Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beri aku kesempatan
Seorang pria berbaring di atas brankar, suhu ruangan yang terasa dingin dan beberapa perabotan berwarna putih menambah kesan sepi di tempat tersebut.
Sesekali pria itu menghela napas panjang dan memegangi area pinggangnya yang terasa sakit. Pria itu mengira kemarin adalah akhir dari hidupnya. Terlebih saat samar-samar melihat lampu ruang operasi menyala sebelum ia kehilangan kesadaran akibat obat bius.
Naren meringis kecil sebab pergerakannya yang terlalu intens tanpa bantuan siapapun. Ia berniat duduk tetapi tidak bisa lantaran luka tembaknya berada di antara lipatan.
Pria itu meraih ponselnya dan menghubungi sang Ibu. Ia tersenyum melihat wajah ibunya.
"Alhamdulillah akhirnya ibu bisa melihatmu tersenyum Nak. Ibu sangat mengkhawatirkanmu," ujar ibu Naren di seberang telepon.
"Kemarin ibu rasanya ingin menyusulmu kerumah sakit, tapi kata temanmu kamu nggak bisa ditemui oleh keluarga demi keamanan."
"Naren baik-baik saja Bu. Anak-anak bagaimana? Tolong jangan katakan pada mereka bahwa Naren di rumah sakit."
"Anak-anak kamu ada di bawah sama ayah. Jangan pikirkan mereka dan fokus sama kesembuhanmu. Kalau bisa kamu keluar saja dari pekerjaan sekarang."
"Iya Bu." Naren menganggukkan kepalanya.
Pria itu mengakhiri panggilan ketika seorang wanita masuk ruangannya membawa bunga dan buah di kedua tangan.
"Aku kaget banget dengar kabar kamu kena tembak Ren," ujar Shanaya sembari meletakkan bunga dan buah di atas meja. "Tapi terimakasih banyak karena melindungi sahabatku." Wanita itu duduk tepat di samping brangkar.
"Sudah aku bilang, melindungi nona Leona adalah tanggung jawabku."
"Iya sih, tapi tetap saja," lirih Shanaya. "Pasti belum sarapan kan? Aku potong buah buat kamu."
"Naya?" panggil Naren sebelum wanita itu bergerak lebih jauh. Ia tidak enak dan rasanya aneh jika selalu mendapatkan perlakuan baik dari Shanaya. Jika dilakukan terus menerus ia akan terbelenggu dengan rasa hutang budi.
"Selayaknya teman saja. Datang, menanyakan kabar setelah itu pulang."
Naren mengira Shanaya akan tersingung dan segera pergi, tetapi wanita itu malah tertawa dan melakukan apa yang dikatakan tadi. Mengupas buah di sofa dan memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.
"Aku bersikap sebagai teman kok, tapi agak lebih sedikit. Nggak ada yang marah kan?"
"Mas Naren?"
Suasana yang semula tenang mendadak berubah akibat kedatangan wanita yang sebenarnya tidak ditunggu kehadirannya oleh siapapun. Terlebih ketika wanita itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mendengar mas masuk rumah sakit aku khawatir banget." Nadira mendekati brankar tanpa menyapa Shanaya di sofa.
"Aku baik-baik saja." Menghalangi tangan Nadira yang hendak membelai wajahnya.
"Aku hanya ingin merapikan rambut mas yang tampak berantakan, kenapa malah menyingkirkan tanganku?"
"Nadira, apa hatimu terbuat dari batu?" pertanyaan itu lolos tanpa bisa Naren cegah. Entahlah, tapi mulutnya refleks berbicara padahal tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
"Apa maksud mas Naren? Aku datang karena khawatir pada mas."
"Aku sudah memotong buahnya, aku ke kantin sebentar," ujar Shanaya dan berlalu tanpa menunggu respon Nadira atau pun Naren.
"Berhenti bersikap seolah-olah nggak ada yang terjadi di antara kita Nadira. Melihatmu seperti ini hanya menambah luka yang berusaha aku sembuhkan."
Tatapan Naren terkesan dingin, tidak ada lagi cinta yang terpancar seperti dulu. "Kita sudah selesai dan jangan hadir dalam hidupku lagi. Maaf, tapi aku nggak bisa seperti arti-artis di luar sana yang bisa berdamai dengan masa lalunya. Terlalu sakit," lirih Naren.
"Maaf, tapi aku mau kita kembali seperti dulu lagi. Aku berjanji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Aku nggak bisa!" Naren melempar tatapannya keluar jendela, di mana matahari sedang bersinar terang.
"Kejar bahagaimu tanpa melibatkan aku."
"Mas Naren aku mohon, beri aku kesempatan." Nadira berlutut di sisi brankar.
Namun, untuk pertama kalinya Naren mengacuhkan Nadira. Pria itu masih menatap jendela sampai akhirnya Nadira pergi dari ruangannya.
Saat itulah setitik bulir bening kembali membasahi sudut mata pria itu. Dia merasa jahat telah memperlukan ibu dari anak-anaknya kasar. Namun, mau bagaimana lagi ini demi kesehatan hatinya. Jika tidak tegas dan terus luluh, Nadira akan terus melakukan hal yang sama.
....
"Terimakasih sudah melepas Naren, Nadira," ujar Shanaya.
Nadira yang hendak meninggalkan rumah sakit segera berbalik dan menatap malas temannya. Salah, sepertinya Shanaya bukan lagi temannya tetapi saingan. Terlebih teman-teman yang dulu mendukungnya kini tidak lagi respek padanya. Sejak pernikahan Rafka, baik Leona, Arina dan Shanaya mereka sudah mengacuhkan dirinya.
"Kamu kira aku akan menyerah."
"Harusnya iya kalau kamu punya urat malu," balas Shanaya. "Kamu tahu? Sesuatu yang busuk jika dibuang ke tempat sampah nggak bakal ada yang memungutnya. Jangankan untuk mendekat, aromanya saja membuat nggak berselera. Tapi kalau kamu nggak sengaja membuang permata ke tempat sampah, hanya hitungan beberapa menit, permata itu akan diambil orang lain." Shanya tersenyum.
Berbeda dengan Nadira yang mengepalkan tangannya. Rasanya wanita itu ingin menjambak rambut hitam keunguan milik Shanaya. Namun, ia berusaha menahan diri sebab banyak orang di sekitarnya. Bagaimana pun ia harus menjaga image sebagai seorang wanita.
"Shanaya!" Seorang wanita berlari kecil menghampiri Shanaya dan cipika-cipiki. Melewat Nadira seolah wanita itu tidak ada.
"Sudah datang ternyata. Ayo." Shanya dan Arina bergandengan tangan menuju lift di depan Nadira.
Nadira membuang napas kasar dan meninggalkan rumah sakit. Akibat kurang bersyukur kini dia kehilangan segalanya. Bukan hanya suami dan anak-anak, tetapi ia pun kehilangan teman yang selalu ada untuknya.
Wanita itu berjalan gontai di pinggir jalan, hari ini ia tidak naik mobil sebab ada di bengkel. Sebenarnya mobilnya sudah bisa diambil tapi ia belum punya uang untuk menebusnya.
Nadira menyetop taksi dan duduk dengan tenang di jok belakang. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Ternyata sesulit ini mencari pekerjaan," gumam Nadira.
Dia sudah keluar masuk interview tapi belum mendapatkan pekerjaan. Di tengah perjuangannya tersebut, dia selalu teringat pada Naren. Di mana ia selalu meremehkan suaminya dan menuntut agar mendapatkan pekerjaan.
"Maaf Mas karena menyakitimu. Aku berjanji akan berubah jika diberi kesempatan untuk kedua kalinya," lirih Nadira.
Ia membuka matanya, menatap nanar jalanan yang mulai padat. Kemana lagi dia akan pergi sekarang? Rumah yang diberikan Naren tidak sehangat dulu lagi. Terasa hampa dan sepi. Mungkin karena pemilik yang sebenarnya telah pergi dari rumah itu. Sang pemberi kehangatan tidak lagi menetap.
Rumah yang dulunya menjadi impian mereka, bagai cangkang kosong.
"Maaf." Kembali Nadira bergumam.
Andai saja dirinya dulu tidak tergiur dengan tawaran Rafka dan menganggap teman-temannya saingan, semua ini tidak akan terjadi. Mungkin jika Nadira sedikit lebih bersyukur dan bersabar ia tidak akan kehilangan segalanya.
.
.
.
.
.
Menurut kalian mereka punya kesempatan untuk bersatu lagi nggak sih?
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren