NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duniahiburan / Rumahhantu / Mafia / Cintapertama / Berondong
Popularitas:875
Nilai: 5
Nama Author: Ulina Simanullang

Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16: Hari hari tanpa Stefanus

Pagi itu, kabut tipis menyelimuti halaman rumah keluarga Arman. Udara terasa lembap, seolah dunia ikut berkabung bersama hati Stefany yang sudah tak lagi mengenal arti kebahagiaan. Burung-burung pun terdengar malas berkicau, hanya sesekali suara mereka terdengar sayup, seperti teredam oleh selimut kelabu yang menyelimuti bumi.

Stefany duduk di tepi ranjangnya, memandang kosong ke arah jendela yang kacanya mulai berembun. Matanya sembab, kulit wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan jelas sekali malam tadi ia tidak tidur dengan baik. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak kabar kematian Stefanus datang menghantam hidupnya, tapi rasanya luka itu tidak akan pernah sembuh.

Di meja kecil di sebelah ranjangnya, foto Stefanus tersenyum hangat. Foto itu diambil secara spontan saat mereka berdua makan di kantin kampus. Stefanus waktu itu tertawa karena Stefany menjatuhkan es krim di mejanya sendiri, dan entah siapa yang memotret momen itu, Stefany bahkan tak peduli. Yang dia tahu sekarang hanyalah: foto itu menjadi satu-satunya cara ia bisa melihat senyum yang tak akan pernah muncul lagi di dunia nyata.

Ia menghela napas panjang, berat. Jantungnya terasa seperti dihimpit sesuatu yang tak terlihat.

“Stefanus…” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, “kenapa kamu pergi secepat ini?”

Kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia ingin menangis lagi, tapi rasanya air matanya sudah terlalu sering jatuh hingga kini yang tersisa hanyalah perih yang tak berwujud.

Jam di dinding berdetak pelan. Waktu terus berjalan, tapi bagi Stefany, dunia seakan berhenti di hari ketika Stefanus pergi. Ia menatap ke luar jendela; kabut perlahan mulai menipis, tapi suasana hatinya tetap gelap.

Siang itu, matahari bersinar terik di atas langit Universitas Harapan Bangsa. Cuacanya benar-benar kontras dengan hati Stefany yang terasa kelam dan berat. Dunia di luar sana tampak begitu hidup para mahasiswa lalu-lalang di halaman kampus, suara tawa terdengar dari kejauhan, dan aroma makanan dari kantin menyeruak tertiup angin siang. Namun, semua itu hanya menjadi latar belakang yang tak berarti bagi Stefany.

Ia melangkah pelan menuju gedung fakultasnya. Tas kecil tersampir di pundaknya, langkahnya lambat, pandangannya kosong. Sudah beberapa hari ini ia bolak-balik kampus hanya untuk formalitas semata mengisi absensi, mendengarkan dosen bicara tanpa benar-benar mencerna, lalu pulang dengan hati yang sama beratnya.

Sejak kepergian Stefanus, teman-temannya sebenarnya berusaha menghiburnya. Beberapa kali mereka mengajaknya makan siang atau sekadar duduk bersama di bawah pohon rindang dekat gedung pusat. Namun Stefany selalu menolak dengan halus, tersenyum tipis, lalu pergi dengan alasan lelah atau ingin sendiri.

Hari ini pun sama. Saat ia berjalan di koridor, dua sahabatnya, Mira dan Sinta, menghampirinya.

“Fany… hari ini ikut makan siang, ya?” ajak Mira pelan, ekspresinya penuh harap.

Stefany berhenti sejenak. Ia memandang kedua temannya itu, lalu tersenyum samar senyum yang bahkan tidak sampai ke matanya.

“Nggak, deh… kalian aja. Aku masih… nggak terlalu lapar.” Suaranya nyaris seperti bisikan.

Mira dan Sinta saling pandang. Mereka ingin memaksa, tapi melihat wajah pucat Stefany, mereka hanya bisa mengangguk pelan.

“Kalau gitu… hati-hati, ya,” kata Sinta sebelum mereka berdua pergi.

Stefany menghela napas panjang dan melanjutkan langkahnya.

Di setiap sudut kampus, kenangan tentang Stefanus begitu kuat. Kantin tempat mereka dulu sering duduk bersama kini terasa begitu asing. Lapangan basket tempat Stefanus pernah mengajaknya menonton pertandingan kini seolah hanya memamerkan kekosongan. Bahkan pohon mangga di dekat gedung utama, tempat Stefanus dulu berteduh sambil menunggunya selesai kuliah, kini hanya memunculkan bayangan siluet yang menusuk hati.

“Stefanus… kenapa semua tempat di kampus ini harus mengingatkanku padamu?” batinnya lirih.

Panas siang semakin menyengat. Keringat menetes di pelipisnya, tapi Stefany nyaris tidak merasakannya. Di bawah terik matahari, ia justru merasa semakin terasing dari dunia yang tetap berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

Saat jam kuliah usai, Stefany berjalan keluar kampus. Ia menatap ke langit biru yang begitu cerah, tanpa awan sedikit pun. Dunia seolah mengejeknya begitu terang, begitu hidup sementara hatinya hancur berkeping-keping.

Di dalam hati, Stefany tahu ia tidak akan bisa melupakan Stefanus begitu saja. Bahkan ia tidak ingin melupakannya.

Senja merayap perlahan di ufuk barat ketika Stefany duduk di bangku taman kecil dekat rumahnya. Langit memancarkan warna keemasan yang indah campuran jingga, merah muda, dan ungu yang berbaur lembut, seolah dunia sedang dilukis oleh tangan seorang pelukis maestro. Namun, bagi Stefany, keindahan itu hanya menggoreskan luka yang lebih dalam.

Ia memandang lurus ke arah langit yang mulai meredup, matanya kosong, tapi di dalam kepalanya kenangan-kenangan mulai bermunculan, satu per satu, tak terelakkan.

Kenangan itu datang begitu jelas…

Stefanus pernah duduk di sebelahnya di bangku ini, beberapa minggu sebelum semuanya hancur. Senja waktu itu sama indahnya seperti hari ini. Stefanus membawa dua gelas teh hangat dari kantin kampus dan memberikannya kepada Stefany dengan senyum khasnya yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar.

“Aku suka warna langit sore,” kata Stefanus sambil menatap senja. “Entah kenapa… rasanya hangat tapi sekaligus menyedihkan. Kayak… mengingatkan kita kalau semua hal indah pasti akan berakhir juga.”

Stefany tertawa kecil waktu itu. “Kamu ini, ya… senja aja bisa bikin kamu jadi puitis gini.”

Stefanus menoleh padanya, matanya berkilat lembut. “Bukan karena senjanya, mungkin karena aku duduk di sini bareng kamu.”

Kalimat itu dan senyum setelahnya menjadi panah yang kini menusuk jantung Stefany berkali-kali. Kenangan itu terlalu indah, terlalu nyata, dan kini terlalu menyakitkan karena Stefanus sudah tiada.

Stefany memejamkan mata, menahan air mata yang kembali ingin keluar. Suara tawa Stefanus, cara dia memandang dunia dengan optimisme meski hidupnya penuh kesederhanaan, semua itu kini hanya tersisa dalam potongan memori yang berputar tanpa henti.

Ia meraih ponselnya. Sudah lama ia tidak membuka galeri fotonya karena takut melihat wajah Stefanus. Tapi entah kenapa, sore itu ia memberanikan diri.

Satu per satu foto mereka muncul di layar Stefanus yang tersenyum canggung di depan kamera, Stefanus yang diam-diam memotret Stefany saat tertawa di kantin, Stefanus yang memayunginya waktu hujan gerimis turun di kampus.

Air mata yang tadi ditahannya kini jatuh juga. Di bawah langit senja yang berwarna emas, Stefany merasa seolah dunianya benar-benar runtuh.

Pagi itu, cahaya matahari menerobos tipis di balik tirai kamar Stefany. Udara Jakarta yang biasanya panas terasa begitu hening di dalam ruangan itu, seperti ikut menyerap semua kesedihan yang menggantung di udara. Stefany duduk di tepi ranjang, rambut panjangnya terurai berantakan, wajahnya pucat, matanya bengkak seperti sudah terlalu lama menangis.

Sejak kematian Stefanus, hari-hari Stefany tak pernah lagi sama. Dulu ia selalu bersemangat setiap pagi, ada saja alasan untuk tersenyum entah pesan singkat dari Stefanus, atau sekadar janji bertemu di kampus. Kini semua itu lenyap.

Stefany menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, pepohonan bergerak pelan tertiup angin. Ada bangku taman di bawah pohon flamboyan tempat Stefanus pernah duduk menunggunya suatu sore, membawa buku catatan kuliah yang tertinggal. Stefany masih ingat jelas tatapan malu-malu Stefanus waktu itu, senyum hangat yang kini tak akan pernah lagi ia lihat.

Air mata kembali mengalir tanpa diminta. Sudah berapa kali ia menangis? Ia bahkan sudah tak bisa menghitung.

Pintu kamar diketuk pelan.

“Non Stefany… ini sarapannya,” suara Mbok Ratmi, pembantu setia keluarga itu, terdengar lirih.

“Taruh saja di meja,” jawab Stefany pelan. Suaranya serak, hampir tak terdengar.

Mbok Ratmi melangkah masuk, meletakkan nampan berisi roti dan segelas susu di meja kecil dekat tempat tidur. Ia menatap Stefany dengan iba. Sudah berminggu-minggu gadis itu jarang makan, tubuhnya mulai terlihat kurus.

“Nduk… makan sedikit, ya? Badanmu nanti sakit kalau begini terus,” ucap Mbok Ratmi lembut.

Stefany hanya mengangguk tanpa suara. Ia tak sanggup menjawab.

Begitu Mbok Ratmi keluar, Stefany tetap duduk memandangi jendela. Roti dan susu itu tak disentuh sama sekali.

1
Ida Bolon Ida Borsimbolon
mantap,Tetap semangat berkarya💪☺️
argen tambunan
istriku jenius bgt lah♥️♥️
argen tambunan
mantap
Risno Simanullang
mkasi kk
Aiko
Gila keren!
Lourdes zabala
Ngangenin ceritanya!
Risno Simanullang: mkasi kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!