Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika si Cupu Berbalik Arah
Rachel menyempitkan mata, suara tingginya pecah di lorong yang masih ramai siswa.
“Eh, cupu! Ngapa lo kegatelan ama cowok gua, hah?!” serunya, langkahnya maju mendekati Citra.
Afifah dan Kiara spontan berdiri di depan Citra, seperti perisai.
“Astaga, Kak… paranoid banget sih? Cit tuh nggak ada urusan sama pacar lo,” ketus Afifah.
“Nggak ada urusan? Dari kemaren tuh tatapan cowok gua ke dia jelas banget! Jangan pura-pura polos deh lo, Cit.”Rachel melipat tangan di dada, menatap sinis.
Citra menarik napas panjang, akhirnya melangkah ke depan melewati sahabatnya. Tatapannya tenang, tapi ada ketegasan di balik matanya.
“Aku nggak pernah peduli sama cowok lo, Kak. Lagi pula… aku nggak tertarik sama orang yang cuma berani ngeliatin dari jauh tapi nggak punya keberanian buat ngaku.”
Bisik-bisik langsung terdengar dari siswa yang menonton. Beberapa menutup mulut menahan tawa, ada juga yang kaget melihat Citra berani balik menantang Rachel.
Wajah Rachel semakin merah, jemarinya mengepal. “Berani banget lo ya lawan gue?!” suaranya bergetar antara marah dan gengsi.
Citra menunduk sebentar, lalu memungut bukunya yang tersisa di lantai. Setelah itu ia menatap Rachel lagi dengan senyum tipis.
“Bukan berani, Kak. Aku cuma capek dijadikan sasaran orang yang hidupnya cuma muter di drama pacaran.”
Ucapan itu seperti tamparan tak kasat mata. Lorong kembali ricuh oleh bisikan dan sorakan kecil. Rachel sampai terdiam, bibirnya terbuka tapi tak sanggup membalas kata-kata Citra.
Dion yang berdiri tidak jauh, hanya bisa menatap keduanya—dadanya berdegup kencang. Ia tahu, situasi ini bisa jadi awal kehancuran citranya sendiri di mata Rachel… maupun di mata Citra.
Rachel yang sudah kepalang emosi melangkah maju cepat. Matanya membara, tangan kanannya terangkat, jari-jarinya terulur siap mencakar wajah Citra.
“Kurang ajar lo, Cit!!” teriak Rachel.
Namun sebelum sempat menyentuh, dua temannya langsung sigap menahan kedua lengan Rachel dari samping. “Rac, udah jangan! Banyak orang ngeliatin!” bisik Sherly panik, sementara satu lagi juga berusaha menarik mundur Rachel.
“Lepasin gue! Gue nggak bakal diem liat muka sok polosnya itu!”Rachel meronta, wajahnya merah padam, suaranya pecah penuh amarah.
Citra menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Tapi sebelum sempat bereaksi, Kiara sudah menarik lengannya kuat-kuat.
“Ayo Cit, kabur aja. Nggak ada gunanya diladenin banteng ngamuk!” katanya setengah berbisik tapi penuh sarkas.
Afifah ikut mendorong pelan bahu Citra ke arah tangga. “Udah, ayo. Daripada kita ikutan drama nggak penting.”
Tanpa banyak kata lagi, mereka bertiga segera melangkah cepat meninggalkan lokasi. Beberapa siswa yang menonton malah bersorak kecil, ada yang bertepuk tangan mengejek Rachel, ada yang langsung membicarakan “banteng ngamuk” dengan tawa tertahan.
“Cit! Jangan kira lo bisa kabur gitu aja! Gue nggak bakal diem, lo denger nggak?!”Rachel makin berteriak dari jauh, meski suaranya sudah terdengar kalah gengsi.
Citra tetap berjalan cepat, menunduk, meski bibirnya menekan senyum tipis. Dalam hati ia tahu: kali ini Rachel bukan hanya mempermalukan Citra, tapi dirinya sendiri di depan seluruh sekolah.
“Cepetan! Nanti si banteng ngamuk ngejar!” Kiara hampir terpingkal sambil tetap menggandeng lengan Citra.
Afifah menutup mulutnya, menahan tawa yang bercampur deg-degan. “Ya Allah Ki… lu tega banget ngomong gitu. Nanti kalo Rachel denger, bisa tambah ngamuk!”
Citra akhirnya ikutan nyengir meski napasnya masih terengah. “Sumpah ya… tadi gua kira beneran mau dicakar. Itu tangan udah kayak cakar harimau!”
Mereka bertiga baru berhenti setelah sampai di taman belakang sekolah, agak jauh dari kerumunan. Nafas terengah, tapi tawa mereka pecah bareng.
“Cit, gua kagum sama lu,” ujar Afifah sambil menyender ke dinding. “Lu berdiri tegak banget tadi, nggak goyang walau si nenek lampir udah mau nyerang. Gue aja kalo jadi lu, udah kabur duluan.”
Citra menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Sebenernya gua takut banget, Fah. Tapi gua juga muak terus-terusan dibentak sama dia. Kalo gua mundur lagi, dia bakal makin seenaknya.”
“Setuju. Lagian, lu tau nggak Cit? Orang kayak Rachel itu nggak perlu dilawan pake otot. Cukup kasih dia panggung… biar semua orang liat betapa memalukannya dia sendiri.”
Kiara mengangguk setuju, lalu pura-pura memasang wajah bijak.
Afifah ngakak kecil. “Dan tadi lu sukses banget jadi cermin. Rachel jadi keliatan kayak bocah drama queen.”
Citra akhirnya tersenyum lebar, meski ada sedikit rasa getir. “Ya, tapi gua yakin… abis ini dia nggak bakal tinggal diam. Dia pasti nyari cara lain.”
Kiara menepuk bahunya. “Tenang aja, Cit. Lu ada kita. Rachel boleh punya geng se-RT, tapi kita bertiga kan satu paket hemat. Anti buyar-buyar club.”
Mereka bertiga pun saling pandang, lalu kembali tergelak. Meski tegang, tawa kecil itu terasa melegakan—seolah untuk sesaat mereka bisa menertawakan badai yang menghadang.
Bel pergantian jam baru saja berbunyi, suasana kelas X MIPA 2 mulai agak lengang karena guru belum masuk. Citra, Afifah, dan Kiara duduk di bangku mereka, masih dengan sisa heboh kejadian di lorong tadi.
Kiara nyender santai ke kursinya sambil mengeluarkan permen dari tas. “Cit, gua tuh makin yakin, Rachel itu bukan benci doang sama lu. Dia tuh kalah saing, ngerti gak? Insecure parah.”
Afifah mengangguk mantap, menatap Citra serius. “Iya bener. Lu sebenernya cakep, Cit. Tapi lu tuh terlalu kalem. Coba deh lepas kacamata lu, rambut di-styling dikit, orang-orang pasti kaget.”
Citra spontan meraih kacamatanya, agak bingung. “Hah? Maksud lu… gua harus berubah biar kayak dia?”
Kiara langsung geleng cepat. “Bukan, bego! Bukan biar kayak dia. Tapi biar lu nunjukin versi terbaik diri lu sendiri. Rachel tuh berisik karena takut spotlight pindah ke lu.”
Afifah ikut nimbrung, matanya menyipit sambil melirik ke arah meja depan di mana Rachel biasanya duduk saat mampir. “Dan jujur aja, dibanding Rachel… lu punya sesuatu yang lebih natural, Cit. Cantik tanpa harus pamer.”
“Tapi gua nyaman gini kok. Kacamata gua bukan cuma gaya, tapi emang mata gua minus.”Citra terdiam sejenak, lalu senyum tipis.
“Ya elah, nggak ada yang nyuruh lu operasi lasik juga, Cit. Maksudnya tuh… jangan minder. Lu tuh udah punya modal. Tinggal percaya diri aja.” Kiara mendengus, lalu ngakak kecil.
Afifah menepuk meja pelan. “Dan inget, kita berdua siap jadi tim kreatif kalo lu butuh make-over dadakan.”
“Astaga… kalian berdua emang niat banget bikin gua jadi bahan eksperimen, ya?” Citra akhirnya ngakak, sambil mengangkat tangan.
Mereka bertiga tertawa bareng, sementara beberapa teman kelas ikut melirik penasaran, heran kenapa trio itu kelihatan kompak banget.
Citra, Afifah, dan Kiara masih ketawa-ketawa kecil ketika tiba-tiba terdengar suara dari bangku belakang.
“Hmm… jadi intinya kalian lagi ngebahas kacamata sama gaya rambut, gitu?” suara Raka terdengar sambil… nyruput kuah somay dari plastik bening. Tangannya sibuk motong-motong somay pakai sendok plastik.
Ketiganya sontak noleh.
“Raka?!” seru Kiara kaget.
“Sejak kapan lu dengerin?”
“Dari tadi. Suara kalian tuh udah kayak speaker kantin, mana nggak pake volume kecil lagi.” Raka santai aja, mulutnya masih penuh somay.
Afifah mendelik, tapi senyum. “Ih, kepo. Emang lu ngerti soal make-over cewek?”
Raka ngangkat bahu, masih sambil ngunyah. “Ya nggak ngerti-ngerti banget. Tapi menurut gua… Citra nggak perlu berubah juga sih. Kalo orang nggak bisa liat sisi bagusnya, ya salah mereka, bukan salah Citra.”
Citra terdiam sebentar, agak kaget sama ucapannya.
Kiara langsung nyikut Afifah pelan. “Tuh kan, bahkan cowok aja bisa liat Cit udah oke tanpa ribet.”
Afifah nyengir lebar. “Iya, iya. Gua akuin deh.”
Raka akhirnya berdiri, buang plastik somaynya ke tempat sampah. “Udah ah, sebelum guru masuk. Kalian kalo ngomong jangan sampe satu sekolah tau, bisa dikira lagi bikin podcast.”
Citra nggak bisa nahan senyum, sementara Kiara dan Afifah langsung cekikikan lagi.
*
*
*