NovelToon NovelToon
ALVANA

ALVANA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: aufalifa

"Aku insecure sama kamu. kamu itu sempurna banget sampai-sampai aku bingung gimana caranya supaya bisa jadi imam yang baik buat kamu."
~Alvanza Utama Raja

🍃🍃🍃

Ketika air dan minyak dipersatukan, hasilnya pasti menolak keduanya bersatu. Seperti Alvan dan Ana, jika keduanya dipersatukan, hasilnya pasti berbeda dan tidak sesuai harapan. Karena yang satu awam dan yang satu tengah mendalami agamanya.

Namun, masih ada air sabun yang menyatukan air dan minyak untuk bisa disatukan. Begitu juga dengan Alvan dan Ana, jika Allah menghendaki keduanya bersatu, orang lain bisa apa?

🍃🍃🍃

"Jika kamu bersyukur mendapatkan Ana, berarti Ana yang harus sabar menghadapi kamu. Sebab, Allah menyatukan dua insan yang berbeda dan saling melengkapi."
~Aranaima Salsabilla

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufalifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

penantian suci

Malam itu, langit tampak lebih teduh dari biasanya. Bulan sabit menggantung redup, sementara bintang-bintang bertebaran seolah ikut menjadi saksi perjalanan panjang Ana. Di kamar sederhana yang dipenuhi doa, suara tangis bayi pecah untuk pertama kalinya, menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya.

Ana terbaring lemah, peluh masih membasahi pelipisnya. Matanya yang sembab menatap bayi mungil di gendongan bidan dengan penuh cinta. “Aa'…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar, “kita… kita punya anak lagi.”

Alvan yang sejak tadi menggenggam erat tangan istrinya, menunduk mencium kening Ana. “Alhamdulillah, sayang. Kamu luar biasa. Kamu kuat sekali.” Suaranya serak menahan haru, sebelum tangannya menyambut sang bayi dari bidan.

Bayi itu didekapnya hati-hati. Tubuh mungilnya masih basah, kulitnya kemerahan, namun tangisnya nyaring seakan menyatakan diri kepada dunia. Dengan lembut, Alvan mengangkat bayi itu mendekat ke wajahnya, lalu meletakkan mulutnya di telinga kanan anaknya.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” lantunan adzan berkumandang penuh getar, seakan meresap hingga ke dinding-dinding rumah. Setelah selesai, ia pun membisikkan iqamah di telinga kiri si bayi.

Ana menutup mata, menahan tangis bahagia. Momen itu seakan menghapus semua lelah dan sakit yang baru saja ia lalui.

Tak lama setelah bayi dibersihkan dan dibedong, Alvan meletakkannya di samping Ana. “Tidur aja, sayang… dia butuh dekapanmu.” Ana meraih bayinya, menimang lembut, air matanya mengalir tanpa henti.

Malam itu rumah begitu sunyi, hanya ditemani suara tangisan kecil bayi dan bisikan doa dari sepasang suami istri yang hatinya diliputi rasa syukur.

Ya, Ana melahirkan di rumah. Karena kondisi tadinya sudah nampak bayi yang akan keluar, karena sudah tak sanggup lagi membawa ke rumah sakit akhirnya pihak rumah sakit yang datang ke rumah untuk membantu Ana melahirkan.

🍃🍃🍃

Menjelang pagi, suasana rumah mulai riuh. Ketiga pembantu, Bi Asih, Bi Iyem, dan Bi Minah, datang hampir bersamaan. Masing-masing membawa anak asuhannya, Rey yang sudah mulai belajar berjalan, serta Alvira dan Alvarez yang masih bayi berumur sembilan bulan. Suara tangisan dan celoteh anak-anak memenuhi ruang tamu, membuat rumah kecil itu terasa hidup.

Bi Asih mengendong Rey masuk sambil tertawa pelan, “Aduh, Nak Rey… sabar ya, adekmu baru lahir. Jangan buru-buru main.” Rey hanya terkekeh, gumamnya terbata, “Baba… umma…” sambil meraih udara dengan tangannya.

Bi Iyem dan Bi Minah meletakkan Alvira dan Alvarez di ayunan, sementara mereka sendiri ikut membantu membereskan ruangan. Kehadiran mereka membuat suasana lebih hangat, seolah rumah itu benar-benar tak pernah sepi dari tawa anak-anak.

Belum lama suasana ramai, terdengar suara salam dari depan rumah.

“Assalamu’alaikum…” suara berat Abah Ahmad, diikuti langkah pelan Ida yang tampak membawa tas kecil berisi buah tangan.

“Wa’alaikumussalam…” sahut Alvan cepat, berdiri menyambut dengan wajah penuh hormat.

Ana yang masih terbaring langsung meneteskan air mata saat mendengar suara orang tuanya. “Umma… kakek dan nenek datang…” bisiknya dengan suara bergetar.

Ida menghampiri putrinya, menggenggam tangannya erat sambil menatap bayi mungil yang baru lahir. “Alhamdulillah, Nak… Allah menjaga kalian. Kamu sudah berjuang dengan baik.” Ia lalu mencium kening Ana, penuh kasih sayang seorang ibu.

Abah Ahmad menepuk pundak Alvan dengan senyum haru. “Alhamdulillah, nak… jaga amanah ini. Anak-anakmu, istrimu, semuanya adalah titipan Allah.”

Alvan menunduk, suaranya tegas namun penuh ketulusan. “InsyaAllah, Bah. Saya akan menjaga mereka sebaik mungkin.”

Dan malam yang sakral itu pun berganti pagi dengan rumah penuh cinta, penuh doa, dan penuh tawa kecil.

Disisi lain Alvan menuangkan kopi hitam hangat ke dalam dua cangkir, uapnya mengepul halus di udara pagi. Dengan senyum ramah, ia menoleh pada Ahmad yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Bah, mari duduk di teras sebentar. Kita nikmati kopi pagi dulu, biar badan lebih segar,” ucap Alvan, sambil meletakkan cangkir di meja kecil.

Ahmad mengangguk, lalu duduk di samping menantunya. menatap pemandangan pagi yang cukup nyaman dan menenangkan.

“Pagi ini sejuk sekali, Nak. Jarang-jarang Abah bisa duduk santai begini.”

Alvan tersenyum kecil. “Iya, Bah. Rasanya adem sekali. Tapi hati saya masih kepikiran tentang Rey…”

Ahmad menoleh penuh perhatian. “Ada apa dengan Rey?”

“Saya ingin masukkan Rey ke KK keluarga kami, Bah. Supaya jelas kedudukannya, biar nanti kalau sekolah atau urusan kesehatan tidak ada masalah. Tapi saya tahu, Rey tetap punya ayah kandung…”

Ahmad menyeruput kopi, lalu menghela napas. “Itu niat yang bagus, Nak. Hukum negara memang mengatur begitu, tetap butuh izin ayah kandung. Meski ibunya sudah tiada, nama ayahnya tetap tercatat.”

Alvan menunduk, suaranya berat. “Kalau begitu, bagaimana nasib Rey, Bah? Ayahnya di penjara, tidak tahu kapan bisa ditemui. Sementara saya dan Ana yang merawatnya setiap hari. Rasanya, anak itu sudah benar-benar menjadi bagian dari hati kami.”

Ahmad menepuk bahu Alvan dengan lembut. “Tenang, Nak. Selama kamu luruskan niat, Allah akan bukakan jalan. Ada cara lewat pengadilan kalau izin ayahnya sulit didapat. Yang penting, jangan berhenti berusaha demi kebaikan Rey. Ingat, kasih sayangmu lebih penting daripada selembar kertas, meski kertas itu juga kita butuhkan.”

Alvan menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Iya, Bah. Saya hanya ingin Rey merasa diakui, dicintai, dan tidak berbeda dengan anak-anak kami yang lain.”

“Itulah bukti bahwa kamu bukan hanya jadi suami untuk Ana, tapi juga ayah yang sejati untuk anak-anak. InsyaAllah, Rey akan tumbuh jadi anak yang membanggakan.” balasnya bijak

“Bah, saya boleh tanya sesuatu? Dari kemarin saya kepikiran soal Rey… sebenarnya kalau secara istilah, dia ini disebut anak apa, ya? Anak angkat, atau anak sepersusuan?” tanya Alvan ingin mengetahui hukum-hukum agama yang tak pernah ia pelajari

Ahmad meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Kalau secara syariat, Rey itu anak sepersusuan, Nak. Karena dia pernah menyusu pada Ana. Hukum persusuan itu kuat, sampai bisa menimbulkan kemahraman, layaknya anak kandung dalam hal tertentu.”

“Jadi… maksud Abah, Rey dengan Alvira atau Alan itu sudah mahram? Mereka tidak boleh menikah nanti?” tanyanya semakin semangat

Ahmad mengangguk mantap. “Betul. Karena mereka sudah jadi saudara sepersusuan. Sama halnya Rey dengan Ana, kedudukannya sudah seperti anak kandung. Bedanya hanya di garis nasab. Kalau soal waris, dia tetap ikut nasab ayah kandungnya.”

Alvan menghela napas, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. “MasyaAllah… jadi sebenarnya saya tak perlu cemas kalau Rey akan merasa asing di keluarga ini. Agama pun sudah mengikatkan dia dengan kami, ya Bah?”

Ahmad tersenyum lembut. “Begitulah, Nak. Justru sekarang tugasmu memastikan Rey tumbuh tanpa merasa berbeda dengan yang lain. Cinta dan kasih sayangmu lah yang akan membuat ikatan itu lebih nyata.”

Alvan menarik napas dalam, lalu menatap Abah Ahmad penuh serius. “Kalau begitu, jika agama memandang Rey ini bisa dianggap seperti anak kandung dalam hubungan mahram, berarti boleh saya masukkan dia ke dalam Kartu Keluarga? Supaya sah secara hukum juga?”

Ahmad menarik alis, lalu meletakkan cangkir kopi ke meja. “Nak, hati-hati soal itu. Kalau secara syariat, Rey memang punya kedudukan seperti anak kandung dalam kemahraman. Tapi secara hukum negara, nasab tetap ikut orang tua kandungnya. Jadi tidak otomatis bisa ditulis sebagai anak kandungmu di KK.”

Alvan mengangguk pelan, wajahnya masih penuh kebingungan. Ia paham dengan apa yang dijelaskan Ahmad tapi ia juga masih kebingungan. “Berarti… walaupun saya yang merawat, yang memberi makan, yang menanggung segalanya… tetap tidak bisa, Bah?”

Ahmad menepuk bahu menantunya dengan lembut. “Begini, Nak. Kalau hanya soal kasih sayang, Rey sudah sah menjadi anakmu di mata Allah. Tapi kalau masuk KK sebagai anak kandung, itu menyangkut hukum positif, dan di situ butuh izin serta dokumen dari wali nasabnya. Kalau ibunya sudah tiada, ya ayah kandungnya yang sah secara hukum.”

Alvan terdiam sejenak, lalu tersenyum getir. “Berarti untuk saat ini… saya cukup mencatatnya di hati saja, Bah. Bahwa Rey ini anak saya, meski tanpa tulisan resmi.”

Ahmad tersenyum bijak. “Betul, Nak. Jangan khawatir soal nama di kertas. Yang lebih penting adalah nama Rey yang selalu kau sebut dalam doa.”

1
Bukhori
lanjut👍
Bukhori
kerennn👍
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!