NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:177
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16: DINDING AKUSTIK

*KRRRAAAAKKK!*

Waktu seakan meledak.

Pintu jebakan di pantry tidak hanya terbuka; itu *meledak* ke atas. Kayu jati kuno yang telah bertahan satu abad hancur berkeping-keping, terlempar ke udara seperti serpihan peluru. Karung goni biji kopi robek, menghamburkan ribuan biji kopi mentah ke lantai, menciptakan semprotan debu dan kafein.

Reza menjerit dan menunduk di balik konter. Rania terlempar mundur, menabrak meja kayu yang kokoh.

Melalui awan debu dan serpihan kayu, Pria Berpayung itu melesat keluar dari lubang yang menganga.

Dia tidak memanjat. Dia *melompat*.

Gerakannya tidak manusiawi. Cepat, efisien, dan penuh dengan kemarahan yang dingin. Dia mendarat di lantai pantry, matanya yang abu-abu dan tanpa pupil langsung mengunci Rania. Ujung payung lipatnya yang berwarna perak kusam teracung ke depan seperti tombak.

Dia mengabaikan Elara dan Dion. Dia hanya melihat targetnya: *Anomali.*

Waktu melambat menjadi serangkaian *snapshot* yang mengerikan.

Pria itu menerjang ke depan, melintasi pantry dalam satu langkah.

"SEKARANG, DION!" Elara tidak berteriak; itu adalah perintah yang membelah udara.

Elara mengangkat garpu tala raksasa miliknya. Itu bukan lagi alat penyetel; itu adalah senjata. Dia tidak memukulnya. Dia *mengaktifkannya*. Sebuah tombol di gagangnya ditekan.

*BBBBWWWWWOOOOOMMMMM....*

Itu bukan suara. Itu adalah *tekanan*.

Itu adalah getaran frekuensi sangat rendah yang Rania rasakan di dalam tulang dadanya. Udara di antara Elara dan Pria Berpayung itu tampak *bergetar* dan *melengkung*, seperti gelombang panas di atas aspal.

Pria Berpayung itu menabrak "dinding" tak terlihat itu.

Dia tidak terpental. Dia *berhenti*, seolah-olah baru saja berlari menabrak balok beton yang kenyal.

*SSSSSSSSHHHHHHHH!!!*

Desisan yang sama seperti di rumah sakit, tapi seratus kali lebih keras. Ujung payung peraknya berasap hebat saat bersentuhan dengan dinding akustik Elara. Itu adalah pertarungan dua frekuensi yang saling membatalkan.

Pria itu menggeram—suara frustrasi pertama yang Rania dengar darinya. Dia menusukkan payungnya lagi dan lagi ke perisai sonik itu, menciptakan percikan api perak dan asap ozon.

"PERGI, RANIA! DAPUR!" teriak Elara, wajahnya tegang karena konsentrasi. Pembuluh darah di pelipisnya menonjol. Menahan perisai itu menguras tenaganya.

"DIA... DIA MENEKANNYA!" teriak Dion. Tabletnya berkedip-kedip merah. "Dindingnya tidak akan bertahan lama! Frekuensi 'Pembersih'-nya terlalu kuat!"

Reza, melihat pertempuran yang mustahil itu, akhirnya bergerak. Dia berlari dari balik konter, meraih lengan Rania. "RA! AYO!"

Sentakan itu membangunkan Rania dari keterpakuannya.

Ini nyata. Mereka mengorbankan diri.

"DAPUR!" teriak Rania.

Dia dan Reza berlari, melompati kursi-kursi yang terbalik. Mereka berdua meluncur di atas biji kopi yang tumpah, hampir jatuh.

Saat mereka berlari, Rania merogoh sakunya. Dia merasakan cakram obsidian dingin yang diberikan Dion. *'Membuatmu tidak terlalu 'berisik'.'*

Dia menariknya keluar. Benda itu terikat pada tali kulit sederhana. Sambil terus berlari, dia dengan kikuk mengalungkannya di lehernya.

Saat batu hitam dingin itu menyentuh kulit dadanya, dunianya berubah lagi.

Rasanya seperti seseorang menyumpal telinganya dengan kapas tebal—tapi bukan telinganya. *Indra Gema*-nya.

Bisikan "Sang Geometer" di kepalanya... lenyap.

Cahaya oranye samar dari "Ikan Gema" yang berenang di luar jendela... padam.

Denyutan Gema dari Pria Berpayung di belakangnya... menjadi tumpul, teredam.

Rasanya... sunyi.

Itu adalah kelegaan yang luar biasa. Dan itu adalah teror yang membutakan. Dia baru saja mendapatkan indra keenam, dan kini dia *buta* lagi, tepat di saat dia paling membutuhkannya.

Mereka menerobos pintu ayun dapur.

Dapur kafe itu sempit dan berantakan. Piring-piring kotor menumpuk di wastafel. Panci-panci menggantung dari rak di atas kepala. Baunya seperti minyak goreng bekas dan jahe.

"Pintu belakang!" kata Reza, menunjuk ke pintu logam di ujung.

*KRRRRAAASSSHHHH!*

Dari ruang utama kafe, terdengar suara yang memekakkan telinga. Suara ribuan cangkir keramik yang meledak pada saat bersamaan.

Dinding akustik Elara telah pecah.

"CEPAT!" teriak Rania.

Reza sampai di pintu belakang lebih dulu. Dia membanting palang besinya. Dia mendorong.

Pintu itu tidak bergerak.

"Sialan! Macet!" teriak Reza, kepanikan murni di suaranya. "Karat!"

"Minggir!" Rania mendorongnya. Dia adalah seorang arsitek. Dia tahu stres material. Dia menendang tepat di samping gagang pintu, tempat mekanisme pengunciannya berada.

*BOOM!*

Di belakang mereka, di pintu ayun dapur, bayangan Pria Berpayung itu muncul. Dia tidak berlari. Dia berjalan. Tenang. Tak terhindarkan. Payungnya teracung.

"Tidak ada jalan keluar, Anomali," katanya, suaranya datar.

Elara dan Dion tidak terlihat. Rania tidak tahu apakah mereka mati, atau pingsan. Dia tidak punya waktu untuk peduli.

"SEKALI LAGI, ZA!" teriak Rania.

Dia dan Reza menabrakkan bahu mereka ke pintu logam itu bersama-sama.

*KRAAANG!*

Engselnya mengerang.

Pria Berpayung itu mengangkat payungnya, mengarahkannya ke punggung Rania.

*KRAAANGGG!*

Pintu itu meledak terbuka.

Rania dan Reza jatuh terguling keluar, mendarat dengan keras di atas tumpukan kantong sampah yang basah kuyup di sebuah gang sempit.

Cahaya matahari pagi yang cerah membutakan mereka. Bau sampah dan sisa makanan yang membusuk memenuhi hidung mereka.

Mereka berada di luar.

"Bangun! Bangun!" Rania merangkak, menarik Reza berdiri.

Dia melihat ke belakang, ke pintu dapur yang kini terbuka.

Pria Berpayung itu berdiri di ambang pintu, siluetnya gelap di depan cahaya dapur yang redup. Dia menatap mereka. Dia bisa saja menusuk mereka dari jarak itu.

Tapi dia tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana. Menatap.

*Kenapa dia tidak mengejar kita?*

Lalu Rania melihatnya. Mata abu-abu pria itu tidak menatap *mereka*. Mata itu menatap *ke atas*.

Dia sedang mendengarkan.

"Sesuatu... akan datang," bisiknya.

"Apa?" kata Reza.

"Ra! LARI!"

Sebuah suara baru. Dion.

Dion tidak mati. Dia terhuyung-huyung keluar dari pintu depan kafe ke jalan raya, wajahnya berdarah. Dia melihat Rania dan Reza di gang.

"ITU JEBAKAN! DIA MEMANGGIL MEREKA! LARI!" teriak Dion.

"Memanggil siapa?!"

Dion menunjuk ke atas.

Langit di atas gang itu, yang tadinya cerah, kini... *retak*.

Seperti yang Rania lihat di langit-langit apartemennya. Retakan-retakan porselen tipis muncul di langit biru, berpusat tepat di atas kafe.

Dan dari retakan itu, sesuatu yang hitam dan kental mulai *menetes*.

Minyak ozon yang sama.

"Dia tidak mencoba membunuh kita," bisik Rania ngeri, saat tetesan pertama mengenai aspal gang dan mendesis. "Dia... dia 'membersihkan' seluruh area ini. Dia memanggil... sesuatu dari Denah."

Pria Berpayung itu tersenyum tipis. Senyum pertama yang Rania lihat. Itu adalah senyum kepuasan seorang penghancur. Dia mengangkat payungnya ke atas kepalanya, bukan sebagai senjata, tapi untuk melindungi dirinya dari apa yang akan jatuh.

"Jangan lihat ke atas, Za," kata RANIA, suaranya kini dingin karena teror yang baru. "Jangan lihat ke atas. Lari saja."

Dia menarik Reza, dan mereka berdua berlari menyusuri gang sempit itu, menjauh dari kafe mereka yang kini menjadi pusat dari mimpi buruk arsitektural.

Di belakang mereka, mereka mendengar suara pertama. Suara retakan yang membelah langit. Dan lolongan "Si Tuli", yang kini terdengar dari seluruh penjuru kota.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!