Pewaris Kembar

Beberapa minggu terakhir hidup Zayan terasa seperti mimpi. Setelah malam itu di klub, hubungan antara dirinya dan Niken berjalan begitu cepat. Mereka mulai bertukar pesan hampir setiap hari, makan malam bersama, dan bahkan pergi berlibur singkat ke Bali hanya berdua.

Bagi Niken, Zayan datang di saat yang tepat, saat hatinya masih retak dan butuh kehangatan. Sedangkan bagi Zayan, kehadiran Niken seperti pelarian dari kenyataan hidup yang sebenarnya sedang berantakan.

Termasuk kenyataan bahwa di luar sana, ada seorang perempuan bernama Zoya yang tengah mengandung bayi dalam rahimnya. Entah kenapa Zayan tak peduli, lagi pula sejak awal dirinya menaruh kecurigaan pada gadis itu.

Hingga kini Zayan memilih diam. Ia memilih tidak menjawab pesan-pesan Zoya, tidak menjawab teleponnya, bahkan berpura-pura seolah perempuan itu tidak pernah ada. Setiap kali notifikasi muncul di ponselnya dengan nama “Zoya”, Zayan hanya menatap layar beberapa detik, lalu mematikan ponselnya.

“Aku hanya butuh waktu,” begitu pembelaan yang selalu ia bisikkan pada dirinya sendiri. Tapi yang sebenarnya terjadi, ia sedang melarikan diri.

Niken membuatnya lupa pada rasa bersalah itu. Gadis itu hangat, penuh tawa, dan begitu mudah percaya. Dalam senyum Niken, Zayan menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan selama ini.

Sore itu mereka duduk di kafe tepi danau, menikmati kopi dan angin lembut. Niken tertawa kecil ketika Zayan menceritakan hal-hal konyol masa SMA-nya.

“Kau benar-benar menyebalkan waktu itu,” ujar Niken sambil menepuk lengannya ringan.

“Kalau aku tidak menyebalkan, kau nggak akan ingat aku sekarang,” sahut Zayan sambil tersenyum nakal.

Mereka tertawa bersama. Dunia terasa sederhana bagi Zayan, hanya ada dirinya dan Niken. Namun dunia yang ia abaikan pelan-pelan mulai mengejarnya kembali.

Zoya, yang selama ini ia diamkan, akhirnya tidak tahan lagi. Gadis itu sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, bahkan datang ke apartemen Zayan, tapi selalu ditolak satpam.

Hari itu, Zoya memutuskan mengikuti Zayan diam-diam. Ia mengenakan hoodie hitam dan masker, bersembunyi di antara kerumunan di mal tempat Zayan dan Niken berjalan berdua. Ia melihat segalanya, tangan Zayan yang merangkul pinggang Niken, Zayan bahkan sesekali membelai lembut rambut Niken.

Dada Zoya bergemuruh. Tangannya gemetar menahan marah. Ia ingin berteriak, ingin menyeret Zayan di depan semua orang. Itu semua jelas bukan cemburu, tapi perasaan benci dan dendam yang semakin meluap. Maka Zoya mencoba mencari cara lain.

Malam itu juga, Zoya mendatangi rumah besar milik keluarga Nugroho. Zoya sengaja memakai make up pucat. Namun sayangnya Jefri sedang tak ada di rumah. Ia hanya bisa menemui ibunya Zayan yang terlihat sekali dari wajahnya kalau dirinya tak menyukai Zoya.

“Maaf, Tante. Tapi sepertinya Zayan tidak mau bertanggung jawab.”

Leony menatapnya dengan dahi berkerut. “Terus? Kau mau apa?! Lagian belum tentu kan anak dalam perut itu anak Zayan?! Kau masih belum bisa membuktikannya!"

Nada suara Zoya bergetar. “Aku melihatnya bersama wanita lain, dan Zayan mengabaikanku habis-habisan... Kalau dia begitu terus, aku akan katakan pada seluruh dunia bagaimana Zayan yang sebenarnya. Bagaimana putra tunggal keluarga Nugroho yang sebenarnya!"

"Katakan saja apa maumu yang sebenarnya?! Apa kau perlu uang, aku akan membayar berapapun agar kau berhenti mengusik kehidupan Zayan!" ujar Leony dengan mata menyalang. Dia memang selalu begitu, benar atau salah Zayan, Leony akan selalu melindungi lelaki itu.