Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus berani
Matahari sudah tinggi di langit Lembang, sinarnya menerobos lembut lewat jendela kaca besar vila pribadi milik Dewangga Danurengga. Angin siang berhembus ringan, membawa aroma pinus dan udara khas pegunungan yang menenangkan. Namun suasana hati sang pemilik vila jauh dari kata santai.
Dewangga berdiri di depan meja kayu besar yang biasa ia gunakan untuk bekerja saat di Lembang. Kemeja putihnya digulung hingga siku, jam tangan mahal di pergelangan kirinya berkilat samar. Di hadapannya berdiri Rendi, kepala penjaga vila, bersama dua orang kepercayaannya.
“Sudah kau siapkan seperti yang kubilang tadi?” tanya Dewangga, nada suaranya datar namun tegas.
Rendi mengangguk cepat. “Sudah, Pak. Semua orang yang Bapak minta juga sudah paham dengan perannya. Malam nanti, begitu Bapak berangkat dari restoran, mereka langsung standby di lokasi.”
Dewangga menatap sejenak, matanya tajam, tapi kemudian ia hanya mengangguk pelan. “Bagus. Pastikan semuanya berjalan tanpa kekacauan. Aku tidak mau ada kesalahan sekecil apa pun.”
“Baik, Pak,” jawab Rendi mantap.
“Kalau begitu, kalian boleh kembali dulu. Nanti sore aku turun ke Dago, aku ingin memastikan tempatnya juga siap untuk malam ini.”
“Siap, Pak Dewangga.”
Rendi memberi hormat kecil sebelum meninggalkan ruangan bersama anak buahnya.
Begitu ruangan kembali sepi, Dewangga melangkah ke jendela besar yang menatap ke arah lembah. Ia menghela napas pelan, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Bayangan wajah Mentari terlintas di benaknya—sorot mata yang memohon penuh keyakinan, senyum gugup, dan suara lembut gadis itu ketika memintanya untuk berpura-pura.
Awalnya ia berniat menjaga jarak. Tapi kini, tanpa ia sadari, gadis itu sudah perlahan mengisi ruang yang lama kosong di hatinya.
Sebuah senyum samar muncul di bibirnya. “Kau pikir aku akan diam saja, Mentari?” gumamnya lirih. “Aku tidak suka melihat seseorang memaksamu memilih jalan yang tidak kau inginkan.”
Ia menatap jam tangannya. Hampir pukul satu siang.
Masih ada beberapa jam lagi sebelum makan malam yang akan ia adakan malam nanti— makan malam yang kelak akan mempertemukan dua keluarga, dan tanpa disadari oleh siapa pun… juga akan menjadi awal dari sesuatu yang tak lagi bisa ditarik kembali.
Dewangga meraih ponselnya dan menekan nomor asistennya. “Radit, pastikan restoran di Dago siap untuk malam ini. Pastikan juga keluarga Wiradiredja nyaman selama di sana.”
“Baik, Pak. Acara makan malam untuk keluarga sudah dikonfirmasi. Semua berjalan sesuai jadwal,” suara Radit terdengar di seberang.
“Bagus. Dan Radit—setelah acara nanti, aku akan antar Mentari pulang sendiri.”
Ada jeda sejenak di ujung telepon sebelum Radit menjawab, “Baik, Pak.”
Dewangga menutup panggilan, lalu memutar badannya menghadap meja. Di atas permukaan kayu itu, tergeletak sebuah file berlogo D’Or Mode dan satu lembar sketsa yang sangat familiar—sketsa karya Mentari yang dulu tertinggal di caffe.
Ia menatapnya lama, jemarinya menyusuri garis lembut gambar itu seolah menyentuh sesuatu yang hidup.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia menutup map itu perlahan.
Siang di vila itu kembali sunyi, hanya angin lembut yang bersuara.
Tapi di dalam kepala Dewangga, roda rencana sudah mulai berputar—sebuah langkah tenang namun berani, yang akan mengubah arah hubungan mereka setelah malam ini.
______
Langit Bandung mulai berubah warna—biru muda yang perlahan ditingkahi semburat jingga. Udara terasa sejuk, dengan aroma tanah lembab yang menenangkan setelah sempat disiram gerimis tipis siang tadi. Dari balkon kamar di rumah utama mereka, Ratna duduk bersebelahan dengan suaminya, Adikara, menikmati teh melati yang masih mengepul di cangkir porselen putih.
“Bandung itu selalu punya cara menenangkan hati, ya,” ujar Ratna lembut, matanya menatap jauh ke arah deretan pinus yang melambai.
Adikara hanya mengangguk pelan. Sorot matanya kosong, tapi pikirannya sibuk memutar ulang pemandangan siang tadi—bagaimana Dewangga menatap Mentari di depan villa, bagaimana gadis itu tersipu setiap kali pria itu berbicara.
Akhirnya ia bersuara, nada suaranya berat namun tenang. “Aku tahu tatapan itu, Ratna. Tatapan seorang pria yang sudah berusaha keras menyembunyikan sesuatu, tapi tak sepenuhnya berhasil.”
Ratna menoleh pelan, menatap suaminya dengan alis terangkat. “Maksudmu Dewangga?”
“Hmm,” gumam Adikara, menaruh cangkirnya di atas meja kecil. “Dewangga Danurengga bukan pria sembarangan. Aku tahu latar belakangnya—putra sulung mendiang Dirga Danurengga, pemilik jaringan properti dan restoran yang sekarang ia kelola sendiri. Bisnisnya dalam bilang fashion juga berkembang pesat dan meluas hingga internasional. Pintar, berwibawa, tapi... punya riwayat yang tak ringan.”
Ratna menarik napas lembut. “Kau bicara tentang rumah tangganya yang dulu?”
“Ya. Rumor itu benar, Ratna. Ia pernah menikah, meski singkat, dan sejak itu memilih hidup menyendiri. Tak punya anak.” Adikara menatap jauh ke lembah di bawah sana. “Tapi yang membuatku lebih waspada… bukan masa lalunya. Melainkan cara dia menatap putri kita.”
Ratna terdiam sejenak. Angin sore menerpa ujung rambutnya, membelai lembut.
“Aku juga melihatnya,” ucapnya akhirnya, pelan tapi pasti. “Dan anehnya… aku tidak merasa takut. Mentari terlihat lain saat bersamanya. Lebih hidup. Lebih ringan.”
Adikara mengalihkan pandangannya, menatap sang istri. “Kau tak takut ia terjebak dalam hubungan yang rumit? Dewangga bukan pria muda, Ratna. Usianya terpaut jauh dengan Mentari.”
Ratna tersenyum samar, tapi matanya tetap teduh. “Justru itu. Mungkin Mentari butuh seseorang yang matang, yang tak mempermainkan hati. Kau ingat waktu dia bersama Arsenio? Wajahnya selalu kaku, seolah memaksakan diri untuk bahagia. Tapi tadi—di halaman villa—aku lihat sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ia tersenyum tanpa sadar.”
Adikara terdiam lama. Ia mengenal baik putrinya; bahkan dalam diam, ia bisa membaca isi hati Mentari lewat gesturnya.
Dan tadi, ya, ada sesuatu yang berbeda. Dewangga mungkin terlalu tenang, tapi ada kilatan halus di matanya tiap kali gadis itu bicara.
“Dunia ini kecil, Ratna,” katanya akhirnya. “Rumor tentang Dewangga sudah lama beredar di kalangan kita. Seorang duda tanpa anak, hidupnya nyaris tak tersentuh gosip murahan, tapi tetap menjadi bahan pembicaraan. Dan sekarang... orang seperti itu dekat dengan Mentari.”
Ratna tersenyum, menggenggam tangan suaminya dengan lembut. “Mungkin ini cara Tuhan memberi ujian baru. Kadang yang terlihat rumit di awal justru berakhir baik. Siapa tahu?”
Adikara menatap istrinya lama-lama, sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang dan menatap langit yang mulai berwarna tembaga.
“Aku hanya ingin dia bahagia, Ratna. Hanya itu.”
......
Sementara itu, di ruangan lain, Mentari berbaring miring di atas ranjang. Tirai jendela dibiarkan terbuka, membiarkan cahaya sore yang lembut masuk dan menari di permukaan kulitnya.
Pikirannya melayang jauh.
Tentang bagaimana nanti malam Dewangga akan berbicara dengan orang tuanya.
Tentang ekspresi ayahnya—yang selalu tenang tapi tajam menilai.
Tentang ibunya—yang lembut tapi peka membaca suasana hati.
Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan napasnya. Tapi degup jantungnya tak mau berkompromi.
“Bagaimana kalau Ayah ngga setuju?” bisiknya pada diri sendiri.
“Atau bagaimana kalau Dewangga berubah pikiran di tengah jalan?”
Ia berguling pelan, menatap langit-langit kamar yang bermandikan cahaya oranye. Ada sesuatu yang tumbuh di dadanya—bukan hanya cemas, tapi juga harapan kecil yang berani.
Ia mengingat wajah Dewangga pagi tadi, tatapannya yang menenangkan, senyum tipis yang tak pernah benar-benar hilang bahkan saat ia bicara serius.
Senyum itu anehnya membuat Mentari merasa aman, seolah dunia tak lagi menakutkan.
Mentari menarik napas panjang, lalu bangkit duduk di tepi ranjang.
“Nanti malam... apa pun yang terjadi, aku harus siap,” gumamnya lirih.
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin meja rias.
“Mentari Wiradiredja,” ucapnya pada refleksinya, “kalau kamu memang berani kabur dari rumah semalam... maka kamu juga harus berani menghadapi semuanya malam ini.”
Di luar, senja semakin turun.
Burung-burung kembali ke sarang.
Dan di hati Mentari—antara ragu dan cinta—perlahan mulai tumbuh keberanian baru.