Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 8
...-Ternyata jadi dewasa itu nggak mudah, ada yang bisa kasih tutorial?-...
...***...
Menyebalkan dan tak punya rasa malu. Dua hal ini ada pada diri Latif sejak dia kecil, ini adalah kolaborasi memuakkan manusia-manusia di sekitarnya, terlebih untuk Ayara. Meski diusir, Latif masih menunggu Barrata di lokasi syuting, demi bicara langsung dengannya.
"Aku cuman mau liat dia dari jauh, nggak bakal ganggu kok," ujar Latif berkelit. "Aku nge-fans banget sama dia. Kumohon, jangan usir aku dari sini." Wajahnya sangat menyedihkan, dengan suara parau ia mengiba.
Latif sang pemaksa, ia seperti hama yang sulit dibasmi. Bicara dengannya hanya membuang waktu dan hal ini sangat tidak cocok dengan para kru yang super sibuk. Selama Latif tak mengganggu, mereka akhirnya menyerah, ia dibiarkan berada di lokasi syuting.
Memang terlihat diam, sekadar memerhatikan, tapi Gavin melihat gelagat aneh pada diri Latif. Lantas ia menyeretnya ke sudut taman. "Kamu mau apa?!"
Cengengesan, Latif menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Aku ... paman Ayara. Ada yang mau aku omongin sama Barra."
Membaca raut wajah Latif yang nampak seperti orang tidak berdosa, rahang Gavin mengeras mendengar dia memperkenalkan diri sebagai paman Yara. Entah kenapa, Gavin merasa pria di hadapannya ini sangat licik.
Atensi Gavin tersita pada Barra yang berdiri sedikit jauh di belakang Latif. Sepertinya pekerjaan Barra telah selesai. Ia memberikan kode untuk membawa Latif bersamanya. Meski berat hati, Gavin mengajak Latif untuk ikut bersamanya.
Tepat berada di depan sebuah mobil berwarna hitam, besar dan mewah. Spontan kedua mata Latif terbelalak.
"Masuklah," ujar Gavin.
Sempat tergagap karena terpesona oleh benda besar dan mewah itu, Latif kembali cengengesan. "Oh, hehehe ... iya, siap, Pak." Langsung saja ia masuk ke dalam mobil Barra dan sang empu telah berada di dalamnya.
Aroma wangi yang tak pernah Latif temui di tempat lain, membuatnya tersenyum seraya berkata "Wah, wangi banget."
Brak!
Gavin menutup pintu dengan keras, nampak sekali sikap tidak sukanya terhadap Latif.
"Kamu mau apa datang ke sini?" tanya Barra seraya membuka kacamata yang dia kenakan.
Kembali Latif terpesona, namun, kali ini pada sosok sang artis. Barrata berkulit putih, hidung mancung, dan dia punya tahi lalat di bawah mata kiri, membuat matanya yang sipit terlihat tajam. Tanpa tersenyum pun dia sudah sangat menawan.
Barra menjentikkan jari demi menyadarkan Latif dari lamunan.
"Eh, apa tadi?"
Oh demi Neptunus! Gavin gemas sekali ingin memukul kepala Latif. Baginya pria ini sangat berbahaya.
"Maksud dan tujuan kamu nyariin dia kenapa?" Kali ini Gavin yang bicara, dengan nada datar.
Memperbaiki letak duduknya, Latif bersiap bicara. "Ehem!" ujarnya "begini, kenalin aku Latif, paman Yara. Kamu pasti kenal 'kan sama dia, dia guru di sekolah anak kamu."
Barra mulai merasakan ada yang tak beres. "Ya, terus?" tanya pria ini. Dia hanya melirik sekilas Latif yang masih saja cengengesan.
"Gini lho, Bar. Aku lagi butuh duit. Kamu pinjemin dulu ya, nanti Yara yang bayar." Latif diam sejenak, seperti sedang berpikir. "Aku sama dia udah biasa begini, masalah utangku pasti dia yang bayarin." Latif bicara seolah bangga dengan kemampuannya membebani hidup Yara, urat malunya memang sudah putus, atau justru dia terlahir tanpa urat malu.
Tanpa banyak bicara, Barra menarik dompetnya. "Kamu perlu berapa?"
"Bos ..." Gavin menggelengkan kepala.
"Ini utang 'kan? Pasti dibayar, iya 'kan?" Barra bertanya pada Latif, juga ingin lebih memastikan.
"Iya, dong. Lagian, kamu kenal Yara, tau juga dia kerja di mana. Aku udah bilang juga 'kan tadi." Terlihat jelas raut kebahagiaan di wajah Latif. Apalagi Barra dengan mudahnya percaya bahwa Yara yang akan membayar utang ini.
Barra mengangguk kecil. "Oke, kamu perlu berapa?" ulangnya bertanya.
"Ehm ... 2. Ah, enggak, 4 juta. Aku pinjem 4 juta."
"Dasar rakus!" gerutu Gavin.
"Nggak mau dibuletin jadi 5 juta?" Dasar Barra, dia justru menawarkan hal lebih pada Latif, membuat Gavin semakin bulat bola matanya.
"4 juta aja, kalo kebanyakan kasihan Neng Yara, nanti habis gajinya."
"Oh, Oke. Aku kasih pinjem 4 juta, ya." Dengan mudahnya Barra memberikan uang itu kepada Latif. Namun, saat Latif hendak mengambil uang dari tangan Barra --- "Kamu kenal putriku, iya 'kan?" Barra bertanya lagi.
"Iya."
"Kamu harus jagain dia di manapun kamu liat dia. Oke?"
"Oke, Bro! Aku bakal jagain dia sepenuh hati, kujaga dan kurawat seperti anak sendiri." Duileh si Latif, mulutnya lebih manis dari kecap bango. Lengkap dengan tangan di kening, ia memberikan hormat kepada Barra.
"Satu bulan. Kembaliin uang ini bulan depan," tutur Barra. Bisa saja uang itu dia berikan secara gratis, tapi ini semua bukan tentang uang.
"Siap, Bro!" sahut Latif begitu senang.
Seperti kodok, Latif melompat senang setelah mobil Barra pergi meninggalkan dirinya di taman. Sungguh dia tak menyangka semudah ini mendapatkan uang.
"Berkata Neng Yara, aku dapat uang lagi. 4 juta brooooo!" seru Latif senang bukan kepalang. "Pulang nanti bawain Yara makanan ah, terang bulan kayaknya enak."
...***...
Sempat meminta izin untuk bertandang ke kediaman Yara, Arum merajuk karena tak mendapat izin dari Barra. Dalam masa merajuk, gadis kecil ini tak kehabisan akal untuk tetap bersama Yara. Jika dia tak boleh ke rumah guru idolanya, maka Yara yang harus ke rumahnya. Jika seperti itu, Barra memberikan izin.
Hari telah malam saat semua pekerjaan Barrata selesai, dia bergegas pulang ke rumah.
"Arum sudah tidur, Bi?" itu yang pertama dia tanyakan pada bi Sriti saat membuka pintu.
"Tadi masih main, Tuan."
"Main?" Barra melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lewat jam 10.
"Bi, 'kan sudah aku bilang, Arum nggak boleh tidur di atas jam 9."
"Maaf, Tuan. Non Arum kesenangan banget main sama Bu Yara. Saya jadi nggak tega negur mereka." Sriti memulas tangannya, khawatir Barra marah.
Tanpa berkata lagi Barra langsung menuju kamar Arum. Sebuah pemandangan yang hampir hilang dari ingatan. Di masa lalu Arum kecil kerap tidur di pelukan mendiang istrinya, dan sekarang ... gadis kecilnya tertidur dengan nyenyak dalam pelukan Yara. Mereka telah berada di atas tempat tidur. Barra menyapukan pandangan pada sekitar, nampak mainan-mainan Arum telah berada dalam keranjangnya masing-masing. Ini tidak seperti biasanya, gadis itu akan membiarkan semuanya berantakan meski telah usai bermain.
Mengambil boneka ayam dari bahan karet milik Arum, Barra membangunkan Yara dengan mencolek lengannya menggunakan benda itu.
"Ng ..." Yara langsung terbangun. Kedua matanya membulat melihat Barra di depannya.
"Maaf ---"
"Syuuuut ...!" Barra meletakan jari telunjuknya di depan bibir. Dia tak ingin Arum terbangun karena suara Yara. Terlebih bocah itu begitu erat memeluk wanita berkerudung ini.
Perlahan sekali Yara melepaskan diri dari Arum. Membenarkan selimut yang menutupi tubuh kecilnya, dan tak lupa mengusap pelan pucuk kepala Arum.
"Maaf, saya ikut tertidur pas mau menidurkan Arum," ujar Ayara bersuara kecil sekali.
Ujung jemari Barra bergerak, memberi kode agar ikut dengannya.
Dengan patuh Yara mengikuti langkah Barra keluar dari kamar itu.
"Maaf, Pak ..."
"Nggak pa-pa, Bu guru. Sudah malam, anda mau saya anterin pulang?"
Yara langsung menolak tawaran itu. "Oh, nggak perlu, Pak. Rumah saja deket, seberang komplek sini kok. Saya ke sini juga jalan kaki tadi."
"Oh, ya udah." Barra mengangguk kecil. Lantas Yara pun pamit undur diri.
Tubuh lelah itu berjalan pelan, sambil menguap berkali-kali Yara menahan rasa kantuk.
Srek!
Seketika rasa kantuk itu hilang, berganti dengan kewaspadaan yang tinggi. Dengan keberanian yang tak seberapa gadis ini menengok ke belakang, namun, tak ada seorang pun di sana. Karena malam mulai merangkak naik, jalanan menuju perkampungan mulai sepi.
Glek! Yara kesulitan menelan air liur. Ada apa ini? Saat hendak melanjutkan perjalanan dia melihat bayangan besar di balik pohon.
Apa itu hantu? Sejak kapan hantu punya bayangan? Tanpa pikir panjang Yara mengeluarkan semprotan merica dari dalam tas. Dia memang kerap membawa benda itu kemana-mana, demi berjaga-jaga kalau saat seperti ini akan datang.
Bersikap sok santai, Yara menahan diri untuk tak menoleh ke belakang saat suara itu kembali terdengar. Langkahnya semakin mendekat, membuat jantung Yara berdebar hebat.
"Sedikit lagi, Yara. Sudah mau sampai ke minimarket kong Komar, ada Emran di sana." Sang hati berusaha menenangkan diri sendiri. Dia akan langsung berteriak dan meminta pertolongan pada Emran kalau orang di belakangnya ini akan macam-macam.
Ah! Langkah itu semakin cepat, Ayara juga mempercepat langkahnya. Terdengar jelas langkah mereka semakin cepat, saling berkejaran. Merasa sudah tak bisa menahan diri, Yara berbalik dan orang itu tepat berada di hadapannya.
Seketika Yara menyemprot orang itu dengan semprotan merica, dia juga langsung berteriak meminta tolong.
"Tolong!"
"Argghh! Ibu guru, ini saya. Ayah Arum!" teriak Barra seraya menahan perih di kedua matanya.
"Hah, Pak Barra!" Semprotan merica itu terlepas dari tangan Ayara.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan saran yang membangun, ya. ...
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum