Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Langit Northtown sore itu terlihat bersih, seolah menyambut kepulangan pasangan Ferdinan dan Inggrid setelah beberapa Minggu berada di London. Mobil hitam keluarga Scott sudah lebih dulu menunggu di halaman depan mansion, Nathan keluar lebih dulu untuk menyambut mereka.
"Senang bisa melihat kalian kembali. Bagaimana kondisi kebun anggur di London?" sapa Nathan ramah sambil menepuk bahu Ferdinan. "Jauh lebih baik, perputarannya sudah mulai stabil." jawab Ferdinan tersenyum lega. Inggrid mengangguk, meskipun merasakan hal yang sama tapi sesuatu yang mengganjal di pikirannya terlihat jelas... putrinya, Maxime, Lenz Property.
Rossa muncul dari balik pintu, memeluk Inggrid seolah bertemu kembali dengan saudara lama. "Masuklah, kalian pasti lelah. Kami sudah menyiapkan teh."
Mereka masuk bersama ke ruang keluarga yang besar dan nyaman sambil di sambut aroma kayu manis dari diffuser Rossa yang memenuhi udara.
Begitu kursi nyaman itu sudah terisi penuh, Nathan berdeham pelan, membuat suasana berubah sedikit serius.
"Aku sudah membaca laporan terbaru," ujar Nathan mengambil tablet dari meja. "Saham Lenz Property anjlok lagi... bahkan lebih parah dari yang di prediksi. Maxwell berusaha mengajakku bertemu untuk meminta suntikan dana lagi, tapi sayangnya..." pria itu mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum sinis.
"Turun lagi? Secepat itu?"
Nathan menggeser tablet lagi agar Ferdinan beserta Inggrid bisa melihat grafik merah berbentuk lereng curam. "Lenz jatuh bebas. Investor menarik dana, beberapa proyek tertunda, bahkan setelah video amatir yang menyebar di platform bisnis itu membuat namanya semakin buruk di pasaran."
Ferdinan tidak berusaha menutup senyumnya. "Meskipun kami sudah melihat isi video itu, apa yang di alami Lenz sekarang sudah lebih dari yang aku inginkan, Nat. Ku anggap itu harga yang pantas untuk Maxime. Dia pikir bisa menyakiti putriku tanpa konsekuensi, rupanya dia lupa diri."
Inggrid menarik napas panjang, antara lega dan tak percaya. "Tapi... aku tidak mrnyangka dampaknya akan sebesar ini." ia memandang Rossa dan Nathan ragu, "di portal berita menyebutkan... ada pihak yang mempercepat kejatuhan Lenz?"
Nathan menyandarkan tubuhnya, satu tangannya berada di atas bahu sofa seperti merangkul Rossa. Wajahnya terlihat tenang... tenang dalam artian untuk seseorang yang tahu banyak hal.
"Ya... dan pihak itu... Victor."
Inggrid sontak menutup mulutnya dengan tangan. "A-apa? Victor yang melakukannya?" suaranya naik setengah oktaf. Bukan marah, tapi kaget. Sangat kaget. "Dia yang memotong akses Lenz ke investor kami... diam-diam, tanpa ada yang menyadari. Ia bergerak cepat. Bahkan Rossa dan aku tidak tahu sampai laporan keluar."
Rossa tersenyum kecil, "Anak itu... selalu begitu. Di luar terlihat dingin, namun jika sudah menyangkut Aleesya, Victor tak pernah membiarkan dunia menyakitinya terlalu lama." Inggrid terpaku. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata-kata. Ferdinan menatap Nathan lama, seolah memahami seolah memahami sesuatu yang baru saja terbuka.
"Aku jadi paham... mengapa Victor selalu menjaga Aleesya. Bahkan ketika mereka masih kecil, aku sudah melihatnya." Rossa tersenyum lembut. "Itu sebabnya aku tidak keberatan jika suatu hari... mereka berada di jalur yang sama." ucapannya menciptakan keheningan dalam beberapa saat. Keheningan yang memikirkan makna, serta menciptakan wacana baru...
Perjodohan.
Inggrid menatap Rossa dan Nathan bergantian, "Kalian... sudah sungguh memikirkan hal itu?" tangan Ferdinan tiba-tiba terulur menggenggam tangan istrinya, seolah mengatakan ia sudah mendengar hal ini.
"Tidak memaksa." jawab Rossa cepat. "Hanya memikirkan masa depan... mereka saling menjaga, saling mengerti. Dan tidak ada yang lebih kami inginkan selain melihat anak-anak kami bersama orang yang tepat. Nathan menambahkan, "Dan Victor butuh seseorang yang bisa membuatnya tetap... manusiawi. Kalian tahu sendiri sifat putraku."
Inggrid tertawa kecil, dirinya masih sedikit terkejut. "Lalu menurut kalian... itu Aleesya?"
"Siapa lagi?" Nathan tersenyum penuh makna. Ferdinan ikut tersenyum simpul. "Tapi... mari kita lihat dulu bagaimana mereka berjalan, siapa tahu Tuhan sudah mengatur lebih dulu daripada kita." Inggrid mengangguk pelan, kali ini ia tersenyum tulus. Ia merasa untuk pertama kali sejak Maxime mencampakkannya, ada masa depan yang lebih baik menunggu putrinya.
---
"Aleesya! Kau sudah mendingan?" tanya Mila melambaikan tangannya saat Aleesya menginjakkan kakinya ke lantai setelah melewati anak tangga terakhir. Permainan voli mereka sudah berakhir dan sekarang sedang bersantai sambil memakan snack. Wanita itu mengangguk dan mendudukkan dirinya di sebelah Noah yang sedang bermain PS bersama Billy dan Farel.
"Sudah lebih baik, Mil. Meskipun perutku sedikit pegal, tapi aku lapar dan minta Victor memesankan ayam goreng dan jus jeruk." jawabnya terkekeh, juga memukul kecil pinggangnya. "Jika masih sakit tak perlu memaksakan berkumpul bersama kami, Sya." Noah menoleh setelah meletakkan stik PS karena baru saja kalah balapan, membuat dua pria di bawahnya tertawa kemenangan dan melakukan selebrasi kecil, Keisha yang duduk di samping Mila bahkan hanya menggelengkan kepala lalu menepuk paha Aleesya pelan.
"Noah benar, istirahatlah. Jika ingin seafood nanti aku bawakan me kamarmu." Keisha tersenyum simpul, nadanya penuh peduli.
Sementara itu di dalam kamar, Victor terlihat sedang menatap layar laptopnya. Pandangannya menajam begitu tahu Noah menunjukkan kepeduliannya pada Aleesya. Victor memantau cctv yang sebelumnya memang terpasang di Vilanya karena dua minggu yang lalu hampir saja di bobol musuhnya perihal negosiasi dengan perusahaan logistik asing.
Victor meremas kaleng bir yang baru saja ia habiskan. "Sial! Mengapa dia selalu berada di samping Aleesya?! Fuck!" ia membuka lagi kaleng bir yang ada di meja lalu menghabiskan sekali minum hingga tandas. "Ahk.. awas saja kali Noah! Jika kau ingin bersaing dalam mendapatkan Aleesya, siapa takut?" tangannya mengepal lalu membuang kaleng bir yang sudah peyok. Dia terus melakukan itu hingga kaleng terakhir ia buang sembarang di lantai membuat kamarnya berantakan.
Nafas victor berat. Tatapannya kembali tertuju pada layar laptop di depannya, yang sekarang memperlihatkan Noah tertawa bersama Aleesya. Bahu mereka bersentuhan dan wanita itu terlihat tersipu sedikit saat menunduk.
Rahang Victor mengeras, "Kalau dia menyentuh Aleesya sekali lagi..." gumamnya lirih namun mengancam. Ia menutup laptopnya cukup keras hingga mengeluarkan bunyi
"duk".
Luruh duduk ke sandaran sofa, Victor memejamkan mata. "Aleesya... kau bahkan tidak tahu berapa keras aku berusaha menjaga dunia tetap aman di sekitarmu." Ia menarik rambutnya ke belakang, frustasi. Perasaan itu... bukan sekadar cemburu. Itu lebih dalam... lebih gelap.. dari yang ia mau akui. Sepersekian detik, notifikasi ponselnya berbunyi, dari Nathan.
Ayah: Kita perlu bicara soal Aleesya. Segera setelah kau kembali ke Northtown.
Victor diam, menatap pesan itu lama. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia duga. "Ayah... kau tahu sesuatu, ya?" dan Victor tahu... hidupnya mulai berubah. Namun satu hal yang pasti: ia takkan membiarkan siapapun... termasuk Noah... mengambil Aleesya darinya.
***