"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I love you too.
Tama keluar lebih dulu setelah pekerjaannya selesai. Sora sendiri masih galau harus ikut atau tidak. Sejak tadi dia sibuk berkirim pesan kepada Kayla untuk meminta saran. Namun perempuan itu justru mengisyaratkan sebuah dukungan.
‘Lo sebenarnya dukung gue untuk jauh dari Tama atau dukung gue untuk dekat sih, Kay? Heran.’ Sora kesal karena Kayla menyarankan supaya ikut saja dengan sang bos. Padahal Kayla tau kalau Sora sangat alergi dengan Tama.
‘Gue dukung ke mana hati lo berlabuh, Sora cantik. Mau sama Tama, gue seneng. Mau sama Julian, Fabian, gue juga seneng. Tapi gue yakin lo bakalan tetap maunya sama Tama. Iya nggak?’
Jawaban itu bukannya membuat Sora mendapatkan solusi. Malah semakin pusing. Kepalanya geleng-geleng sambil membereskan tas. Dia menyerah.
“Cabut dulu guys.” Dia pamit kepada anak-anak. Semuanya menyahut dengan biasa saja. Tidak ada yang berlebihan mengingat ada Giselle di dalam ruangan.
Sora keluar dan berjalan menuju lift. Dilihatnya Tama sudah berdiri menunggunya di depan pintu baja tersebut. Sora tidak tau harus bersikap bagaimana sekarang. Dan juga nanti, selama mereka bersama. Rasanya sangat canggung. Padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak ada jarak. Duh, mana ini rada jauhan perginya.
Menyadari Sora sudah ada di sampingnya, Tama pun menekan tombol lift.
“Gue ke ruang admin dulu, ambil dokumen. Lo duluan aja.” Sora berucap setelah keduanya masuk. Menekan angka satu setelah Tama menekan tombol G, alias basement.
“Kenapa gue harus duluan?”
“Lo masih nanya kenapa?” Sora menjawab dengan malas.
“Gue temani lo. Lo harus profesional.”
“Ya udah, lo aja yang ambil dokumennya.”
Tama terkesiap. Saat lift sudah terbuka, Sora beneran tidak mau keluar.
“Ayo, Sora.” Dia memberi peringatan.
“Gue aja, atau lo aja. Itu pilihannya. Gue nggak mau ada omongan miring lagi.” Wanita itu bersikeras. Suaranya semakin ditekan sebelum pintu lift kembali tertutup.
Tama menghela napas. “Ya udah. Lo aja. Gue tun—“
Sora sudah keluar sebelum Tama selesai berbicara. Laki-laki itu speechless. Sora banyak berubah. Jauh. Perempuan itu tak sungkan-sungkan menunjukkan kalau sekarang dia sangat anti berduaan dengan Tama. Anti kalau orang-orang melihat mereka jalan bersama hanya karena Tama sudah punya kekasih. Haruskah sampai seperti itu? Di luar sana banyak sahabat yang masih bisa berteman sekalipun keduanya sama-sama sudah punya pasangan.
Tapi jelas ini kasusnya beda. Tama tau kenapa Sora menarik diri sejauh mungkin dari dirinya. Karena rasa cinta itu ‘kan? Tama juga paham kalau perempuan itu tidak sekedar ingin menjaga perasaan Giselle. Namun lebih ke menjaga hatinya sendiri yang terluka melihat Tama bersama perempuan lain. Adakah cara untuk memperbaiki sebelum semuanya jauh lebih hancur lagi?
Bodoh amat. Tama tetap keluar dari lift dan mengikuti Sora ke ruang administrasi. Dia tidak ingin perempuan itu mengira kalau dia juga takut akan ada gosip di belakang. No, sama sekali tidak. Bukankah justru lebih menarik kalau orang-orang kembali nge-ship mereka berdua?
“Eh ada Pak Tama juga.”
Seperti dugaan, anak-anak admin terkejut dengan kedatangannya. Sora yang sedang menunggu surat jalan di samping meja admin delivery, langsung melihat ke arah pintu masuk. Namun sama sekali tidak ada ekspresi di wajah cantiknya. Dingin dan datar.
“Mau ke mana pak bos? Perginya bareng Sora ya?” Ada saja yang kurang kerjaan bertanya.
“Iya, biasa, ketemu customer yang rewel,” jawab Tama sambil menghampiri Sora. “Udah belum?” tanyanya, seakan buta kalau si admin masih mencetak surat jalan dan invoice-nya.
“Belum.” Sora tidak mungkin mengabaikan pria itu di depan yang lain bukan? Tama memang sengaja. Ck!
Duh! Apa lagi sih pria ini? Kenapa harus pakai acara berdiri di belakang Sora sampai dadanya bersentuhan dengan lengan Shanon. Ini disengaja banget sih asli. Sora nggak suka! Perempuan itu langsung menjauh, berpura-pura menghampiri printer untuk mengambil hasil print-an adminnya.
“Makasih, Beb. Ayo, Tam.” Dia sama sekali tidak melihat orang yang dia panggil.
“Eh, Ra! Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Jadinya lo mau nggak dinafkahin sama Julian?”
“Kalau gue mau, gue pasti kabarin. Bye!” Perempuan itu kabur tanpa berniat memberi waktu kepada orang-orang untuk bertanya tentang Julian. Kenapa sih pada kepo banget sama kehidupan pribadinya? Heran.
Sesampainya di basement, Tama membuka pintu mobilnya untuk Sora. Perempuan itu sempat berhenti, tidak setuju apa yang dia lakukan.
“Cuma membukakan pintu, Ibu Sora. Tidak lebih.”
Dan perempuan itu menurut. Takut juga keburu ada yang melihat dan berpikir yang tidak-tidak. Sora duduk dan memasang sabuk pengamannya. Beberapa detik kemudian Tama juga masuk mengisi kursi kemudi.
“Lo dan Julian makin populer,” gumam Tama yang sedang menghidupkan starter. Tak lupa laki-laki itu juga memasang seat belt.
Sora tidak menyahut. Bahkan menoleh ke kanan pun tidak. Dirasakannya mobil itu perlahan-lahan mulai bergerak.
“Lo senang dengan circle lo yang baru, Ra?”
…
“Ra. Gue bicara sama lo.” Pria itu mulai gusar. Apakah Sora akan mengabaikan dia sepanjang jalan?
“Lo nggak punya otak atau gimana ya, Tam? Lo mikirin posisi gue nggak sih?” Tiba-tiba saja perempuan itu memuntahkan umpatan. Dan saat menoleh, wajahnya sudah berubah menjadi merah.
“Maksud lo?”
“Lo ngapain nemanin gue segala? Pacar lo ada di kantor sekarang! Kok lo nggak paham-paham sih ngomongan gue?!” Kedua mata yang mulai berkilat itu, menatap nyalang Tama yang terlihat polos. Biarlah, mau setelah ini dia dibenci, biarlah. Lebih baik demikian.
“Kenapa semuanya harus lo kaitkan dengan Giselle? FYI Giselle nggak pernah mikir negatif tentang lo, Sora. Dia tau kita sahabat sejak lama. Justru Giselle heran kenapa akhir-akhir ini lo terkesan jaga jarak sama gue.”
Dahi Sora berkerut, mulutnya setengah terbuka. Seriusan Giselle mikir kayak gitu? Giselle nggak pernah mikir negatif tentang Sora? Sungguh berhati malaikat. Ah, tapi Sora malah fokus pada kalimat Tama yang memuji Giselle di hadapannya. Sakitnya… sakitnya, oh sakitnya.
“Congrats, lo dapat cewek langka kayak Giselle. Tapi tetap aja, gue yang nggak nyaman dekat-dekat dengan pacar orang. Itu prinsip gue. Lo suka atau enggak, itu hak lo,” jawab Sora tegas sambil kembali membuang wajahnya. Air matanya sudah hampir terjatuh.
“Bukan kayak gitu, Sora. Kalau kayak gini, lo jatuhnya nggak profesional. Paham?”
“Selama gue nggak kurang ajar sama lo dalam kerjaan, selama gue masih menghargai lo di kantor sebagai atasan gue, itu artinya gue masih on track. Tapi untuk berduaan sama lo seharian, maaf, gue nggak bisa. Gue nggak suka ada omongan-omongan miring di belakang. Katakanlah Giselle open minded. Tapi orang-orang who knows? Itu yang pengen gue jaga.” Sora membela dirinya.
“Omongan orang yang mana sih? Bukannya sekarang lo malah lagi dijodoh-jodohin sama Julian? Emangnya ada yang bahas lo sama gue?” Tama memancing. Ingin mendengar respon Sora jika ada yang menggosipkan mereka berdua.
…
“Ra? Memangnya ada yang gosipin lo sama gue?” ulang laki-laki itu dengan nada yang semakin menuntut.
“Sejauh ini nggak ada karena gue emang jaga jarak sama lo! Dan nggak menutup kemungkinan akan ada kalau lo nggak tau posisi lo di mana!”
Setelah menyemburkan kata-kata pedas itu, Sora bersandar, menutup wajahnya dengan jaket dan melipat kedua tangan di dada. Dia tidak ingin berinteraksi dengan Tama lagi. Lebih baik tidur sampai tiba di tujuan.
“Gue benar-benar udah nggak kenal lo lagi, Ra. Kalau kehilangan lo sampai seperti ini adalah konseskuensi dari berpacaran dengan Giselle, gue nggak akan pacaran dengan siapapun kecuali dengan lo.”
…
“Gue kangen lo, Ra. Gue kangen Sora yang dulu. Gue paham maksud baik lo dengan menjaga jarak ke gue, tapi apa lo mikirin gue juga? Kita udah pernah membahas ini. Gue kesepian. Semua anak-anak ninggalin gue. Kalian malah seru-seruan dengan divisi lain dan nggak melibatkan gua dan Giselle sama sekali.”
“Stop, Tam. Gue nggak mau dengar apapun dari mulut lo.” Rupanya Sora tidak tidur. Kini tubuhnya bergetar mendengar kalimat-kalimat memojokkan itu lagi. Rasanya seperti dejavu.
Perempuan itu kembali menurunkan jaket dari wajahnya dan menoleh ke samping. “Lo yang sibuk pacaran, tapi lo nyalahin kita karena lo kesepian? Lo bener-bener nggak punya otak, Tam! Nyesal gue pernah temenan sama lo!”
Tama bergeming.
“Lo sadar nggak kalau lo yang duluan berubah karena Giselle? Berapa kali kita ajak lo main tapi lo tolak karna kalian harus kencan? Waktu lo ke kita juga tersita banyak karna Giselle. Lo juga pernah nyalahin kita-kita demi ngebelain Giselle. Ingat nggak lo?! Duh, sebenarnya gue malas banget bahas-bahas ini. Tapi gue eneg lo salahin terus karna sekarang lo merasa terasing. Itu pilihan lo, Tam. Jadi jangan seenaknya nyalahin orang lain!” Sora menggebu-gebu. Seperti sangat puas sudah menampar Tama dengan kata-katanya. Dadanya bergerak naik turun menahan emosi. Tama ini bebal, buta atau gimana sih? Kenapa tingkat kesadaran dirinya terjun bebas seperti ini?
“Jangankan lo… gue juga udah lama ngerasa kalau lo bukan Tama yang dulu lagi. Sebelum lo bilang gue berubah, lo udah berubah lebih dulu. End of conversation. Ini sama sekali nggak penting,” tandas Sora menutup pembicaraan. Jaket yang kembali terangkat ke wajah menandakan dia tidak ingin mendengar jawaban apapun lagi dari Tama.
Hening. Sampai mobil itu berhenti di depan sebuah restoran bernuansa Sunda, tak satupun dari mereka yang lanjut bicara. Setelah mesin berhenti, Tama menoleh ke samping. Sora sama sekali tidak bergerak.
“Kita sampai, Ra.”
Tetap tidak ada pergerakan. Tangan Tama bergerak membuka jaket yang menutupi wajah gadis itu, takut kenapa-napa. Ternyata perempuan itu ketiduran.
Seharusnya Tama membangunkan Sora karena urusan pekerjaan yang sudah di depan mata. Tapi yang dia lakukan sekarang malah membiarkan perempuan itu tetap tertidur dengan tenang. Ini adalah kesempatan langka. Berduaan dengan Sora seperti ini sudah tidak pernah terjadi.
Tama sangat rindu. Tangannya bergerak secara otomatis, menepis rambut lepas yang menutupi wajah cantik itu. Sesaat laki-laki itu tertegun melihat ada jejak air mata yang masih membekas jelas di pipinya yang putih.
Hati seorang Tama tersentuh. Kembali teringat bagaimana kemarin perempuan ini menangis di depan orang-orang. Dia tau kalau Sora tidak mungkin seberani itu menangis di depan orang banyak kalau bukan karena beban yang dia tanggung sudah terlalu berat. Sialnya, beban itu adalah Tama sendiri. Sora mengira cintanya bertepuk sebelah tangan.
Wanita cantik itu sedikit bergerak karena sentuhan jemari Tama. Namun tidak sampai terbangun. Justru terlihat semakin nyaman karena salah satu telapak tangan Tama menopang pipinya.
“Gue kangen Sora yang manis kayak gini. Gue beneran pengen balik sama lo, Ra.”
…
“Butuh waktu untuk gue menyadari kalau gue sudah salah melangkah. Gue nggak butuh siapa-siapapun lagi di muka bumi ini selain lo. Kehilangan lo kembali mengingatkan gue akan rasa sakit saat kepergian nyokap gue dulu.”
…
“I need you, Sora.”
Suara Tama, dan mungkin juga elusan jempolnya yang intens, membuat kedua kelopak mata Sora bergerak. Sepertinya dia akan terbangun sebentar lagi. Namun, walau demikian Tama tidak berniat mundur dari posisinya. Justru menantikan reaksi Sora setelah perempuan itu membuka matanya.
Sora mengerjap. Objek yang langsung tertangkap bola matanya yang bening adalah wajah tampan laki-laki yang membuatnya sering menangis akhir-akhir ini. Posisi wajah mereka yang begitu dekat membuat Sora menahan napas. Nyawanya belum terkumpul sempurna. Namun yang pasti merasakan tangan Tama menempel di pipinya.
“Gue bertanya-tanya… perempuan mana yang justru pergi setelah mengaku cinta kepada seorang laki-laki.” Suara lembut pria itu memenuhi gendang telinga seorang Sora.
“Ma—maksud lo… apa?”
“Gue dengar, Ra. Gue dengar apa yang lo bilang sambil berbisik di depan gue yang lagi tidur di sofa apartemen lo. Dua bulan yang lalu."
Oh my God!! Kedua pupil Sora refleks membesar. No way! Waktu itu Tama sedang tidur pulas. Dia tidak mungkin mendengarnya!
"Me-memangnya... gue... bilang a-apa?"
Kegugupan Sora membuat Tama tersenyum kecil. Kemudian jempolnya kembali bergerak tepat di tulang pipi gadis itu.
"I love you too... Sora."
***