"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
“Ah… aku memang tidak bisa bohong sama Bos,” ucap Doni.
“Cepat selesaikan dengan wanita kamu, lalu panggilkan dokter,” tegas Jefri.
Doni, asisten paling setia Jefri, segera bangkit meninggalkan wanita cantik di sampingnya.
“Sayang, nanti kita lanjut ya. Ada tugas negara,” ujar Doni sambil bergegas.
Tak lama, ponselnya kembali berdering…
“Astaga, gue ini baby sitter apa asisten CEO sih…” gerutu Doni, namun tetap mengangkat telepon.
“Apa, Bos?”
“Belikan beberapa baju lengkap untuk perempuan tadi,” Jefri memberi perintah.
“Bos, jam 12 malam mana ada mal yang buka?” keluh Doni.
“Mal mau buka atau tutup, bukan urusan gue. Yang jelas, baju harus ada dalam waktu tiga jam,” ucap Jefri tegas.
“Bos—” ucap Doni, namun sayang telepon sudah terputus.
“Gila… gila…” gumam Doni, tapi kemudian ia tersenyum kecil.
“Baru kali ini duda keren itu perhatian lagi sama perempuan. Mudah-mudahan semangatnya hidup lagi,” ucap Doni.
Di balik rasa kesalnya, ia merasa lega. Jefri yang menyebalkan masih lebih baik daripada Jefri yang dingin, pendiam, dan terlalu serius.
Seorang dokter wanita datang ke apartemen Jefri, padahal sudah pukul dua dini hari. Dengan bayaran sepuluh juta sekali kunjungan, tentu saja ia bersedia—apalagi pasiennya adalah Jefri Guardiola Antonio Cassano, pria keturunan Indonesia–Italia.
“Dia hanya demam masuk angin, sepertinya terlambat makan,” ucap Dokter Mira.
“Ok,” jawab Jefri singkat.
“Saya sudah menyuntikkan vitamin. Mudah-mudahan besok pagi sudah kembali pulih,” jelas Mira.
“Ok.”
Singkat, jelas, padat… dan nyebelin,ucap Mira dalam hati.
Setelah selesai memeriksa Hana, Dokter Mira diantar pulang dengan pengawalan dua orang pengawal.
Jefri menatap wajah Hana yang cantik. Dadanya naik turun pelan, kulitnya putih bersih.
Jefri menelan ludah. “Aku lelaki baik-baik,” gumamnya.
“Bos, ini baju-bajunya,” ucap Doni dengan napas tersengal sambil membawa banyak paper bag.
Jefri mengecek isi paper bag.
“Ok,” ucapnya singkat.
“Itu saja, Bos?” tanya Doni.
“Kenapa? Mau gue kasih tugas lagi, ha?” sahut Jefri.
“Tidak ada ucapan terima kasih, Bos? Nggak tahu apa gue sampai ngancam sekuriti dan kepala manajer buat buka butik tengah malam,” jelas Doni kesal.
“Itu tugas kamu,” jawab Jefri singkat.
Doni mendengus, lalu duduk di sofa.
“Sana pulang. Ngapain lagi di sini?” ucap Jefri.
“Kasih minum dulu kek, apa kek…” protes Doni.
“Ok, habis minum pulang,” perintah Jefri datar.
“Dasar Bos… sinting. Bos tampan, sih. Ya sudah, gue pulang, ya. Ingat, itu cewek baik-baik, jangan dicicipin,” ucap Doni.
“Gue bukan elo,” balas Jefri dingin.
Doni membalikkan badan dan melangkah menuju pintu apartemen.
“Besok boleh libur,” ucap Jefri tiba-tiba.
“Nah, gitu dong,” sahut Doni senang.
“Tapi lu harus tetap siaga,” lanjut Jefri.
Doni hanya bisa menghela napas berat.
“Tuhan, cepetan kawinin dia biar emosinya stabil,” gerutunya dalam hati.
..
Pagi tiba. Hana mengerjapkan matanya, terasa silau menyusup dari balik tirai.
Melihat langit-langit ruangan yang mewah, Hana bergumam, “Tuhan, inikah surga? Indah sekali… Sayang sekali aku mati muda.”
Ia kemudian mencubit tangannya, lalu meringis kesakitan.
“Loh, kok sakit? Bukannya di surga sudah tidak merasakan rasa sakit?” ucap Hana heran.
Hana bangkit perlahan. Ia melihat pakaian yang dikenakannya—sebuah jubah handuk. Tatapannya kemudian turun, melihat bra dan underwear-nya masih terpakai.
“Siapa yang mengganti ini semua?” bisiknya cemas.
Saat matanya terarah ke sofa, Hana terperanjat. Seorang lelaki tidur di sofa
“Bajingan… dasar tukang ojek payung. Kamu sudah mengambil keperawananku!” gumam Hana kesal.
Walau masih sempoyongan, Hana bangkit lalu menduduki Jefri. Ia langsung mencekik leher Jefri.
“Uhuk!” Jefri terbatuk.
Dengan mudah, Jefri melepaskan cekikan Hana dan mengangkat kedua tangannya ke atas hingga merentang.
“Wanita gila! Kenapa mau membunuhku?” ucap Jefri kesal.
“Kamu lelaki bajingan! Kenapa kamu menodaiku?” balas Hana dengan suara bergetar. Ia meronta, tapi tenaganya tak cukup melawan Jefri.
“Apanya sih menodai kamu? Memang kamu sudah periksa, ha?” tanya Jefri dingin.
“Kamu sudah mengganti bajuku. Kamu pasti mengambil kesempatan!” tuduh Hana keras.
Jefri bangkit. Kini posisi mereka berhadapan, Hana berada di pangkuan Jefri, dengan kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu
“Bukan aku yang menggantikan baju kamu,” ucap Jefri tegas.
“Kalau bukan kamu, terus siapa?” tanya Hana curiga.
“Pembantuku yang menggantikannya.”
Jefri menggeser badannya, lalu memangku Hana dan memindahkannya kembali ke kasur tempat ia tadi tidur.
“Sekarang lebih baik kamu periksa dirimu di kamar mandi,” ucap Jefri.
“Aku ini cantik, seksi. Masa kamu tidak berbuat apa-apa padaku?” sahut Hana menantang.
Jefri berbalik badan, kemudian mendekatkan wajahnya pada Hana. Hidung mereka hampir saja bersentuhan, hembusan napas pun saling beradu.
“Memang kamu mau aku berbuat apa padamu?” bisik Jefri dingin.
“Aku nggak percaya sama kamu,” balas Hana.
“Kalau kamu nggak percaya… bagaimana kalau kita coba saja?”
Hana mengutuk dirinya karena sudah berani berbicara seperti itu seorang pria dewasa yang sudah pernah menikah.dia skarang pasarah dengan nasibnya yang selalu apes.
Hana memejamkan mata, menunggu tindakan selanjutnya.
Ia menunggu bibirnya dilumat, namun hal itu tidak terjadi. Saat membuka mata, Jefri sudah tidak ada di depannya.
“Kemana dia?” ucap Hana pelan.
“Lebih baik kamu mandi. Nanti aku antarkan kamu pulang,” suara Jefri terdengar dari arah pantry.
“Huh, dasar lelaki aneh,” gumam Hana.
Kemudian ia melangkah menuju kamar mandi yang mewah.
“Benar-benar mewah, sudah seperti di hotel saja,” ucap Hana sambil terkagum.
Setelah itu, ia memeriksa dirinya. Saat menyentuh area sensitif, Hana tersenyum lega.
“Aku masih perawan,” gumamnya.
Setelah mandi, Hana keluar hanya dengan handuk yang melilit tubuhnya. Di atas kasur, sudah tersedia beberapa pakaian rapi terlipat.
“Wah, baju-baju mahal semua… punya maksud dan tujuan apa ini, Om tampan?” gumam Hana.
“Dipakai, enggak, ya? Kalau dipakai, fix aku bakal dianggap simpanan Om. Tapi kalau enggak dipakai, sayang juga. Baju ini kan harganya bisa sama dengan gajiku sebulan. Tapi… di mana harga diriku?”
Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum miring.
“Ah, pakai saja. Lagian kalau dia punya niat jelek, pasti aku sudah kehilangan keperawanan.”
Akhirnya, setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri, Hana memilih mengenakan pakaian itu.
Hana akhirnya memilih sebuah dress sederhana berwarna putih gading. Bahannya satin lembut yang jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, dengan potongan off-shoulder sehingga bahunya tampak anggun. Di bagian pinggang ada ikat kecil tipis yang membuat tubuh mungilnya terlihat lebih ramping.
Roknya selutut dengan potongan A-line, cukup elegan tanpa kesan berlebihan. Saat Hana menatap cermin, kulit putihnya seakan makin bersinar ditambah rambutnya yang masih sedikit basah terurai di bahu.
“Hmm… cantik banget. Tapi kayaknya lebih mirip calon manten daripada cewek biasa,” gumamnya, setengah bangga, setengah khawatir.
Hana melangkah ke ruang tengah, tercium aroma makanan yang menggugah selera.
“Tidak ada pembantu yang masak. Apa dia masak sendiri? Ih, Om tampan ini pandai masak, idaman banget,” gumam Hana dalam hati.
“Gimana, masih aman?” tanya Jefri