. Saat itu, Selena masih kelas dua SMA, sementara Daren sudah kelas tiga.

Daren hanya menatapnya sekilas malam itu, tidak bicara banyak, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Kaku, dingin, tapi entah kenapa aura kakak kelas itu justru membuat Selena diam-diam terpesona. Ia pikir, itu cuma rasa kagum biasa. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian, pria yang dulu hanya ia pandang dari jauh kini duduk di sisi yang sama dengannya — sebagai suaminya sendiri.

“Hmm…” gumam Selena sambil tersenyum kecil. “Waktu benar-benar bisa mengubah segalanya.”

“Hei, aku cari-cari ternyata kamu di sini.”

Suara bariton lembut itu memecah keheningan malam. Selena menoleh, mendapati Daren datang membawa dua gelas susu hangat. Ia duduk di sebelahnya, menyerahkan segelas untuk Selena, lalu menatap foto-foto yang berserakan di pangkuan istrinya.

“Lagi ngelamunin apa, hmm?” tanyanya sambil tersenyum.

Selena menatapnya sekilas, lalu menatap kembali fotonya. “Lagi lihat foto zaman SMA. Waktu aku masih polos, belum tahu hidup bakal serumit ini.”

Daren meneguk susunya pelan, matanya tak lepas dari wajah Selena. “Kamu kelihatan serius banget tadi. Kukira lagi mikirin aku.”

Selena meliriknya cepat. “Oh, jadi sekarang kamu pede banget?”

“Ya kali aja,” jawab Daren santai, sambil mengangkat bahu. “Soalnya waktu SMA juga kamu sering ngelirik aku, kan?”

Selena nyaris tersedak. “Ha? Aku? Ngelirik kamu?”

Daren terkekeh pelan, ekspresinya penuh godaan. “Iya. Di lapangan belakang sekolah waktu latihan drama. Kamu sering pura-pura bantu Kavi latihan dialog, padahal matamu tuh nyari aku terus. Aku inget banget.”

Selena mematung beberapa detik, mencoba memastikan apakah suaminya sedang bercanda atau serius. “Tunggu… kakak ingat aku waktu itu? Serius?”

“Ya jelas. Mana bisa aku lupa.” Daren menatap langit malam, lalu menunduk menatap Selena. Senyumnya lembut, tapi ada ketulusan yang terasa dalam. “Waktu itu aku pura-pura nggak peduli, tapi sebenernya… aku udah suka sama kamu duluan," ucap Daren, suaranya pelan tapi tegas. Ada getar halus di sana, seperti seseorang yang akhirnya berani membuka pintu masa lalu yang terlalu lama dikunci.

Selena membelalakkan mata. “Sebelum Kavi suka sama aku?”

Daren mengangguk pelan. “Iya. Bahkan sebelum Kavi sempat cerita ke aku soal kamu, aku udah tahu kamu istimewa.”

“Terus… kenapa Kakak nggak bilang apa-apa waktu itu?” suaranya lirih, antara terkejut dan bingung.

Daren tersenyum kecil. “Karena aku tahu Kavi suka kamu duluan. Dan aku nggak mau bikin masalah sama dia. Kavi itu adik yang paling aku sayang, Sel. Waktu dia bilang dia suka kamu, aku tahu aku harus mundur. Jadi aku biarin aja semua berjalan. Aku cukup lihat kamu dari jauh, selama kamu bahagia.”

Selena terdiam lama, matanya mulai berembun. “Jadi… selama ini Kakak nyimpan perasaan itu sendiri?”

Daren menatapnya lembut. “Iya. Aku pikir waktu bisa nyembuhin semuanya. Tapi ternyata nggak semudah itu.”

Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan, suaranya sedikit berat.

“Sampai akhirnya kamu dan Kavi nikah. Aku seneng, beneran. Tapi di sisi lain… rasanya kayak kehilangan sesuatu yang nggak pernah benar-benar kumiliki. Waktu itu aku mutusin buat nerima tawaran kerja di luar negeri, biar bisa jauh dari semuanya. Aku pikir di sana aku bisa mulai dari awal."

Daren terdiam sejenak, menatap susu di tangannya. “Aku udah mulai betah di sana, sampai suatu hari aku dikabarin kalau Kavi udah nggak ada. Rasanya kayak dunia runtuh. Aku nggak cuma kehilangan adik, tapi juga kehilangan kesempatan buat ngelihat kamu bahagia lagi.”

Selena terdiam. Jantungnya seperti tertarik ke masa lalu yang sama masa di mana mereka berdua kehilangan, tapi saling tak berani menatap.

Selena menunduk. “Aku masih ingat hari itu… rasanya semua berhenti.”

Daren mengangguk pelan. “Waktu aku pulang dan lihat kamu berjuang sendirian, aku cuma punya satu pikiran: Kavi pasti nggak mau kamu terus sesedih itu. Jadi aku bantu sebisaku. Awalnya cuma buat jaga kamu dari jauh, bantu Papah dengan alasan kerjaan. Tapi lama-lama aku sadar… perasaan itu nggak pernah hilang.”

Ia menatap Selena lekat-lekat, suara dan pandangannya tenang tapi penuh makna. “Aku nggak tahu ini takdir atau kebetulan. Tapi Tuhan punya cara yang aneh buat mempertemukan orang. Dan entah kenapa, setelah semua yang terjadi… aku malah dikasih kesempatan buat jadi bagian dari hidup kamu, jadi ayah buat Arunika.”

Selena menatapnya lama. Ada sesuatu yang bergetar lembut di dadanya — bukan hanya karena pengakuan itu, tapi karena ketulusan yang terpancar jelas di mata Daren. “Kalau aja aku tahu waktu itu, mungkin semuanya akan beda ya, Kak…”

Daren tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Nggak usah disesalin, Sel. Aku nggak mau ganti satu hal pun. Karena kalau dulu aku maksa, mungkin kita nggak akan duduk bareng malam ini, lihat bintang bareng, sambil ngebahas masa lalu kayak gini.”

Selena menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Kak Daren romantis banget sekarang. Dulu cuek parah.”

Daren tertawa kecil. “Ya, mungkin dulu aku cuma belum punya alasan buat lembut. Sekarang alasanku duduk di depan mataku setiap malam.”

Selena menunduk malu, pipinya memanas. Daren tertawa kecil, mengacak rambutnya dengan lembut.

Dan malam itu, di bawah langit berbintang dan secangkir susu hangat yang mulai dingin, keduanya diam dalam kedamaian — mengenang masa lalu, mensyukuri masa kini, dan entah kenapa, berharap waktu bisa berhenti di saat itu juga.

"Beberapa cinta memang tak pernah benar-benar pergi," bisik Selena pelan.

"Mereka hanya bersembunyi di antara waktu menunggu saat yang tepat untuk pulang."

Dan malam itu, di bawah langit penuh bintang cinta yang dulu sempat tersesat akhirnya menemukan rumahnya.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Favmatcha_girl
lanjutkan thor💪
Favmatcha_girl
perhatian sekali bapak satu ini
Favmatcha_girl
lanjutkan 💪
Favmatcha_girl
cemburu bilang, Sel
Favmatcha_girl
ayah able banget ya
Favmatcha_girl
cemburu ya🤭
Favmatcha_girl
pelan-pelan mulai berubah ya
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Itz_zara: besok lagi ya, belum ada draft baru🙏
total 2 replies
Favmatcha_girl
memanfaatkan orang🤭
Favmatcha_girl
Honeymoon Sel
Favmatcha_girl
Dah lama gak liat sunset
Favmatcha_girl
dramatis banget 🤭
Favmatcha_girl
ikutan dong
Favmatcha_girl
ngomong yang keras
Favmatcha_girl
aw terharu juga
Favmatcha_girl
itu mah maunya lo
Favmatcha_girl
Alasan itu
Favmatcha_girl
kenapa yak setiap cowok gitu😌
Favmatcha_girl
Yeyyyy
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!