Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Utusan Pertama dari Kerajaan
Seminggu setelah pernikahan Bhaskara dan Dzaki, Arsyan mulai ngerasa ada yang aneh.
Nggak cuma aneh—tapi... menakutkan.
Setiap malam, pas dia lagi tidur, ada suara. Suara bisikan halus yang kayaknya dateng dari mana-mana tapi nggak ada sumbernya. Kadang kayak suara angin, kadang kayak suara orang berbisik—tapi dia nggak pernah bisa nangkep kata-katanya dengan jelas.
Dan yang paling bikin dia nggak nyaman: Wulan makin sering gelisah.
Istrinya yang biasanya tenang, sekarang sering bangun tengah malam—duduk di pinggir kasur, menatap jendela dengan tatapan kosong. Kadang Arsyan bangun juga, ngeliat Wulan kayak gitu, tapi kalau dia tanya—Wulan cuma senyum tipis dan bilang "nggak apa-apa, Mas. Aku cuma nggak bisa tidur."
Tapi Arsyan tau—ada yang nggak beres.
Malam Jumat, sekitar jam sebelas, Arsyan lagi beresin warungnya yang parkir di halaman samping rumah. Gerobak sotonya udah dicuci bersih, kompor udah dimatiin, mangkuk-mangkuk udah disusun rapi.
Dia lagi lap meja terakhir pas tiba-tiba—angin bertiup kencang.
Kencang banget.
Padahal tadi nggak ada angin sama sekali. Langit cerah, bulan purnama bersinar terang. Tapi tiba-tiba angin dateng—dingin, menusuk—bikin bulu kuduk Arsyan berdiri.
"Kok angin tiba-tiba..." gumamnya pelan.
Dia ngeliat ke arah rumah—pintu masih tertutup. Lampu kamar nyala—berarti Wulan masih bangun.
Tapi ada sesuatu yang aneh.
Di depan pintu rumah—ada bayangan.
Bayangan hitam yang... nggak bergerak.
Arsyan nyipitkan mata—coba liat lebih jelas. Jantungnya mulai berdetak nggak teratur.
Itu... apa? Pohon? Bukan. Nggak ada pohon di sana.
Dia jalan pelan mendekati rumah—langkahnya hati-hati, napas tertahan.
Makin deket—bayangan itu makin jelas.
Itu... bukan bayangan.
Itu... seseorang.
Seseorang berbalut jubah panjang berwarna gelap—berdiri tegak di depan pintu rumah—nggak bergerak sama sekali.
Arsyan jantungnya langsung ngebut. Siapa itu? Maling? Atau...
Sebelum dia sempet teriak atau apa, pintu rumah terbuka.
Wulan keluar—pake daster putih panjang, rambut terurai, wajah pucat terang di bawah sinar bulan.
Dan dia... nggak kaget liat sosok itu.
Malah dia berdiri tegak—kayak lagi berhadapan dengan sesuatu yang dia udah tau bakal dateng.
Arsyan berhenti di tempat—bersembunyi di balik gerobak—dengerin.
Sosok berjubah itu berbicara.
Suaranya berat—bergema—kayak dateng dari tempat yang dalam banget.
"Putri Wulan."
Arsyan jantungnya nyaris copot. Putri?
Wulan diam—tangannya mengepal di samping tubuh—napasnya terlihat naik turun.
"Ratu Kirana memanggil Anda pulang."
Hening sebentar.
Lalu Wulan menjawab—suaranya tegas meskipun gemetar sedikit. "Aku tidak akan pulang."
Sosok itu diam—nggak bergerak.
"Anda melanggar hukum kerajaan, Putri. Anda turun ke dunia manusia tanpa izin. Anda menikah dengan manusia. Ini... pelanggaran berat."
"Aku sudah menikah. Aku punya suami. Aku... aku nggak akan ninggalin dia."
"Jika Anda tidak pulang... akan ada konsekuensi."
"Aku nggak takut konsekuensi."
"Tapi... apakah SUAMI Anda tidak takut?"
Wulan langsung tegang—tubuhnya menegang total.
"Kami tahu segalanya, Putri. Kami tahu Anda mencintai manusia bernama Arsyan Jalendra. Dan kami tahu... Anda bersedia melakukan apapun untuk melindunginya."
Wulan nggak jawab—tapi air matanya mulai jatuh.
"Pulang sekarang. Atau... kami akan mengambil tindakan."
"Apa... apa yang akan kalian lakukan?"
Sosok itu diam lama—lalu tertawa pelan. Tawa yang dingin, bikin darah membeku.
"Anda akan tahu... cepat atau lambat."
Lalu sosok itu menghilang—lenyap kayak asap—ninggalin Wulan yang berdiri sendirian di depan pintu, tubuh gemetar, air mata mengalir deras.
Arsyan berdiri kaku di balik gerobak—napas tertahan—pikiran berantakan.
Putri. Kerajaan. Ratu Kirana. Konsekuensi.
Apa... apa yang baru terjadi?
Wulan masuk ke rumah—nutup pintu pelan.
Arsyan masih berdiri di luar—nggak bergerak—nggak tau harus ngapain.
Pikirannya penuh pertanyaan. Hatinya sesak. Tangannya gemetar.
Wulan... siapa sebenarnya?
Dia akhirnya masuk rumah—pelan-pelan—coba tenang meskipun jantungnya masih berdebar keras.
Wulan duduk di pinggir kasur—punggung menghadap pintu—pundaknya bergetar halus.
Dia nangis.
Arsyan berdiri di ambang pintu—nggak tau harus bilang apa. Dia baru aja denger percakapan yang... nggak masuk akal. Tapi dia denger. Jelas. Nyata.
"Wulan..."
Wulan langsung berbalik—mata merah, pipi basah—ekspresinya campur aduk antara takut, sedih, dan... panik.
"Mas—dari kapan Mas di luar?"
Arsyan diam sebentar. Lalu dia jawab pelan, "Dari... dari awal. Aku denger semuanya."
Wulan wajahnya langsung pucat—lebih pucat dari biasanya—bibirnya bergetar.
"Mas... aku... aku bisa jelasin—"
"Jelasin apa, Wulan?" suara Arsyan lebih keras dari yang dia mau—tapi dia nggak bisa nahan. "Jelasin kenapa ada orang—atau apapun itu—manggil kamu 'Putri'? Jelasin kenapa dia bilang kamu dari kerajaan? Jelasin kenapa—"
"MAS, AKU MOHON—" Wulan berdiri cepat, jalan mendekat, tapi Arsyan mundur.
"Jangan deket dulu. Aku... aku butuh penjelasan. Sekarang."
Wulan berhenti—tangannya terangkat sebentar, lalu turun lemas. Air matanya jatuh makin deras.
"Mas... aku... aku nggak tau harus mulai dari mana..."
"Mulai dari awal. Dari... dari siapa kamu sebenarnya."
Wulan duduk lagi di kasur—pundaknya turun, kepala tertunduk. Napasnya berat—kayak ada beban besar yang dia pikul bertahun-tahun.
Lalu dia mulai bicara—suaranya pelan, gemetar, tapi jelas.
"Mas Arsyan..." bisiknya lirih. "Aku... aku bukan manusia. Aku... jin. Jin putih dari Kerajaan Cahaya Rembulan."
Arsyan jantungnya langsung berhenti berdetak.
Meskipun dia udah nebak—meskipun dia udah denger bisikan dari Dzaki, dari Bhaskara, dari semua orang—tetep aja, denger langsung dari mulut Wulan bikin dunianya runtuh.
"Jin..." ulangnya pelan—suaranya serak.
Wulan ngangguk—nggak berani natap Arsyan. "Iya, Mas. Aku jin. Wujud asliku... ular putih."
Arsyan inget mimpinya. Mimpi tentang ular putih raksasa dengan mata emas. Mimpi yang dia kira cuma mimpi—ternyata... petunjuk.
"Ular putih..." gumamnya pelan. "Sepuluh tahun lalu... di hutan bambu... itu kamu?"
Wulan akhirnya menatap Arsyan—mata penuh air mata—lalu mengangguk pelan.
"Iya, Mas. Itu aku. Waktu itu... aku terluka. Dijebak pemburu. Dan Mas... Mas bebaskan aku. Mas... selamatkan nyawaku."
Arsyan duduk lemas di kursi kayu—kepala ditahan dua tangan. Napasnya berat. Pikirannya kacau.
"Terus... terus kenapa kamu turun ke sini? Kenapa kamu... nikah sama aku?"
"Karena..." Wulan bergerak turun dari kasur, berlutut di depan Arsyan—pegang tangan suaminya yang dingin. "Karena aku jatuh cinta sama Mas. Sejak hari itu. Sejak Mas selamatkan aku. Aku... aku nggak bisa lupain Mas. Dan aku... aku turun ke dunia manusia... cuma buat ketemu Mas lagi."
Arsyan menatap Wulan—menatap mata emas samar yang sekarang berkilau karena air mata.
"Tapi... tapi kamu bohong. Selama ini... kamu bohong sama aku."
"Aku nggak bohong, Mas!" Wulan menggenggam tangan Arsyan erat—desperate. "Cintaku sama Mas itu nyata! Perasaanku... semuanya nyata! Yang nggak aku bilang cuma... siapa aku. Tapi perasaanku—NGGAK PERNAH BOHONG!"
Arsyan diam lama—menatap Wulan yang nangis di depannya—istri yang dia cintai—yang ternyata... bukan manusia.
"Wulan..." bisiknya pelan—suaranya pecah. "Aku... aku nggak tau harus ngerasain apa sekarang. Aku... aku marah karena kamu bohong. Tapi aku juga... aku juga masih cinta sama kamu. Dan itu... bikin aku tambah bingung."
Wulan menatap Arsyan—mata penuh harap. "Mas... maafin aku. Kumohon... maafin aku. Aku... aku nggak bermaksud nyakitin Mas. Aku cuma... aku cuma pengen hidup normal. Pengen jadi istri Mas. Pengen... pengen bahagia sama Mas."
Hening lama.
Cuma suara isak tangis Wulan yang terdengar.
Lalu Arsyan—dengan tangan gemetar—mengangkat wajah Wulan pelan.
"Wulan... aku butuh waktu. Buat... buat mikir. Buat terima semua ini."
Wulan mengangguk cepat—meskipun air matanya makin deras. "Iya, Mas. Aku ngerti. Aku... aku tunggu."
Arsyan berdiri—jalan ke luar kamar—keluar rumah—berdiri di halaman di bawah bulan purnama yang bersinar dingin.
Dadanya sesak. Napasnya berat. Pikirannya berantakan.
Istriku... jin. Wulan... bukan manusia.
Dia ngeliat tangannya sendiri—tangan yang udah pegang tangan Wulan berkali-kali—tangan yang udah peluk tubuh dingin Wulan setiap malam.
Dan untuk pertama kalinya—Arsyan nangis.
Nangis keras, sendirian, di bawah langit malam yang gelap.
Karena dia cinta Wulan.
Tapi dia nggak tau... apakah cinta itu cukup... untuk melawan takdir yang udah ditulis?