NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kecil-Kecilan Dulu Ya

Malam itu, suasana mansion hangat oleh aroma kayu manis dari diffuser yang biasa dinyalakan Thea menjelang tidur. Lampu gantung kristal menyala lembut di ruang tengah, memantulkan cahaya ke dinding putih gading yang dihiasi lukisan-lukisan tenang. Al duduk santai di sofa panjang dengan laptop di pangkuan, mengenakan kaus hitam dan celana lounge. Di sebelahnya, Thea bersandar santai dengan rambut dikuncir longgar dan piyama satin biru muda, sesekali mengusap punggung kecil Abercio yang tidur pulas di baby nest di samping mereka.

Sementara itu, di layar iPad milik Thea yang kini digunakan sebagai media video call, wajah Rose, Elen, dan Charlene tampak cerah. Ketiganya tampak duduk di kamar masing-masing sambil menyeruput minuman hangat, tertawa kecil dan heboh merencanakan girls time.

“Ayolah, besok kan weekend,” kata Charlene semangat. “Kita butuh healing! Dari mulai gonta-ganti popok, nyusuin, sampe ngadepin suami yang clingy. Kita harus waras bareng!”

Elen mengangguk cepat. “Iya banget! Gue udah lama nggak duduk santai sambil ngeteh, ngobrol hal-hal nggak penting tapi menyegarkan. Yuk dong, restiuin ya, suami-suami sayang...”

Thea tersenyum geli. “Gue sih gas aja, lama juga udahan kita nggak ketemu"

Tiba-tiba, dari seberang sana, muncul suara Cristo yang ikut duduk di belakang Charlene. “Hah?! Girls time?! Lah gue ikut dong. Kita kan satu paket Sayang!”

Charlene langsung nyengir sambil ngeloyor Cristo ke samping. “No no no, sayang. Ini girls time, bukan family picnic.”

Tak butuh waktu lama, Elvan muncul di belakang Elen, mukanya memelas. “Sayang, masa aku ditinggal? Aku bisa jagain anak kita, tapi ya...ikut dikit aja, nongkrong di meja sebelah?”

“Mana bisa nongkrong di meja sebelah! Itu namanya stalking!” timpal Elen yang langsung tergelak.

Regan, yang paling kalem di antara mereka, awalnya hanya duduk membaca dokumen di sofa belakang Rose. Tapi mendengar semua ini, dia meletakkan berkasnya dan berseru, “Nggak adil! Aku juga pengen ikut!”

"Apasih fomo banget" Kata Rose dan membuat Regan makin merengek.

Seketika ruangan tawa pecah. Di mansion, Al hanya mengangkat alis melihat semua keributan itu. Awalnya ia cuek, tapi tiba-tiba ia melirik ke arah Thea, lalu menghela napas dan membatin dalam hati.

'Wah, ini bahaya. Kalau gue nggak ikut dan Thea digodain brondong pantai, bisa jadi berita nasional. Mana gue belum married Thea lagi'

Dengan cepat, Al menutup laptopnya, menaruhnya ke meja kopi, lalu beringsut mendekati Thea dan bersandar di bahunya, lengkap dengan ekspresi memelas yang dibuat-buat.

“Theaaa... aku juga mau ikuuut...” ucap Al setengah merintih, suaranya super lembut seperti anak anjing kelaparan.

Thea yang sedang memegang iPadnya terdiam sejenak, memandangi Al yang—entah kenapa—jadi lembek seperti ini.

Wajah-wajah di layar video call terpaku.

Rose menjatuhkan sendok dari tangannya. “Wait... barusan... Al merengek?”

Charlene sampai menjauhkan wajah dari kamera. “Astaga... kita baru liat sisi baru cowok-cowok ini!”

“Gila, lo tega Thea kalo nggak ngajak,” celetuk Elvan sambil pura-pura nangis.

Setelah perdebatan panjang dan canda tawa yang tak berkesudahan, akhirnya mereka sepakat.

“Baik, gini aja,” ujar Rose akhirnya. “Besok kita tetap jadi ketemuan. Tapi bukan girls time lagi, jadi reuni kecil-kecilan aja. Tempatnya yang santai, ada ruang terbuka dan bisa bawa bayi.”

“Setuju!” sahut semuanya serempak.

“Kita cari restoran di pinggir pantai yang family friendly, biar bisa bawa stroller, baby chair, dan bisa duduk lama tanpa diusir,” lanjut Al, kembali ke mode serius.

Rose menambahkan, “Dan besok, lo harus cerita dari A sampai Z ya Thea. Tentang gimana bisa ada Baby Cio, gimana lo bisa jadi istri si CEO nyebelin itu...”

“Heh mulut lo, belum istri, tau!” Thea langsung membalas cepat, wajahnya merah.

“Oh gitu?!” Semua di layar menyoraki, termasuk Al yang senyum nakal di samping Thea.

“Aku bantu klarifikasi besok di pantai,” bisik Al di telinga Thea dengan suara dalam.

Thea hanya memutar bola matanya, lalu menyembunyikan senyum kecilnya.

Malam itu ditutup dengan tawa, tangisan palsu para suami yang gagal dapat exclusive bonding time, dan satu kesepakatan, besok, reuni kecil-kecilan, keluarga lengkap, dengan cerita yang finally akan dibuka seluruhnya.

♾️

Pagi itu di mansion, matahari baru menyusup malu-malu dari sela tirai kamar yang sedikit terbuka. Thea bangun terlebih dahulu, matanya langsung mencari sosok mungil yang selalu jadi pusat dunianya kini—Baby Cio. Bayi kecil itu masih tertidur pulas di tengah ranjang, dengan satu tangan mungilnya memegangi ujung selimut. Di sisi lain ranjang, seperti yang sudah mulai jadi kebiasaan baru, Aleron terbaring dengan satu tangan melindungi bahu Thea dan satu kaki menjulur santai ke arah Cio.

Thea menghela napas pelan sambil menyilangkan tangan di dada, menatap Al dengan tatapan antara geli dan gemas.

“Kebiasaan,” gumamnya lirih. “Mencari kesempatan dalam kesempitan.”

Sudah beberapa kali Al bergabung tidur di kamar itu, katanya hanya ingin lebih dekat dengan Cio—dan sedikit demi sedikit, Thea mulai tahu, juga ingin dekat dengannya. Walaupun Thea sudah sering protes, Al selalu punya alasan manis, “Kamu sama Cio itu obat paling manjur buat rasa capekku.” Dan entah kenapa, itu sulit dibantah.

Dengan pelan agar tak membangunkan dua "bayinya", Thea melangkah masuk ke kamar mandi. Air hangat membantu mengusir rasa kantuk dan menenangkan pikirannya. Setelah bersih dan berpakaian santai, ia kembali ke ranjang dan duduk di sisi Al.

“Al… bangun,” bisiknya sambil menepuk bahunya pelan.

Al membuka matanya perlahan dan langsung tersenyum begitu melihat Thea di atasnya.

“Good morning, cantik,” gumamnya serak.

Thea mendesah singkat. “Morning. Udah pagi buruan mandi sana, sekalian tolong mandikan Cio. Aku mau siapin barang-barang dan bantu bawah.”

Al pun menggeliat malas, tapi tetap bangkit dengan patuh. “Baik, nyonya,” jawabnya sambil mencubit kecil ujung hidung Thea sebelum bangkit dan berjalan pelan ke kamar mandi sambil menggendong Baby Cio yang mulai menggeliat kecil.

Sementara itu, Thea sibuk menyiapkan perlengkapan: tas bayi berisi popok, tisu basah, baju ganti, nursing cover, dan tentu saja ASIP cadangan. Setelah selesai, ia turun ke dapur, membantu para maid menyiapkan sarapan ringan untuk dirinya dan Al: roti panggang, telur orak-arik, buah potong, dan dua gelas jus jeruk segar.

Tak lama, Al muncul sambil menggendong Cio yang kini sudah segar dan wangi. Thea mengambil Cio dari pelukannya dan menciumnya penuh sayang.

“Kamu ganteng banget pagi ini,” bisiknya pada Cio.

Al berdiri di samping mereka, menatap keduanya dengan pandangan hangat. “Dan kamu nggak kalah cantik,” katanya, lebih pada Thea, tapi seakan tak berani terlalu dalam menatap matanya lama-lama.

Mereka duduk di ruang makan dan menikmati sarapan dengan tenang. Momen-momen kecil seperti ini, kehangatan di antara rutinitas, justru terasa paling berarti. Setelah semuanya siap, mereka pun berangkat menuju restoran dekat pantai untuk reuni kecil mereka bersama sahabat-sahabat lama.

Setelah semuanya siap, mobil cabriolet hitam mereka sudah menunggu di carport. Al memeriksa ulang semua barang yang dibawa ke bagasi, sementara Thea menggendong Cio yang mulai sibuk mengunyah ujung selimutnya. Dengan pakaian santai dan elegan—Thea mengenakan dress santai berwarna putih, baby cio dengan one set putihnya, dan Al dengan kemeja putih lengan digulung—mereka benar-benar little family goals yang siap menempuh perjalanan ke restoran pinggir pantai tempat reuni akan digelar.

“Mudah-mudahan Cio anteng di jalan, ya,” ujar Thea sambil membenarkan topi kecil Cio.

“Tenang aja, dia anak kita. Mentalnya tangguh,” sahut Al percaya diri, sambil membuka pintu mobil untuk Thea.

Perjalanan pun dimulai, dengan suasana pagi yang cerah dan hati yang mulai hangat membayangkan reuni kecil mereka hari ini—dan tentu saja, saatnya rahasia tentang Baby Cio akan terkuak sepenuhnya di hadapan teman-teman lama.

Perjalanan cukup jauh, tapi dipenuhi dengan canda dan musik ringan. Baby Cio tertidur di car seat, dan Thea duduk di depan sambil sesekali menoleh ke tubuh kecil itu, memastikan semuanya baik-baik saja. Al mengemudi dengan satu tangan di stir dan satu tangan kadang menggenggam tangan Thea di antara jeda lampu merah.

♾️

Langit cerah Jakarta siang itu terasa lebih bersahabat. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya mobil yang dikendarai Aleron memasuki kawasan restoran tepi pantai yang eksklusif dan asri. Deretan pohon kelapa yang melambai diterpa angin laut dan suara deburan ombak dari kejauhan menciptakan suasana tenang sekaligus menyegarkan.

Al menepikan mobil di area parkir VIP. Ia segera turun dan membuka pintu untuk Thea yang tengah menggendong Baby Abercio dengan lembut. Sedangkan Al langsung mengambil stroller dan tas yang berisi perlengkapan baby cio. Begitu kaki Thea menjejak tanah, angin pantai langsung membelai rambutnya yang tergerai alami. Al menatapnya sejenak, seperti ingin memastikan semuanya sempurna hari ini.

Mereka berjalan bersama menuju restoran. Dari luar, restoran itu tampak elegan dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya laut. Begitu pintu terbuka, aroma laut dan interior kayu tropis menyambut hangat.

“Al! Thea!” teriak Rose dari meja besar di dekat jendela, melambai dengan antusias.

Meja panjang itu sudah dikelilingi oleh orang-orang terdekat mereka. Rose duduk berdampingan dengan Regan sambil menggendong Baby Raynand Xander Bailey yang baru berusia 4 bulan. Elen dan Elvano sibuk menenangkan Baby Elden Gabriello Gillmore yang berusia 5 bulan terlihat sedang rewel sedikit karena cuaca. Charlene tersenyum lembut dari ujung meja, sesekali menimang Baby Calestino Aldrich Davis, bayi kecil yang baru lahir dua bulan lalu—beberapa hari setelah Thea dan Al kembali ke Indonesia. Cristo, tentu saja, duduk setia di sampingnya.

Semua mata langsung memandang ke arah Thea dan Al, terutama tertuju pada Baby Abercio Nathaniel Moonstone yang digendong Thea. Bayi mungil itu mengenakan one set warna putih dengan topi kecil yang menambah kesan menggemaskan.

“Ini dia akhirnya!” kata Charlene sambil berdiri dan mendekat. “Baby Cio yang katanya bikin semua hidup kalian jungkir balik!”

“Gemes banget sih!” komentar Elen sambil mencolek pipi Cio pelan. “Punya mata kayak Al, tapi bibir kayak Thea.”

Thea dan Al tertawa kecil, kemudian bergabung di meja yang sudah dipesan khusus. Para bayi ditempatkan dalam stroller atau gendongan masing-masing, dan suasana jadi riuh rendah oleh suara tawa serta ocehan bayi.

Rose memulai, “Oke, sekarang karena kita semua udah lengkap, dan baby-baby kita semua udah resmi jadi member baru geng ini... saatnya dengar cerita yang ditunggu-tunggu.”

Regan ikut menimpali sambil menatap Al dan Thea, “Dari awal ya. Gimana ceritanya sampai bisa tiba-tiba bawa bayi dari Swiss, dan... kenapa Thea sampai induksi laktasi segala?”

Semua pasang mata langsung tertuju ke Thea dan Al, bahkan Charlene sampai menyikut Cristo pelan agar tak menyela. Elvano duduk lebih tenang, tapi matanya pun penuh rasa ingin tahu. Suara ombak dari luar menjadi latar sempurna untuk kisah yang perlahan mulai mengalir.

Thea menarik napas, lalu menatap Al sejenak, memberi isyarat untuk membuka cerita.

Al mengangguk, tersenyum pelan, lalu mulai bercerita, “Waktu itu, kami lagi di Zermatt. Udara dingin banget. Satu malam, kami nemu bayi ini di depan pondok tua. Awalnya cuma mau lapor ke pihak berwenang, tapi…”

Thea melanjutkan, suaranya lembut namun jelas, “...ternyata polisi malah menyangka kami orang tuanya karena wajah Cio mirip kami berdua. Apalagi… setelah dicek, ternyata golongan darahnya dan profil DNA-nya hampir cocok dengan Al. Jadi kami ditahan dulu, diminta merawat sampai hasil tes lengkap keluar.”

Mereka semua membulatkan mata, penuh keterkejutan. Elen langsung meletakkan sendoknya.“Terus? Serius loh?”

Cristo bahkan ikut mencondongkan tubuh ke depan. “Dan kalian rawat langsung gitu?”

Thea mengangguk pelan. “Iya… awalnya terpaksa. Tapi pelan-pelan, aku merasa seperti... diberi alasan buat terus hidup. Cio kecil begitu kuat. Tapi sempat bilirubin-nya tinggi, dan harus dirawat intensif.”

“Dan di situ lo mulai induksi laktasi?” tanya Charlene perlahan.

“Iya,” jawab Thea. “Gue tahu itu bukan hal mudah, tapi gue ingin jadi ibu yang bisa memberi semuanya untuk dia, termasuk ASI. Gue jalani semua prosedur induksi, terapi hormonal, pompa berkala. Al yang ngedukung gue total. Bahkan begadang bareng buat bantuin.”

Al menambahkan, “Buat gue, mereka berdua udah jadi pusat hidup gue sekarang.”

Rose menahan air matanya yang hampir jatuh. “Ya ampun, Thea... Lo luar biasa.”

Charlene menimpali dengan senyum lembut, “Lo juga, Al. Gue nggak nyangka lo bisa lembut dan se-tulus itu.”

Tawa dan tepuk tangan kecil pecah di meja. Thea dan Al saling menatap dan tersenyum—saling tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, tapi setidaknya hari ini, mereka dikelilingi oleh cinta dan pengertian. Hari masih panjang. Dan siang itu, di tepi pantai Jakarta, sebuah bab baru dari persahabatan dan keluarga kecil mereka pun dimulai.

♾️

Sinar matahari mulai menurun perlahan, menciptakan semburat keemasan yang memantul di permukaan laut. Angin pantai yang lembut menyapu wajah-wajah bahagia di restoran semi-outdoor yang menghadap ke bibir pantai. Meja besar yang tadi ramai dengan tawa dan cerita kini terlihat lebih sepi, hanya menyisakan empat pria dewasa dengan bayi-bayi mungil dalam pelukan mereka.

Sementara itu, Thea, Rose, Elen, dan Charlene perlahan-lahan menjauh dari meja—tanpa benar-benar niat kabur, tapi cukup untuk mencuri waktu menikmati suasana sore yang syahdu. Mereka berjalan menyusuri bibir pantai, kaki mereka tenggelam sedikit dalam pasir putih yang hangat. Rambut mereka sesekali berkibar tertiup angin, dan suara tawa mereka yang ringan sesekali terdengar dari kejauhan. Empat ibu muda itu terlihat seperti remaja lagi—santai, bebas, dan begitu hidup.

Dari meja utama, keempat pria itu—Al, Regan, Elvan, dan Cristo—duduk membentuk setengah lingkaran, masing-masing menggendong bayi mereka dengan ekspresi waspada namun bahagia.

“Aduh... gue nyesel banget waktu nyaranin full ngejagain baby kemarin,” gerutu Cristo, meski senyumnya tak bisa disembunyikan. Ia mengelus pelan punggung kecil Baby Cal yang sedang tidur di dadanya.

“Parah sih lo Cris,” Elvan menyambar cepat sambil mengayun perlahan tubuh Baby El di pelukannya.

“Tapi ya... bisa begini juga nggak buruk sih. Liat deh... mereka lagi bahagia banget tuh,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah para wanita yang kini duduk di ayunan bambu, tertawa-tawa seperti tak ada beban.

Al diam. Ia duduk paling ujung dengan Baby Cio—Abercio Nathaniel Moonstone—bersandar nyaman di dadanya, pipinya yang bulat menempel di dada Al. Tapi pandangan Al tajam, menyapu area sekitar pantai dengan seksama, penuh kecurigaan. Beberapa laki-laki yang kebetulan lewat atau duduk tak jauh dari area pantai terlihat melirik ke arah Thea dan kawan-kawan. Dan itu cukup membuat darah Al naik perlahan.

“Brondong sial…” gumamnya pelan, masih dengan nada kesal.

“Heh, mulut lo jaga. Kasian kuping anak gue ternoda, bro,” sahut Elvan sambil terkekeh, sambil memangku baby El.

Regan dengan baby Ray dipangkuannya tertawa pelan. “Makanya buruan nikahin, bro. Biar bisa lo resmikan sekalian lo copot status waswas lo tuh.”

“Nah, nunggu apa sih lo?” Cristo ikut menyambar, kali ini dengan gaya kompor meledak.

Al menghela napas panjang. “Kayaknya hampir tiap malem gue ajak nikah, tau nggak lo.”

Sambil mencium kening Baby Cio, Al berkata lirih, “Daddy harus gimana, boy… biar Mommy mau juga sama Daddy?”

Baby Cio menatap Al lalu terkekeh pelan, seolah mengerti daddynya sedang curhat dari lubuk hati terdalam dan ia menertawakan nasib daddy-nya.

“Ye, lo ngajak nikah kayak ngajak beli cilok. ‘Thea, nikah yuk,’ habis itu tidur. Gimana cewek nggak kabur,” sindir Cristo, menggoyangkan kepala.

“Butuh guru tutorin nggak?” Elvan menimpali, kali ini dengan ekspresi penuh kemenangan.

Regan yang sejak tadi lebih banyak mendengarkan, akhirnya angkat suara. Nada suaranya lebih tenang, tapi dalam. “Hm… Thea-nya ya yang masih belum 100% nerima lo?” tanyanya pelan.

Mendengar itu, Al hanya menatap kosong ke arah Thea yang tertawa lepas di kejauhan, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Wajahnya sedikit murung, tapi juga penuh tekad.

Regan menatap Al lama, sebelum akhirnya berkata mantap, “Sabar dulu. Sedikit lagi. Tunggu moment yang pas. Tapi satu hal… jangan pernah buat kesalahan lagi, Al. Gue nggak peduli lo sepupu gue—gue gebukin lo kalo lo bikin dia sakit lagi.” Diantara Regan, Cristo, dan Elvan, Regan lah yang sering berinteraksi dengan Thea. Selain itu, Regan dan Rose lah yang menjadi mak comblang Al dan Thea. Seperti Thea menjadi mak comblang dirinya dan Rose. Apalagi dulu Thea sering diajak rose menjadi obat nyamuk Rose dan Regan ketika pacaran sebelum Thea pindah ke london. Regan dan Rose menganggap Thea adalah adik kecil mereka.

Cristo dan Elvan langsung mengangguk setuju seperti pasukan siap tempur. Al hanya bisa tersenyum kecut. “Iya, iya… ngerti. Santai aja. Gue nggak bakal goblok kayak dulu lagi” jawabnya setengah bercanda.

Setelah itu, keempat pria dewasa itu duduk dalam diam sesaat. Lalu Cristo berkata, “Lo sadar nggak sih… kita semua di sini, gendong anak, ngeliatin bini-bini kita yang dulu anak tongkrongan kita juga.”

“Dulu, kita yang ngejagain mereka dari mantan masing-masing. Sekarang, jagain dari cowok random di pantai,” Elvan menambahkan sambil tertawa.

“Dan gue rasa kita bakal jagain mereka sampai tua,” ujar Regan dengan senyum tulus.

Semua mengangguk.

Sambil terus menatap wanita-wanita yang kini seperti cahayanya masa lalu mereka, keempat pria itu mengobrol santai, penuh tawa dan cinta, saling berbagi cerita tentang popok, tangisan malam, ASI, dan kecemasan sebagai ayah muda. Namun yang paling penting, mereka sadar satu hal: keluarga ini—sekonyol dan serandom apapun perjalanannya—adalah hal terbaik yang pernah mereka punya.

♾️

Langit mulai berubah warna, gradasi oranye keemasan perlahan menyapu langit senja di tepi pantai. Angin sore berembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Di tengah suasana hangat yang menyentuh, Thea, Rose, Elen, dan Char berdiri berjejer di tepi pasir, masih tertawa-tawa ringan setelah obrolan panjang dan nostalgia masa muda mereka.

Dari kejauhan, Thea melambaikan tangan ke arah Al, Regan, Elvan, dan Cristo yang masih duduk di kursi kayu bawah pohon rindang tak jauh dari mereka. "Eh, sini dong! Foto bareng dulu, masa udah jauh-jauh ke sini ga punya dokumentasi?" seru Thea, disambut dengan anggukan semangat dari yang lain.

Keempat pria itu berdiri, masih menggendong bayi mereka masing-masing. Al membawa Baby Cio dalam gendongan depannya—si kecil tampak nyaman digendongan daddynya dengan bibir mungil terbuka sedikit. Regan mengangkat Baby Ray yang sedang mengulum jari sambil menatap ayahnya. Elvan menggoda Baby El agar tersenyum untuk kamera, sementara Cristo bersusah payah menenangkan Baby Cal yang mulai rewel karena mengantuk.

Mereka berkumpul membentuk formasi santai di atas hamparan pasir. Char membuka kamera ponselnya dan meletakkannya di tripod kecil yang dibawanya, lalu menyetel timer.

"Cepat senyum ya! Ini mungkin satu-satunya foto lengkap kita berlapan plus bayi," ujar Rose sambil tertawa kecil.

Klik!

Foto itu menangkap momen sempurna—matahari terbenam di belakang mereka, siluet lembut kehangatan keluarga muda yang jarang bisa berkumpul bersama. Tawa, pelukan, dan bayi-bayi lucu menjadi latar paling indah dari reuni kecil itu.

Setelah beberapa pose lagi, mereka duduk sejenak bersama menikmati detik-detik terakhir sunset. Al membungkuk sedikit, mencium kening Thea yang duduk di sampingnya dengan Abercio di pangkuan. "Thank you udah ngajak aku ke reuni ini dan terimakasih telah memberikan aku kesempatan menikmati moment yang sempat hilang ini" gumamnya pelan.

Thea sedikit menegang lalu tersenyum kecil. "Kita udah jadi tim, Al. Sekarang dan seterusnya, bukan?"

Al hanya mengangguk, menatap langit senja dengan damai.

Tak lama kemudian, satu per satu mereka berdiri, membereskan barang bawaan, membungkus selimut bayi, dan memastikan perlengkapan masing-masing tidak tertinggal. Para bayi sudah mulai tertidur setelah seharian diajak bermain dan bercanda. Dengan pelukan dan ucapan salam, mereka berpisah di tempat parkir, menaiki mobil masing-masing dan mengarah pulang ke rumah.

Meski hanya reuni kecil, momen itu telah menyatukan lagi ikatan lama yang pernah terpisah oleh jarak dan waktu—dan kini terjalin kembali dalam balutan cinta, keluarga, dan tawa yang tulus.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!