NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21 DRAMA SARAPAN

Reza tidur nyenyak semalam. Pulas. Seolah dunia baik-baik saja.

Tapi tidak dengan Dimas dan Vanaya. Mereka tidak bisa tidur. Rasa kesal, dendam, dan pikiran jahat tentang Reza membuat kepala mereka panas. Otak mereka sibuk menyusun rencana balas dendam.

Pagi-pagi sekali, Narti sudah tiga kali membangunkan Reza.

“Za, bangun, Za,” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Reza. Tidak ada reaksi.

Akhirnya, karena kesal, Narti mengambil segelas air dan menyiramkan ke wajah Reza.

Reza terkejut. Ia mengucek matanya sambil menggumam, “Hujan, ya?”

Narti mendengus. “Biasanya kamu bangun pagi, kayak Reza yang dulu.”

Reza terdiam. Wajahnya kaku.

Apa-apaan ini? pikirnya. Jangan-jangan dia curiga… Jangan-jangan dia tahu aku bukan Reza Baskara yang sebenarnya.

Reza Sulistiyo tidak pernah akur dengan pagi.

Buatnya, pagi adalah musuh.

Dunia baru terasa hidup saat malam datang. Karena maling tidak bekerja di siang hari—mereka muncul saat orang lain tidur, saat keadaan lengah.

Dulu, di jalan gelap yang dia pilih, bangun pagi bukan masalah. Tidak ada yang peduli. Tidak ada aturan. Tidak ada bos yang marah karena datang telat. Lagi pula, bos juga tidak pernah benar-benar menghitung lembur. Mereka lebih sibuk mencuri waktu dan tenaga karyawannya, lalu tetap merasa bermartabat.

Tapi sekarang beda.

Sekarang dia adalah Reza Baskara. Anak konglomerat. Pewaris nama besar.

Nama besar itu bukan miliknya. Dia hanya numpang lahir. Dan karena dia lahir dari rahim seorang ART, dia diperlakukan lebih buruk dari pembantu.

Bangun siang hanya akan mengundan masalah yang spele, dan hanya akan mengundang kecurigaan bagaimanapun dia harus seperti reza baskara yang pecundang, tapi mengiris pelan-pelan kulit mereka, sampai mereka merasakan sakit yang melebih kematian.

“Za, jangan melamun terus. Cepat mandi. Nanti sarapan,” kata Narti dari dapur.

Reza hanya mengangguk. Tidak perlu banyak komentar di depan orang seperti Narti. Wajahnya tenang, suaranya lembut. Sekilas terlihat seperti ART biasa. Tapi bagi Reza, Narti bukan orang biasa. Dia berbahaya. Untungnya, dia ada di pihak Reza.

Reza masuk kamar mandi. Setelah itu, ia mengenakan baju lama yang sudah mulai lusuh—baju pemberian Narti dua tahun lalu. Sejak kakeknya, Darman, meninggal, tidak ada lagi yang membelikannya baju, tas, sepatu, atau apapun.

Galih, ayahnya, sebenarnya beberapa kali ingin memberinya sesuatu. Tapi setiap kali mencoba, yang terjadi selalu sama: ribut. Istrinya langsung protes. Anak-anaknya ikut mencibir. Ujung-ujungnya, Galih memilih diam. Dan Reza tidak dapat apa-apa.

Di dapur, sarapan sudah tersedia. Reza makan dengan lahap. Tidak basa-basi. Tidak canggung.

Narti memperhatikan dari dekat, lalu tersenyum kecil.

“Anak ini benar-benar berubah. Dulu, makan pun takut-takut,” pikir Narti.

Tanpa mereka sadari, dari ujung lorong dapur, Galih ikut menyaksikan diam-diam.

Ia melihat Reza makan. Tidak berkata apa-apa. Tidak masuk. Hanya berdiri sebentar, lalu melangkah pergi ke meja makan utama.

Baru saja duduk di kursinya di meja makan, suara dentingan sendok beradu dengan piring terdengar dari arah kursi vanaya

Galih menoleh.

Vanaya sudah memasang muka masam. Dimas juga sama. Keduanya duduk dengan wajah kesal.

“Mah, lihat deh. Ayah sekarang udah perhatian sama anak haram itu,” kata Vanaya, nadanya ketus.

Galih tidak menjawab. Tidak tertarik meladeni.

Dia hanya ingin sarapan dengan tenang pagi ini. Setelah hari-hari kemarin yang penuh ketegangan, satu-satunya yang ia harapkan sekarang cuma ketenangan. Tidak lebih.

Dan hal itu malah membuat vanaya kesal

“Mas, jangan coba-coba kasih perhatian ke anak haram itu. Anak-anakmu yang sah itu prioritas,” kata Laras, nada suaranya tajam, tak bisa disembunyikan.

“Ok,” jawab Galih singkat, tenang, tanpa ekspresi.

“Kenapa Ayah tadi ke dapur? Aku lihat sendiri, Ayah liatin Reza makan. Aku nggak terima, Yah,” kata Vanaya, nadanya kesal.

Galih tetap tenang. Fokus pada sarapannya. Entah kenapa, melihat Reza makan dengan lahap di dapur tadi justru membuat nafsu makannya datang. Padahal sebelumnya, dia tak begitu lapar.

“Yah, dengerin aku nggak sih?” suara Vanaya mulai meninggi.

Galih meletakkan sendok perlahan. Masih tidak menatap Vanaya. Masih mencoba menjaga ketenangan yang tinggal sedikit.

“Duduklah. Tenang. Makanan ini enak sekali,” ucap Galih datar, tanpa emosi.

Cling!

Vanaya membanting sendok ke piring, lalu berdiri dengan kesal.

“Nafsu makanku hilang. Sekarang Ayah pilih kasih,” katanya sebelum berjalan cepat keluar rumah.

Dimas ikut berdiri. Tak berkata apa-apa. Tapi dari raut wajahnya, Galih tahu dia sependapat dengan Vanaya.

Ia berjalan pergi, menyusul kakaknya, tanpa menoleh sedikit pun.

“Mas... ini semua gara-gara kamu,” ucap Laras kesal.

“Andai kamu nggak kasih perhatian ke Reza, Vanaya nggak akan semarah itu.”

Galih mengelap bibirnya dengan tisu. Ia menatap piringnya yang sudah bersih. Entah kenapa, pagi ini ia begitu lahap sarapan. Mungkin karena tadi melihat Reza makan di dapur.

“Aku tidak adil?” ucap Galih pelan. “Di mana letak tidak adilnya?”

“Berapa tahun Reza nggak dibelikan baju?”

“Berapa tahun dia nggak pernah diajak jalan-jalan?”

“Pernah nggak, aku atau kamu, kasih dia uang jajan buat sekolah?”

“Sudah hampir sebelas tahun, Laras. Reza tidak pernah diperlakukan seperti keluarga Baskara.”

“Aku diam. Diam saat kalian memperlakukan dia seperti binatang.”

“Tapi akhir-akhir ini, kalian keterlaluan.”

“Kalau sampai sikap kalian membahayakan dia, aku akan melindunginya. Bukan karena kasihan. Tapi karena masa depan kalian juga bergantung padanya.”

Galih berkata tenang. Datar. Tapi setiap katanya seperti pukulan.

Kini giliran Laras dan Riko yang berdiri. Keduanya meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata.

Biasanya, Galih akan panik. Berusaha menahan mereka. Meminta mereka duduk kembali. Tapi pagi ini, entah kenapa, dia tidak melakukannya. Suasana hatinya terlalu tenang. Bahkan dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

Mungkin karena tadi melihat Reza makan dengan lahap. Sesuatu yang sederhana, tapi terasa berbeda.

Galih masih duduk di sana. Di meja makan yang kini kosong. Menatap cangkir kopi yang tinggal setengah. Hening. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak terburu-buru. Tidak tertekan.

Reza lewat. Jalannya pelan, kepala tertunduk. Seolah tidak berani menatap Galih.

Bukan karena dia tidak sopan. Bukan karena lupa cium tangan saat pamit. Dulu, dia pernah coba lakukan itu. Tapi hasilnya, dia dipukuli habis-habisan oleh semua kakak tirinya.

Sejak saat itu, Reza tidak pernah mengulanginya lagi.

Begitu Reza keluar rumah, entah kenapa Galih juga ikut berdiri. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk mengikuti anak itu. Bukan dengan mobil mewahnya. Tapi dengan mobil tua yang biasa dipakai beli sayuran.

Galih menyetir pelan, menjaga jarak. Reza berjalan cepat, sesekali setengah berlari. Tubuh kurusnya terlihat mengejar waktu, seperti takut terlambat.

Sampai akhirnya, Reza tiba di ujung komplek. Berhenti sebentar. Menengok kiri dan kanan. Lalu kembali melangkah.

Galih masih mengikutinya dari kejauhan. Diam-diam. Tanpa rencana jelas. Hanya mengikuti naluri.

Saat sebuah truk sampah lewat, Reza langsung melompat naik sambil membawa beberapa tong sampah dari pinggir jalan. Para petugas sampah menyambutnya dengan santai. Seperti sudah biasa. Seperti mereka memang akrab.

Reza yang tadi murung saat di rumah, kini terlihat berbeda. Wajahnya ceria. Gerakannya lincah. Tidak ada beban. Ia ikut memindahkan sampah ke dalam truk dengan semangat.

Galih melihat semua itu dari dalam mobil. Hampir saja ia meneteskan air mata.

Ternyata Reza tidak bohong. Demi bisa sampai ke tempat kuliah, dia menumpang truk sampah. Bekerja sejak pagi. Dibayar seadanya.

Galih menunduk. Tenggorokannya terasa kering.

“Sepertinya cuma dia satu-satunya anakku yang sudah ngerti susahnya cari uang,” pikir Galih. “Yang lain... cuma tahu cara menghabiskannya.”

1
Agus Rubianto
keren
Aryanti endah
Luar biasa
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!