NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:417
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Yash mengepakkan sayap hitamnya lebih kuat, membawa tubuh Lira erat dalam dekapannya. Angin pagi menusuk kulit, dingin sekaligus segar, namun dada Lira terasa panas oleh debaran yang tak kunjung reda.

Mereka melayang tinggi melewati pepohonan hutan yang semakin mengecil di bawah sana. Perlahan, bentangan laut luas biru kehijauan terbentang di hadapan mereka, berkilau diterpa cahaya mentari pagi.

Lira menggigil, kedua tangannya awalnya menahan di dada Yash, hendak menjauh. Tapi angin yang begitu kencang membuatnya terpaksa menggenggam erat kerah bajunya.

Senyum tipis muncul di wajah Yash, matanya menunduk menatap Lira. “Selama aku di sini, kau tidak akan jatuh.”

Lira menoleh sekilas ke arahnya, namun buru-buru mengalihkan pandangan, pipinya merona oleh angin dan oleh kata-kata itu. Ia menunduk, dan untuk pertama kalinya tidak lagi meronta.

Beberapa kali, Yash menurunkan ketinggian. Mereka melewati atas sawah yang hijau, desa-desa kecil, jalanan berliku yang mulai ramai oleh orang-orang. Dari atas, dunia terlihat begitu damai—kontras dengan perasaan bergejolak di hati Lira.

Saat melewati pantai, Lira tanpa sadar berbisik, “Indah sekali…” Rambutnya berkibar, matanya membulat menatap kilau ombak yang pecah.

Yash memiringkan kepalanya sedikit ke arahnya. “Kalau kau mau, aku bisa membawamu terbang melihat tempat-tempat lain. Gunung, laut, bahkan kota yang tak pernah tidur itu.”

Lira terdiam, lalu menghela napas. “Jangan salah sangka. Aku hanya kagum pada pemandangannya, bukan pada dirimu.” Tapi genggamannya di baju Yash justru semakin kuat, tak ingin terlepas.

Yash hanya tersenyum samar, membiarkan kata-kata dingin itu, namun diam-diam ia menikmati kenyataan bahwa Lira tidak lagi menolak pelukannya.

Perlahan, gedung-gedung tinggi Jakarta mulai terlihat di kejauhan, berdiri menjulang di bawah sinar mentari. Keramaian kota itu kontras dengan keheningan tenang yang tercipta di antara mereka saat terbang di udara.

Sayap Yash mengepak kuat sebelum akhirnya ia menurunkan ketinggian. Mereka mendarat di sebuah atap gedung tinggi, angin Jakarta yang hangat bertiup kencang di sana. Lira segera mendorong dadanya, berusaha melepaskan diri.

“Turunkan aku,” desaknya, matanya menantang meski kakinya masih gemetar.

Yash menatapnya, bibirnya melengkung tipis. “Kau yakin? Kita berada di ketinggian puluhan lantai. Kalau aku lepaskan, kau bisa terjatuh.”

“Aku tidak peduli! Lepaskan!” teriak Lira, nadanya penuh emosi.

Yash mengangkat bahu, seolah menuruti tanpa ragu. Ia benar-benar melepaskan pelukannya.

Tubuh Lira langsung terhempas ke belakang, angin kencang menyambutnya. “Aaaahhh!” teriaknya, wajahnya pucat seketika saat merasakan tubuhnya melayang ke bawah.

Namun hanya dalam sekejap, Yash sudah meluncur ke bawah, meraih pinggang Lira dan menariknya kembali ke dalam dekapan. Sayapnya mengepak, membawa mereka kembali naik ke atap.

Lira menampar dadanya dengan marah begitu mereka mendarat. “Dasar gila! Apa kau mau aku mati beneran?! Kau monster tak tahu diri!”

Yash hanya terkekeh kecil, senyum puas mengembang di wajahnya. “Ternyata kau masih takut kehilangan nyawa. Bagus. Itu artinya kau butuh aku, Lira.”

Lira menggertakkan giginya, wajahnya merah antara marah dan malu. “Aku benci kau, Yash.”

Namun Yash hanya menunduk sedikit, matanya menatap dalam seolah menembus hatinya. “Tapi kau tak bisa lari dariku.”

...

Apartemen itu tidak terlalu luas, hanya terdiri dari ruang tamu mungil, dapur kecil, dan kamar tidur yang pintunya terbuka. Lampu neon redup memantulkan cahaya ke dinding putih yang sedikit kusam. Lira meletakkan tasnya di sofa, menghela napas panjang seolah ingin mengabaikan kenyataan bahwa Yash masih mengikuti setiap langkahnya.

Pria itu berdiri di dekat pintu, bersandar santai, memperhatikan setiap gerakan Lira dengan tatapan teduh yang membuat gadis itu semakin kesal.

“Jangan menatapku seperti itu,” gerutu Lira sambil mulai merapikan meja penuh buku dan bungkus makanan instan. Ia pura-pura sibuk, padahal jantungnya berdetak tak karuan karena merasa terus diawasi.

Yash tidak bergeming. “Aku hanya memastikan kau benar-benar baik-baik saja. Kau terlalu lemah untuk kutinggalkan sendirian.”

Lira mendengus, meraih tumpukan pakaian kotor lalu berjalan ke arah kamar mandi. Baru saja ia hendak membuka pintu, langkah Yash ikut mengikuti.

Lira spontan berhenti, menoleh tajam. “Apa yang kau lakukan?! Pergi, aku mau mandi!”

Alis Yash terangkat, tapi bibirnya membentuk senyum miring. “Aku tidak pernah bilang ingin ikut masuk. Aku hanya berjaga di dekatmu.”

“Di depan pintu kamar mandi?!” Suara Lira meninggi, matanya membara.

“Kalau ada yang mencoba menyerangmu ketika kau lengah, bagaimana?” balas Yash ringan, seolah ucapannya masuk akal.

Lira mendengus keras, menatapnya lama. “Kau gila. Keluar, Yash! Kalau tidak, aku akan benar-benar berteriak.”

Yash mencondongkan wajahnya sedikit, berbisik rendah, “Teriaklah… tapi aku ragu ada yang akan menolongmu.”

Lira terdiam, jantungnya serasa terhenti sejenak. Ia segera mendorong dada Yash dengan kasar hingga pria itu terpaksa mundur dua langkah. “Keluar! Tunggu di ruang tamu!”

Untuk pertama kalinya Yash menurut, meski dengan senyum yang jelas-jelas menunjukkan ia menikmati reaksi Lira. “Baiklah, tapi ingat… aku tetap bisa mendengar detak jantungmu, Lira.”

Dengan wajah merah karena campuran marah dan malu, Lira segera menutup pintu kamar mandi keras-keras. Dari balik pintu, ia bisa mendengar suara tawa lirih Yash yang terdengar seperti kemenangan kecil baginya.

Setelah mandi lira keluar dengan baju longgar dan celana pendek. Dia langsung menuju dapur membuat mie instan. Yash yang tadinya duduk di sofa lantas mengikuti lira ke dapur. Tatapannya tak lepas dari setiap gerakan kecil Lira—cara gadis itu menggenggam sendok, meniup uap yang naik, bahkan tarikan napasnya.

“Kau bisa makan makanan manusia?” tanya Lira akhirnya, tanpa menoleh. Suaranya terdengar datar, meski ada sedikit rasa ingin tahu.

“Kenapa bertanya?” sahut Yash dengan nada ringan.

“Kalo nggak bisa makan, ya sudah… aku buat untuk diriku sendiri,” jawab Lira cepat, matanya tetap fokus pada mie yang hampir matang.

“Bisa,” ucap Yash cepat, hampir seperti takut kehilangan kesempatan.

Lira menghela napas lega kecil. Tapi sebelum ia sempat menuang mie ke mangkuk, Yash tiba-tiba mendekat lebih jauh. Tubuhnya kini berdiri tepat di belakang Lira, begitu dekat hingga kehangatan tubuhnya bisa ia rasakan meski tak bersentuhan.

Lira menegang, tangannya yang menggenggam sendok berhenti bergerak.

“Boleh aku memelukmu?” bisik Yash pelan, suaranya rendah dan berat tepat di telinga Lira.

Gadis itu tercekat, bulu kuduknya berdiri. Sendok di tangannya nyaris jatuh ke dalam panci. Ia menunduk, menahan detak jantung yang berdegup terlalu kencang.

“Jangan main-main, Yash…” ucapnya pelan, berusaha terdengar tegas, meski suaranya bergetar.

Tapi Yash tidak mundur. Ia menundukkan kepalanya sedikit, mendekat pada leher Lira, suaranya kian meresap. “Aku tidak main-main, Lira. Aku ingin kau tahu… aku bisa menahan diri untuk tidak menyakitimu, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk selalu ingin dekat denganmu.”

Lira buru-buru mematikan kompor, lalu menoleh dengan cepat. Tatapan matanya tajam, tapi ada ketakutan sekaligus sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. “Kalau kau berani menyentuhku tanpa izin… aku tidak akan pernah memaafkanmu.”

Yash tersenyum tipis, mundur setengah langkah, tapi sorot matanya masih mengunci milik Lira. “Baiklah… aku tunggu sampai kau sendiri yang mengizinkannya.”

Keheningan menelan dapur kecil itu, hanya suara uap mie yang masih bergolak pelan. Lira buru-buru menuangkan mie ke mangkuk, berusaha mengalihkan perasaan aneh yang kini menguasainya.

Lira menaruh dua mangkuk mie instan di meja makan kecil dekat dapur. Uap panas mengepul, aromanya memenuhi ruangan. Ia menarik kursi dan langsung duduk, berusaha bersikap normal seolah tak ada apa-apa yang baru saja terjadi.

Yash ikut duduk di hadapannya. Gerakannya tenang, hampir terlalu tenang, seakan ia sedang menikmati setiap detik kebersamaan itu.

Lira mengaduk mie-nya lalu menyuap sedikit. “Kalau kau benar-benar bisa makan, makanlah. Jangan cuma menatapku.”

Yash tersenyum samar. Ia mengambil sumpit, menatap mie dalam mangkuknya sejenak, lalu dengan mudah menyuap mie itu ke mulutnya. Lira diam-diam memperhatikannya, setengah penasaran, setengah ragu.

“Gimana...?” tanya Lira akhirnya.

Yash menatapnya, kemudian tanpa menjawab langsung menyodorkan sumpitnya yang masih berisi mie. “Cobalah dari punyaku. Rasanya lebih enak.”

Lira mengerutkan kening. "Rasanya sama saja"

“Tapi aku ingin berbagi denganmu,” jawab Yash santai, senyum nakalnya kembali muncul.

Lira mendengus kesal, lalu menunduk lagi pada mie-nya. Tapi sebelum ia menyuap, Yash tiba-tiba bergerak cepat—dengan sumpitnya, ia mengambil sejumput mie dari mangkuk Lira, lalu menyuapkannya ke mulutnya sendiri.

“Enak sekali… terutama karena ini dari mangkukmu,” ucapnya pelan, tatapan matanya terarah penuh pada Lira.

Mata Lira membulat. Ia hampir tersedak oleh ludahnya sendiri. “Yash! Kau gila ya? Itu menjijikkan! Kau pikir aku suka berbagi makanan dengan monster?”

Yash tertawa kecil, suaranya dalam dan menenangkan, meski jelas penuh godaan. “Kau marah, tapi pipimu memerah, Lira.”

Refleks, Lira menutup pipinya dengan tangan. “Diam!”

Yash hanya menggeleng pelan, masih tersenyum puas. “Kau bisa mengusirku seribu kali, tapi aku akan tetap ada di sini. Aku akan selalu menemukan jalan untuk tetap bersamamu.”

Lira menunduk, berusaha menutupi gejolak aneh yang mulai tumbuh di dadanya. Ia kembali menyuap mie dengan cepat, seakan makan bisa membuatnya lupa pada perasaan itu.

Sementara Yash, hanya duduk tenang, menikmati setiap ekspresi Lira yang berusaha keras menyangkal perasaannya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!