Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Detik-Detik di Balik Garis
Hari-hari setelah ‘sidang’ Ayah terasa seperti berjalan mundur. Ayah dan Bunda mengamatiku dengan perhatian yang lebih besar dari biasanya. Ayah bahkan beberapa kali menanyakan perkembangan tugas kuliahku, seolah ingin memastikan aku benar-benar sibuk dan tidak punya waktu untuk hal lain.
Aku dan Revan sama-sama menjaga jarak. Kami tidak bertemu di kampus. Komunikasi kami hanya melalui pesan singkat, penuh kode dan antisipasi. Sifat tersembunyi dari komunikasi ini justru membuat penantian terasa semakin panjang dan menyiksa. Setiap notifikasi ponsel yang masuk di saat Ayah ada di dekatku terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Aku merindukan Revan, merindukan tawa dan keberaniannya, dan kini, aku hanya bisa merasakan ketegangan yang ia rasakan.
Sabtu. Hari yang kutunggu akhirnya tiba.
Pagi itu, aku bersikap seolah-olah hari ini adalah hari biasa. Aku membantu Bunda memasak, bahkan sempat bercanda sebentar tentang menu masakan hari itu. Aku mengenakan blus longgar dan kerudung yang rapi, pakaian yang sempurna untuk anak rumahan yang mau pergi ke toko buku dan rumah sahabatnya.
"Nanti jangan pulang terlalu sore, ya, Nak," pesan Bunda sambil mengantarku sampai ke teras. "Habiskan waktumu di rumah Neli saja. Tugas kalian itu pasti butuh konsentrasi penuh."
"Iya, Bunda. Nanti aku telepon kalau sudah di rumah Neli. Doakan tugas filsafatku lancar, ya," jawabku, memaksakan senyum yang paling alami.
Aku meninggalkan rumah dengan langkah ringan, tetapi hatiku berdebar sangat kencang. Rasanya seperti menyelinap keluar dari penjara suci.
Destinasi pertamaku adalah rumah Neli. Ia menyambutku dengan wajah cemas, sudah siap dengan tumpukan buku dan laptop di meja ruang tamunya.
"Gila, Ra. Aku gugup sekali," bisik Neli setelah Bunda Neli masuk ke dalam rumah. "Aku sudah bilang ke supir kalau aku akan belajar keras. Semoga Om Bimo tidak tiba-tiba menelepon."
Kami berdua berpura-pura membuka buku. Tepat pukul 15.45, setelah merasa waktu di rumah Neli cukup lama untuk membuat Ayah percaya, aku pamit.
"Aku duluan ya, Nel. Mau cari buku lagi di toko langgananku. Sampai nanti," kataku, agak keras agar Bunda Neli bisa mendengarnya.
Begitu aku berjalan keluar, udara sore terasa dingin, namun aku berkeringat. Aku berjalan kaki sekitar tiga ratus meter, berpura-pura melihat-lihat toko di sepanjang jalan.
Di tikungan yang sepi, seperti yang dijanjikan, sebuah mobil hitam sudah menanti. Revan sudah ada di dalam, menyandar di kursi pengemudi, matanya menatap tajam ke arahku.
Saat aku membuka pintu dan duduk di sampingnya, semua kode dan ketegangan sirna. Yang ada hanya desahan lega.
"Tepat waktu. Aku takut sekali," bisikku, menutup pintu mobil perlahan.
Revan tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mencondongkan tubuhnya, menyalurkan kehangatan dari jarak yang tipis, dan meletakkan tangan kirinya di konsol mobil, sangat dekat dengan tanganku yang terasa dingin. Meskipun tidak ada sentuhan kulit, kehangatan yang memancar darinya sudah cukup. Garis Batas itu memang ada, tetapi dalam momen tegang ini, Revan memilih untuk mendekatinya tanpa melewatinya, menunjukkan dukungan penuh tanpa mengkhianati kehormatan yang ia pegang. Kami hanya terikat oleh rasa bersalah dan kebutuhan yang sama.
"Kita sudah melakukan hal yang benar, Ra. Mami akan senang," katanya, mengemudi perlahan. "Aku sudah lama tidak melihatmu. Rasanya seperti setahun."
Aku hanya mengangguk, menatap jendela. Di luar, kehidupan berjalan normal. Di dalam mobil ini, aku dan Revan sedang menyeberangi Garis Batas Keyakinan. Bukan untuk menguji cinta, tetapi untuk memenuhi janji pada seorang ibu yang kini menjadi ‘ibu rahasia’ bagiku.
Tiga puluh menit kemudian, mobil Revan berhenti di depan rumah yang sudah sangat kurindukan. Rumah yang penuh kehangatan, dan kini, penuh larangan.
Mobil Revan berhenti di garasi rumahnya. Jantungku berdetak tak karuan. Rumah ini terasa begitu familiar, namun kini, terasa seperti melangkah ke wilayah terlarang.
Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu. "Hanya sebentar, Van. Aku tidak mau Ayah curiga."
"Aku janji, Ra. Hanya untuk Mami, dan rendang," balas Revan, matanya meyakinkanku.
Begitu kami masuk, rumah itu langsung menyambutku dengan aroma yang kuhapal luar kepala: aroma vanilla dan kayu yang hangat. Di ruang tengah, Mami Revan wanita berambut pendek dengan senyum yang selalu menenangkan langsung berdiri begitu melihatku.
"Indira!" Mami berseru, melangkah cepat dan langsung memelukku erat.
Pelukan Mami selalu berbeda. Di sana ada kehangatan yang jujur, tanpa syarat, dan tak terikat pada keyakinan apa pun. Aku membalas pelukannya, dan tangis yang kutahan sejak sidang Ayah tadi malam hampir saja pecah.
"Mami kangen sekali sama kamu, Sayang. Kenapa lama sekali tidak main? Revan bilang kamu sibuk, tapi Mami tahu, pasti ada yang lain," kata Mami, melepaskan pelukannya, menangkup wajahku.
"Maaf, Mami. Tugas-tugas kuliah memang sedang padat sekali," elakku, berusaha menyembunyikan kegugupan.
Mami hanya tersenyum maklum, ia selalu membaca kami berdua dengan mudah. "Mami tahu kamu anak yang baik. Tapi janji, jangan jauhi Mami, ya."
"Tidak, Mami. Tidak akan," janjiku tulus.
Revan menyelamatkan suasana. "Mami, Indira hanya sebentar. Dia datang karena janji rendang. Ayo kita ke dapur sebelum Ayah Indira menelepon ke rumah Neli."
Mami mengangguk mengerti, ekspresinya berubah sendu. "Baiklah. Kita buat cepat, ya. Tapi sebelum itu, kamu pasti belum sholat Ashar, kan?"
Aku melihat jam dinding. Ya, waktu Ashar hampir habis. Aku terdiam, bingung. Sholat di rumah ini?
Mami seolah membaca keraguanku. "Mami sudah siapkan. Lantai atas, di kamar Revan yang dulu. Sudah Mami bersihkan semua. Sajadah dan arah kiblatnya juga sudah Mami pasang."
Air mataku kembali menggenang. Di rumah yang kini memiliki salib perak kecil di dinding, Mami Revan dengan sepenuh hati menyiapkan tempat untukku sholat. Tindakan Mami adalah kebalikan total dari larangan Ayah.
"Terima kasih, Mami," bisikku, tak mampu berkata-kata lain.
"Sudah kewajiban Mami, Sayang. Rumah ini selalu terbuka untuk keyakinan siapa pun," jawab Mami lembut. "Kamu sholat dulu, Mami dan Revan akan menyiapkan bahan-bahan rendangnya."
Aku naik ke lantai atas. Kamar itu memang terasa asing ada beberapa buku tebal tentang teologi Kristen di meja tapi di sudut karpet, terhampar sajadah milikku yang dulu pernah kutinggalkan. Aku sholat di sana, di kamar seorang pemuda Kristen, di bawah atap rumah seorang ibu Kristen. Sholat yang kurasakan paling jujur dalam hidupku.
Setelah sholat, aku segera turun ke dapur. Kami bertiga mulai memasak rendang. Tawa kembali terdengar. Revan berdiri di sampingku, sesekali membantuku memotong daging, namun selalu menjaga jarak sentuh.
"Revan sudah besar, Mami. Dia sudah pandai memasak sekarang," kataku, mencoba ceria.
Mami tertawa. "Dia belajar banyak hal di kampus barunya, Nak. Dia dewasa sekali. Termasuk keputusannya untuk menghargai setiap Garis Batas yang ia pegang, dan yang kamu pegang."
Mami menatapku lurus, tangannya sibuk mengaduk santan. "Indira, kamu tahu kan, Mami sangat menyayangi kalian berdua. Ayahmu punya ketakutan, itu wajar. Kamu anak perempuannya satu-satunya. Tapi Mami juga tahu, cinta yang tulus itu datangnya dari Tuhan.
Jika cinta ini baik, pasti ada jalannya, Nak."
"Tapi Mami..."
"Sstt. Jangan banyak pikir. Kita serahkan pada Tuhan saja. Tugas kita saat ini hanya mencintai dengan tulus. Dan membuat rendang ini enak," potong Mami, mengedipkan mata.
Waktu berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, ponselku bergetar. Pesan dari Neli.
Neli: Ra, Ayahmu telepon ke rumahku menanyakan kamu. Aku bilang kamu baru saja ke toko buku, tapi akan segera kembali. Cepat, Ra!
Kepanikan menyergap ku. Aku menatap Revan dan Mami.
"Sudah waktunya," bisik Revan.
"Ya Tuhan, cepat sekali," kata Mami, ekspresinya langsung berubah khawatir. "Tidak apa-apa, Sayang. Masakannya biar Mami selesaikan. Kamu harus segera kembali ke rumah Neli. Revan, cepat antar Indira."
Aku memeluk Mami sekali lagi, pelukan yang sarat makna perpisahan sementara. Di depan gerbang, Revan memegang bahuku—lagi-lagi hanya pada kain bajuku—dengan sorot mata tegang.
"Hati-hati, Ra. Setelah ini, kita akan sangat jarang bertemu," bisik Revan. "Tapi jangan pernah lupa, kamu harus tetap kuat di jalanmu."
Aku mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Kami telah melewati Garis Batas Keyakinan Ayah, dan kini, kami harus membayar ketegangan yang lebih besar sebagai konsekuensinya.