NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:304
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sang Pengacau

“Tapi... kalau kalian malah kabur lagi gimana? Atau malah tidak melakukan kencan?”

“Kami janji, Bu Ida, kami akan tetap melakukan kencan wajib,” Gunawan meyakinkan.

“Dan kami akan melaporkan perkembangannya. Mungkin tidak perlu detail, tapi cukup untuk meyakinkan Love Brigade bahwa kami serius.”

“Dan kami juga akan tetap berjualan barang antik ini, kan?” Dewi menunjuk ke meja.

“Ini kan bagian dari ujian Pak RT.”

Pak RT mengangguk.

“Nah, itu bagus! Kalau begitu, saya setuju. Kalian boleh mencoba cara ini. Tapi ingat, kalau ada laporan yang tidak-tidak, atau kalian terlihat tidak harmonis, saya tidak akan ragu untuk kembali mengawasi kalian lebih ketat!”

Bu Ida mendengus, tapi tidak bisa membantah Pak RT.

“Baiklah. Tapi kami akan tetap memantau dari jauh. Dan jangan coba-coba macam-macam!”

Gunawan dan Dewi saling bertukar pandang. Sedikit kelegaan. Mereka berhasil menciptakan sedikit ruang bernapas.

Setelah Love Brigade dan Pak RT menjauh, Gunawan dan Dewi mulai menata barang dagangan mereka.

“Kerja bagus, Wi,” bisik Gunawan, tersenyum.

“Ide kita berhasil.”

Dewi menyunggingkan senyum tipis.

“Kau juga. Kau lumayan jago berdiplomasi.” Ia menunjuk ke patung kayu dewa kemakmuran.

“Jadi, yang mana yang mau kita jual duluan?”

Gunawan mengangkat bahu.

“Aku nggak tahu. Aku nggak ngerti barang antik. Ini patung apa? Dewa apa?”

“Ini Patung Dewa Rezeki,” jelas Dewi, tangannya mengelus permukaan kayu yang kusam.

“Kata Pak RT, ini sudah ada dari zaman kakeknya. Mahal ini, bisa ratusan ribu.”

“Ratusan ribu?!” Gunawan terbelalak.

“Siapa yang mau beli patung kusam gini?”

“Makanya ini ujian mental dan negosiasi,” Dewi mendengus.

“Kita harus bikin orang percaya kalau ini barang berharga.”

Mereka duduk di belakang meja, mencoba menarik perhatian pembeli. Namun, tak ada yang tertarik dengan patung kusam atau mesin tik tua mereka. Beberapa orang hanya lewat, melirik, lalu pergi.

“Ini sih namanya nggak laku,” Gunawan menghela napas.

“Ya gimana mau laku, kau saja mukanya sudah pasrah gitu,” ejek Dewi.

“Harus semangat dong! Ini kan bagian dari sandiwara kita!”

Gunawan menatap Dewi. Ada sesuatu yang berbeda. Dewi tidak lagi terlihat marah atau skeptis. Ia terlihat... menikmati tantangan ini.

“Gimana kalau kita coba pendekatan baru?” usul Gunawan.

“Kita coba cerita di balik barang-barang ini. Biar orang tertarik.”

Dewi mengangguk.

“Ide bagus. Kau ceritakan tentang patung ini. Aku coba tentang piringan hitam itu.”

Mereka mulai mencoba. Gunawan menjelaskan tentang 'Dewa Rezeki' lapak, mengarang cerita tentang keberuntungan yang dibawanya. Dewi bercerita tentang lagu-lagu romantis yang dulu diputar di piringan hitam itu. Mereka tertawa canggung saat cerita mereka mulai melenceng dan terdengar tidak masuk akal.

“...dan konon, setiap penjual yang menyentuh patung ini akan langsung mendapat untung berlipat ganda!” Gunawan berkata penuh semangat pada seorang ibu-ibu yang lewat.

Ibu-ibu itu hanya tersenyum tipis.

“Oh ya? Kalau begitu kenapa kamu belum kaya raya, Nak?”

Gunawan tersipu malu. Dewi terkekeh. Tawa Dewi membuat Gunawan merasa sedikit lebih nyaman. Mereka gagal menjual, tapi berhasil menciptakan momen kecil yang terasa menyenangkan.

Saat tengah hari, belum ada satu pun barang yang terjual. Mereka mulai merasa lapar.

“Aku lapar, Wi,” kata Gunawan.

“Mau makan apa?”

“Aku juga,” jawab Dewi.

“Tapi kita nggak boleh meninggalkan lapak, kan?”

“Gimana kalau kita pesan makanan aja?” Gunawan mengeluarkan ponselnya.

“Mau seblak atau rujak?”

Dewi menatapnya.

“Kau mau pesan seblakku?”

“Ya, kenapa tidak?” Gunawan tersenyum.

“Aku kan calon suamimu. Harus tahu rasa masakanmu.”

Dewi mengangguk, sedikit tersipu.

“Oke. Tapi aku yang pesan rujakmu.”

Mereka memesan makanan satu sama lain dari penjual lain yang lewat. Sambil menunggu, mereka kembali mencoba mempromosikan barang dagangan.

“Lihat vas keramik ini, Bu,” kata Dewi pada seorang wanita paruh baya.

“Ini peninggalan lapak, konon dulu dipakai buat tempat bunga perjodohan paling legendaris di sini.”

Wanita itu tertarik.

“Perjodohan? Ceritakan lebih banyak, Nak.”

Dewi mulai bercerita, mengarang detail tentang kisah cinta di balik vas itu. Gunawan mendengarkan, sesekali menyela dengan detail yang ia karang sendiri, membuat cerita itu semakin hidup. Mereka berdua, tanpa sadar, bekerja sama dengan sangat baik.

“Jadi, vas ini saksi bisu cinta sejati,” Dewi mengakhiri ceritanya.

“Dan sekarang, kami, pasangan yang sedang berjuang untuk cinta sejati kami, ingin melepasnya ke tangan yang tepat.”

Wanita itu tersenyum, terkesan.

“Berapa harganya, Nak?”

Gunawan dan Dewi saling pandang. Mereka lupa membahas harga.

“Ehm... ini barang langka, Bu,” Gunawan tergagap.

“Iya, Bu. Sangat berharga,” Dewi menambahkan.

“Lima ratus ribu!”

Gunawan terbelalak. Itu terlalu mahal! Tapi ia tidak bisa membantah Dewi di depan pelanggan.

Wanita itu berpikir sejenak.

“Empat ratus lima puluh ribu, bagaimana? Kalau dapat, saya ambil sekarang.”

Dewi melirik Gunawan, lalu mengangguk cepat.

“Baik, Bu!”

Mereka berhasil menjual vas keramik itu! Senyum lebar merekah di wajah Gunawan dan Dewi.

“Kita berhasil, Wi!” Gunawan berseru pelan, kegirangan.

“Iya!” Dewi membalas, matanya berbinar.

“Ini berkat kerja sama kita!”

Ada rasa bangga yang tulus di antara mereka. Mereka saling menatap, tawa kecil keluar dari bibir Dewi. Itu bukan tawa canggung sandiwara, melainkan tawa lepas yang tulus.

Tiba-tiba, sebuah suara familiar terdengar.

“Wah, wah, sepertinya ada yang sudah mulai akur, ya?”

Gunawan dan Dewi menoleh.

Arya berdiri di samping meja mereka, memegang segelas kopi kekinian di tangannya, senyumnya licik. Matanya memindai vas yang baru saja terjual, lalu beralih ke Dewi.

“Selamat, Dewi. Sepertinya insting bisnismu memang luar biasa,” kata Arya, mengabaikan Gunawan.

“Aku dengar, tadi kalian berdua mengarang cerita yang cukup menarik tentang vas itu. Mungkin aku bisa bantu mempromosikannya di media sosialku? Siapa tahu lebih banyak yang tertarik dengan kisah cinta kalian.”

Gunawan merasakan darahnya mendidih.

Arya lagi.

Ia baru saja menikmati momen kebersamaan dengan Dewi, dan kini pria itu datang mengganggu.

“Tidak perlu, Arya,” kata Gunawan, suaranya dingin.

“Kami bisa mengurus bisnis kami sendiri.”

Arya tersenyum sinis.

“Oh, begitu? Aku hanya menawarkan bantuan. Tapi, ngomong-ngomong, vas itu... sepertinya aku pernah melihatnya di toko barang antik sebelah. Harganya hanya seratus ribu.”

Deg!

Gunawan dan Dewi terdiam. Vas itu hanya seratus ribu? Mereka menjualnya empat ratus lima puluh ribu! Mereka baru saja menipu pelanggan! Dan Arya tahu!

Wajah Dewi memucat. Ia menatap Arya, lalu Gunawan. Ini akan menjadi bencana. Pak RT pasti akan marah besar jika tahu. Reputasi mereka akan hancur.

“Aku... aku tidak tahu,” Dewi tergagap.

Arya terkekeh pelan.

“Tenang saja, Dewi. Rahasia kita aman. Untuk saat ini.” Ia melirik Gunawan dengan tatapan menantang.

“Mungkin kalian memang perlu lebih banyak ‘mengenal lebih pribadi’ tentang harga barang antik, bukan hanya tentang kisah cinta palsu kalian.”

Gunawan mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali meninju wajah Arya. Tapi ia tahu ia tidak bisa. Mereka terjebak. Ia melirik Dewi, yang tampak sangat terkejut dan ketakutan.

“Kami... kami akan mengurus ini,” kata Gunawan, mencoba menjaga ketenangan.

“Tentu saja,” Arya mengangguk.

“Tapi ingat, Gunawan. Semakin banyak rahasia yang kalian simpan, semakin mudah bagi orang lain untuk menghancurkan kalian. Apalagi kalau rahasia itu menyangkut... reputasi. Atau mungkin, tentang perasaan yang sebenarnya.”

Arya tersenyum tipis, lalu berbalik pergi, meninggalkan Gunawan dan Dewi dalam keheningan yang mencekam.

Gunawan menatap Dewi, yang kini menatapnya dengan tatapan putus asa. Mereka baru saja berhasil menciptakan ruang bernapas, membangun sedikit ikatan, dan merasa bangga.

Tapi kini, semua itu terancam hancur. Arya tahu rahasia mereka. Rahasia tentang harga vas, dan mungkin juga, rahasia tentang perasaan Gunawan.

“Gunawan,” Dewi berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

“Gimana ini? Kalau Pak RT tahu...”

Gunawan mengepalkan tangannya lebih erat. Ia harus melindungi Dewi. Tapi bagaimana? Arya sudah tahu. Dan senyum licik Arya di akhir tadi, seolah mengandung ancaman yang lebih besar. Ancaman yang bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal... hati. Gunawan merasakan firasat buruk yang mencengkeram.

Arya jelas mencoba memprovokasi. Ia ingin melihat mereka goyah. Dan kali ini, Gunawan tidak tahu bagaimana caranya keluar dari jebakan ini tanpa mengungkap terlalu banyak, tanpa...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!