NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Retakan Pertama

“Ada apa dengan Langit?!”

Suara Arlan menggelegar, memecah keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Pertanyaan itu, yang Raya takutkan lebih dari apa pun di dunia ini, kini meluncur bebas, menghantamnya telak. Raya hanya bisa menatap Arlan, bibirnya terkatup rapat, tubuhnya membeku. Kenyataan itu menghantamnya begitu keras, menghantam tanpa ampun, di depan suaminya sendiri. Semua rahasia, semua kebohongan, kini siap terungkap. Dan ia tidak bisa menghentikannya. Dunia mereka baru saja runtuh.

Arlan melangkah maju, sorot matanya tajam, penuh pertanyaan, dan mulai sedikit ada kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. Tangannya terangkat, meraih bahu Raya, mengguncangnya perlahan. “Raya, jawab aku! Apa yang terjadi? Kamu... kamu aneh akhir-akhir ini. Ada apa dengan Langit? Apa hubungannya dengan dokter itu? Kenapa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”

Setiap kata Arlan adalah cambuk, mengoyak pertahanan Raya yang rapuh. Ia ingin membuka mulut, ingin menjelaskan, ingin berteriak dan mengeluarkan semua beban yang menghimpit dadanya selama berminggu-minggu. Tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya isakan kecil yang tercekat di tenggorokannya, dan air mata yang mulai mengalir deras, membasahi pipinya.

“Raya, demi Tuhan!” Arlan mulai panik, melihat kondisi Raya yang histeris. Ia menangkup wajah istrinya, memaksa Raya untuk menatap matanya. “Lihat aku! Katakan padaku, sayang. Apa yang terjadi? Apapun itu, kita hadapi bersama, kan? Selalu begitu, Raya.”

Kata-kata ‘selalu begitu’ menghantam Raya lebih keras dari apa pun. Selama ini, mereka memang selalu bersama. Menghadapi apa pun. Tapi kali ini? Rahasia ini... rahasia ini terlalu besar, terlalu kotor. Ini bukan hanya tentang mereka berdua, tapi tentang Langit, putra mereka. Putra yang selama ini mereka yakini adalah buah cinta mereka.

“Aku... aku tidak bisa, Mas,” bisik Raya, suaranya parau, pecah oleh tangisan. Ia menggelengkan kepala, air matanya membasuh tangan Arlan yang memegang wajahnya.

Arlan menghela napas panjang, kekecewaan semakin jelas terpancar dari sorot matanya. Ia melepas pegangan tangannya, melangkah mundur. “Kamu tidak bisa? Kamu bahkan tidak bisa bicara denganku, istrimu sendiri? Setelah semua yang kita lalui, Raya? Kamu mau aku berpikir apa? Aku sudah melihatnya, Raya. Kamu menyembunyikan berkas. Berkas tentang Langit. Aku melihatnya semalam, di laci mejakerjamu. Apa isinya?”

Jantung Raya berdebar kencang. Berkas itu. Berkas DNA. Bagaimana Arlan bisa melihatnya? Kecerobohan macam apa ini? Atau memang sudah takdirnya semua ini terungkap?

Raya jatuh berlutut, kedua tangannya terkatup di depan dada, memohon. “Maafkan aku, Mas. Maafkan aku...”

“Maaf untuk apa, Raya? Maaf karena kamu menyembunyikan sesuatu yang penting dariku? Maaf karena kamu membuatku bertanya-tanya, gelisah, mengkhawatirkanmu, mengkhawatirkan Langit? Apa sebenarnya yang disembunyikan? Katakan!” Arlan membungkuk, mensejajarkan pandangannya dengan Raya yang berlutut, suaranya rendah, namun penuh tekanan. “Apa yang kamu sembunyikan tentang anak kita?”

Raya mendongak, matanya yang sembab menatap Arlan. Wajah suaminya yang biasanya hangat, kini dipenuhi bayangan kekecewaan dan kemarahan. Rasanya seperti jarum-jarum tajam menusuk ulu hatinya. Bagaimana ia bisa mengatakan ini? Bagaimana ia bisa menghancurkan dunia Arlan, dunia mereka, dengan satu kalimat saja?

“Langit...” Raya menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, mencoba menemukan kekuatan yang entah di mana. “Langit... dia... dia bukan anak kandungku, Mas.”

Ruangan itu senyap seketika. Hanya suara isakan Raya yang memecah keheningan. Arlan terdiam. Wajahnya memucat pasi. Matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia terhuyung mundur, tangannya meraih dinding di belakangnya untuk menopang tubuhnya yang tiba-tiba lunglai.

“Apa... apa yang kamu katakan?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. “Raya, kamu pasti salah dengar. Kamu... kamu bercanda kan? Langit... dia lahir dari rahimmu. Aku melihatmu melahirkannya! Bagaimana mungkin dia bukan anak kandungmu?”

Raya menggeleng, air matanya tak henti mengalir. “Aku juga... aku juga tidak tahu, Mas. Aku menemukannya... tes DNA. Saat Langit sakit parah dan butuh donor sumsum tulang belakang, mereka... mereka melakukan tes itu. Dan hasilnya... hasilnya mengatakan aku bukan ibu biologisnya.”

Setiap kata yang keluar dari bibir Raya seperti palu godam yang menghantam Arlan. Ia ambruk ke sofa di belakangnya, menatap kosong ke depan. Pikirannya berputar, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. Langit... bukan anak kandung Raya? Bagaimana mungkin? Mereka berdua telah merencanakan kehamilan itu dengan penuh cinta, mengamati setiap perkembangan, menjalani setiap momen bersama.

“Ini... ini pasti salah,” Arlan bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. “Ini tidak mungkin. Rumah sakit itu pasti salah. Raya, kita harus pergi ke rumah sakit lain. Lakukan tes lagi. Ini... ini konyol! Aku ingat setiap detik saat kamu hamil, saat kamu merasakan tendangannya, saat kamu berjuang melahirkannya!”

Raya merangkak mendekat, memegang kaki Arlan. “Aku sudah melakukannya, Mas. Aku... aku sudah tes lagi. Diam-diam. Di lab yang berbeda. Dan hasilnya... sama.” Ia menunduk, tak sanggup lagi menatap mata Arlan. “Aku... aku bingung. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana...”

Arlan menarik kakinya dengan kasar. Ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir di ruangan itu seperti singa yang terluka. Napasnya terengah-engah. Kemarahan mulai menggantikan keterkejutan di wajahnya. “Bagaimana? Bagaimana kamu bisa tidak tahu?! Ini anak kita, Raya! Anak yang aku besarkan, anak yang aku sayangi lebih dari nyawaku sendiri! Dan kamu bilang... dia bukan anak kandungmu? Lalu siapa? Siapa ibunya, Raya?!”

“Aku tidak tahu, Mas!” Raya berteriak, keputusasaan menguasai dirinya. “Aku berusaha mencari tahu. Aku berusaha mencari tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya. Aku... aku tidak bisa kehilangan Langit, Mas. Dia adalah anakku. Tidak peduli darah siapa pun yang mengalir dalam dirinya, dia tetap anakku!”

“Dan bagaimana denganku, Raya?!” Arlan berbalik, menatap Raya dengan mata yang merah menyala. “Bagaimana denganku? Aku... aku ayahnya! Aku suami kamu! Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?! Sejak kapan kamu tahu?!”

Raya terdiam. Sejak kapan? Sejak beberapa minggu lalu, saat dunia seolah runtuh di bawah kakinya. Sejak saat itu, ia hidup dalam ketakutan, mencari jawaban, menyembunyikan kebenaran pahit ini dari Arlan, dari semua orang.

“Sudah berapa lama?” desak Arlan, suaranya bergetar. “Jawab aku, Raya! Sudah berapa lama kamu menyembunyikan ini?!”

Raya memberanikan diri mendongak. “Beberapa minggu, Mas...”

“Beberapa minggu?!” Arlan tertawa sinis, tawa yang penuh luka. “Dan kamu biarkan aku hidup dalam kebohongan selama itu? Kamu biarkan aku berpikir bahwa kita adalah keluarga yang sempurna? Kamu biarkan aku mencintai Langit dengan seluruh jiwaku, tanpa tahu kebenaran busuk ini?!”

“Ini bukan kebohongan, Mas! Aku juga korban di sini!” Raya bangkit berdiri, membela diri. “Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi! Aku... aku juga hancur. Aku mencari tahu... aku menemukan beberapa petunjuk. Tapi ini rumit, Mas. Ini ada kaitannya dengan masa lalu...”

Kata ‘masa lalu’ membuat Arlan terdiam. Tatapannya berubah, dari marah menjadi curiga, lalu perlahan beralih ke rasa sakit yang mendalam. “Masa lalu? Masa lalu apa, Raya? Masa lalu apa yang bisa membuat anak yang lahir dari rahimmu, bukan anak kandungmu?!” Ia melangkah mendekat, mencengkeram lengan Raya. “Apa yang kamu maksud dengan masa lalu? Apakah ini ada hubungannya... dengan dia?”

Damar. Nama itu tak terucap, namun menggantung di udara, mengental menjadi racun yang mematikan. Raya bisa melihat pemahaman yang perlahan menyebar di mata Arlan. Ketakutan merayap di hatinya. Arlan sudah mulai mencurigai Damar. Kecurigaan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.

“Tidak, Mas, bukan begitu...” Raya mencoba menyangkal, tapi suaranya bergetar, mengkhianatinya.

“Jangan bohong lagi, Raya!” Arlan mengguncang lengannya. “Aku tahu kamu pernah mencarinya beberapa waktu lalu. Aku tahu kamu menyimpan fotonya. Jangan kira aku tidak melihatnya! Apa hubungannya Damar dengan semua ini?!”

Kepanikan Raya memuncak. Ia tahu ia tak bisa lagi menyembunyikan ini. Semua sudah terlalu jauh. Arlan sudah terlalu dekat dengan kebenaran. Pikirannya melayang, teringat hasil penelusurannya, kemungkinan Langit adalah anak biologis Damar, dari skema licik atau penyalahgunaan teknologi reproduksi. Fakta yang sangat mengerikan, jauh melampaui imajinasi terburuk sekalipun.

“Katakan padaku, Raya!” Arlan menuntut, matanya menembus Raya. “Katakan sejujurnya, siapa ibu kandung Langit?! Dan kenapa... kenapa kamu merahasiakan ini?!”

Raya menatap Arlan, bibirnya bergetar. Ia ingin mengatakannya, ingin melemparkan semua kebenaran pahit ini. Tapi melihat Arlan yang rapuh, yang sudah di ambang kehancuran, ia ragu. Apakah ia siap menghancurkan sisa-sisa harapan suaminya?

“Ada hal yang lebih besar dari itu, Mas...” bisik Raya, air mata kembali mengalir. “Ini bukan hanya tentang ibu kandungnya. Ini tentang... tentang bagaimana semua ini terjadi. Ini... ini adalah kesalahan yang mengerikan.”

Arlan menahan napas. Ia tahu Raya akan mengatakan sesuatu yang akan mengubah segalanya. Sesuatu yang jauh lebih buruk daripada sekadar Langit bukan anak biologis Raya. Sesuatu yang melibatkan Damar, dan mungkin... sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan.

“Kesalahan apa?” tuntut Arlan, suaranya serak. “Bicaralah, Raya! Jangan membuatku menebak-nebak lagi!”

Raya menutup matanya. Ia tak sanggup lagi menahannya. Bibirnya terbuka, dan sebelum ia sempat berpikir ulang, kata-kata itu meluncur keluar, merobek udara, menghancurkan segalanya.

“Langit... dia kemungkinan besar adalah anak Damar, Mas.”

Tubuh Arlan menegang. Wajahnya membeku. Mata yang tadi menyala dengan kemarahan kini perlahan meredup, digantikan oleh kekosongan yang menakutkan. Cengkeramannya di lengan Raya mengendur, lalu terlepas. Ia melangkah mundur, satu langkah, lalu dua. Matanya terpaku pada Raya, namun seolah tidak melihatnya. Seolah Raya kini adalah orang asing yang baru saja mengucapkan mantra terkutuk.

Ruangan itu kembali sunyi, lebih mematikan dari sebelumnya. Hanya embusan napas Arlan yang terdengar berat, dan isakan Raya yang semakin pilu. Dunia mereka, yang selama ini Raya coba pertahankan, kini benar-benar runtuh, berkeping-keping di kaki mereka. Arlan menatap Raya, seolah tak mengenalnya lagi. Sorot matanya adalah campuran dari pengkhianatan, keterkejutan, dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Ia membuka mulutnya, namun tidak ada kata yang keluar. Hanya udara dingin yang berhembus dari sana. Perlahan, sangat perlahan, ia menggelengkan kepalanya. Tidak. Ini tidak mungkin.

Raya menjulurkan tangannya, mencoba meraih Arlan, mencoba menjelaskan lebih lanjut, mencoba memohon maaf. “Mas... dengarkan aku. Aku bisa jelaskan...”

Namun Arlan sudah berbalik, memunggunginya. Kakinya melangkah gontai menuju pintu keluar. Setiap langkahnya adalah pukulan bagi Raya. Pukulan yang mengonfirmasi bahwa segalanya telah berakhir. Pukulan yang mengatakan bahwa Arlan mungkin tidak akan pernah bisa memaafkannya. Pukulan yang merenggut masa depan mereka.

“Mas! Mau ke mana, Mas?!” teriak Raya, suaranya serak, penuh ketakutan. Ia mencoba mengejar, namun tubuhnya terasa lemas, kakinya tak mampu menopang. Ia terjatuh kembali ke lantai dingin.

Arlan tidak menjawab. Ia tidak berhenti. Tanpa menoleh sedikit pun, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Raya sendirian di tengah puing-puing kehancuran yang ia ciptakan.

Suara pintu tertutup menggema di seluruh rumah, seolah mengunci Raya dalam nerakanya sendiri. Ia tergeletak di lantai, air matanya membanjiri wajahnya, membasahi lantai di bawahnya. Semua usahanya, semua perjuangannya untuk menjaga rahasia ini, untuk melindungi Arlan, untuk melindungi keluarga mereka, kini musnah begitu saja. Ia telah menghancurkan segalanya. Dan yang paling parah, ia telah menghancurkan Arlan. Ia telah kehilangan suaminya. Dan mungkin, sebentar lagi, ia akan kehilangan Langit juga.

“Mas...” bisiknya, air matanya tak lagi memiliki kekuatan untuk mengalir. Ia hanya terisak-isak, memeluk dirinya sendiri. Di tengah reruntuhan rumah tangga mereka, Raya merasa benar-benar sendiri. Dan Damar, bayangan masa lalu itu, kini bukan lagi bayangan, melainkan sebuah ancaman nyata yang telah menghancurkan segalanya.

Langit... putra yang ia cintai dengan seluruh jiwanya. Kini menjadi pusat badai yang meruntuhkan kehidupannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Arlan akan kembali? Apakah ia akan memahami? Atau apakah ini adalah akhir dari segalanya?

Raya menutup matanya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, kenyataan pahit itu tetap terasa. Dingin. Menyakitkan. Dan tak terhindarkan.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!