kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepergian oma,kecelakaan...
Seminggu telah berlalu sejak insiden itu, namun kondisi Oma masih tak beranjak dari koma. Ruangan ICU seolah menjadi rumah kedua bagi Axel.ia setiap malam selalu menyempatkan diri menemani Rara makan malam di mansion sekadar untuk mengisi tenaga dan sedikit menenangkan diri.
Malam itu, di tengah denting sendok, ponsel Axel tiba-tiba bergetar di atas meja. "Rico. " Ekspresi Axel yang semula tenang, seketika berubah. Garis di antara alisnya semakin dalam, dan sorot matanya menajam.
Rara yang menyadari perubahan itu, meletakkan sendoknya. Rasa takut merayap di dadanya. "Ada apa, Mas?" tanyanya pelan, khawatir.
Axel menatap Rara, senyum tipis terukir di bibirnya, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Namun, getaran di matanya tak luput dari penglihatan Rara. "Mas harus pergi dulu, Sayang. Ada masalah darurat di markas," ucapnya cepat, suaranya sedikit menegang.
Ia bangkit dari kursi, melangkah mendekat, dan mencium kening Rara dengan hangat namun terburu-buru. "Maya! Tolong temani Rara makan, dan pastikan dia tidak sendiri," perintah Axel kepada suster maya dan bodyguard wanita yang selalu berjaga tak jauh dari mereka.
Tanpa menunggu jawaban, Axel bergegas meninggalkan kafe, langkahnya cepat dan tegang. Rara hanya bisa menatap punggung tegap itu menghilang di balik pintu, dadanya terasa nyeri. Kekhawatiran melingkupinya.
"Kenapa malah bengong sih, Ra?" Suara Maya terdengar lembut di sampingnya, membuyarkan lamunan Rara. "Jangan khawatir berlebihan. Tuan Axel pasti baik-baik saja." Maya meletakkan tangannya di pundak Rara, berusaha menenangkan.
Rara menatap pintu yang baru saja dilewati Axel, hatinya diliputi firasat tak enak. Ia menoleh pada Maya. "Perasaanku tidak enak, Kak Maya. Tidak seperti biasa. Padahal Mas Axel sudah sering pergi. Semoga ini hanya perasaanku saja." Suaranya terdengar cemas, meskipun ia berusaha menenangkan diri.
Sementara itu, di markas rahasia, Axel melesat masuk. Suara tembakan dan jeritan masih terdengar samar. Tanpa ragu, ia mencabut pistol Glock kesayangannya dari balik pinggang, diikuti belati kecil yang tersembunyi di pergelangan tangan. Gerakannya cepat, mematikan. Ia menembak satu per satu musuh yang muncul, bidikannya tepat ke arah vital, memastikan mereka takkan lagi menjadi ancaman.
Pihak penyusup yang awalnya beringas, kini mulai goyah, mundur teratur melihat keganasan Axel dan anak buahnya yang sudah lebih dulu bertempur. Dalam hitungan menit, suasana di markas kembali terkendali.
"Rico, pastikan semua kekacauan ini dibersihkan. Cek area sekitar, jangan sampai ada yang lolos!" perintah Axel tegas, tatapannya menyapu sisa-sisa pertempuran. "Di mana pengintai yang kalian tangkap?"
Rico segera mendekat. "Di ruang isolasi, Tuan. Sudah kami amankan sesuai perintah."
Axel melangkah cepat, diikuti Rico. Mereka menyusuri koridor sempit menuju ruang isolasi yang terletak di bagian paling terpencil markas. Udara di sana terasa pengap, dingin, dan lembap. Tidak ada cahaya, hanya temaram lampu darurat yang kedap-kedip, serta minimnya ventilasi yang membuat setiap napas terasa berat. Aroma anyir darah dan besi samar-samar tercium.
Saat tiba di depan sebuah pintu besi kokoh, Axel berhenti. "Buka pintunya," perintahnya kepada seorang penjaga bertubuh besar yang berdiri di sana. Dengan sigap, penjaga itu memasukkan kode dan memutar tuas, pintu bergeser terbuka dengan derit keras.
Dengan mata menyala penuh amarah, Axel mencengkeram rahang pengintai itu begitu kuat hingga rahangnya berbunyi, mendongakkan kepala pria itu ke atas. "Katakan siapa yang menyuruhmu!" geram Axel, suaranya rendah dan penuh ancaman, membelah keheningan ruang isolasi yang pengap.
Namun, pria itu hanya meludah ke samping, senyum mengejek tersungging di bibirnya. Tanpa pikir panjang, tanpa sepatah kata lagi, Axel mengangkat pistolnya. Suara ledakan memekakkan telinga memenuhi ruangan sempit itu, dan darah memercik saat peluru menembus tepat ke kepala si pengintai. Tubuh pria itu ambruk tak bernyawa.
Axel menatap tubuh tak bernyawa itu dengan dingin, matanya kosong. "Buang mayatnya ke kandang singa," perintahnya, suaranya datar namun menusuk, dengan aura yang begitu mengerikan hingga para penjaga yang selama ini mengenalnya pun bergidik.
"Siap, Tuan!" jawab salah satu penjaga, buru-buru melaksanakan perintah.
Dengan napas berat, Axel berbalik dan melangkah pergi menuju ruang pribadinya. Ia membutuhkan waktu sejenak untuk membersihkan diri dari bau anyir darah dan mengusir sisa kemarahan yang membakar sebelum kembali ke dunia luar, ke sisi Rara dan Omanya.
Belum sempat ia berganti pakaian, ponselnya bergetar hebat di saku. Nama "Dokter Mark" terpampang di layar. Jantung Axel langsung berdebar tak karuan. Ia mengangkatnya dengan tangan gemetar.
"Ada apa?!" tanyanya, tak lagi peduli dengan formalitas.
Suara Dokter Mark di seberang telepon terdengar sangat cemas, nyaris putus asa. "Axel! Kondisi Oma memburuk drastis! Ginjalnya... Kita kehilangan dia! Kau harus cepat ke sini, sekarang juga!"
Tanpa berpikir dua kali, tanpa menunggu Rico, Axel langsung menyambar kunci mobilnya. Wajahnya pias. Sial. Dia harus segera ke sana. Dia harus.
Naas, di tengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Axel kalut. Kabar buruk tentang Omanya, ditambah insiden di markas, membuatnya hilang fokus. Ia melajukan mobil sport mewahnya dengan kecepatan gila, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan.
Tiba-tiba, di sebuah tikungan tajam, seorang pengendara motor tua muncul entah dari mana. Axel yang terlambat bereaksi, membanting setir keras ke kanan, menghindari tabrakan fatal. Mobilnya kehilangan kendali, melaju oleng, menabrak pembatas jalan, dan terperosok ke tepi jurang. Beruntung jurang itu tidak terlalu dalam, dan mobilnya tersangkut di antara pepohonan, namun benturan itu cukup keras untuk membuatnya terpental, pingsan.
Pengendara motor tua itu, yang syok luar biasa, langsung terhuyung ke tepi jalan, gemetar melihat kejadian mengerikan di depannya. Tak lama kemudian, deru mobil Rico terdengar. Rupanya, khawatir dengan kondisi Axel yang panik, Rico memutuskan untuk mengikuti dari jarak aman.
Rico segera turun dari mobilnya saat melihat kerumunan kecil di pinggir jalan, menunjuk ke arah jurang. Matanya membelalak kaget saat melihat plat nomor mobil yang tergantung di antara dahan pepohonan: plat nomor mobil Axel.
"Tuuaaaan AXEL!" teriak Rico panik, suaranya memekakkan telinga. Ia segera menghubungi tim daruratnya, memerintahkan mereka untuk datang secepat mungkin. "Cepat! Ada kecelakaan! TUAN AXEL!"
Proses evakuasi berjalan lambat dan sulit. Butuh waktu hampir satu jam untuk berhasil mengeluarkan Axel dari bangkai mobil yang ringsek. Ketika akhirnya Axel berhasil ditarik keluar, tubuhnya bersimbah darah, beberapa luka tampak parah. Tak lama setelah itu, ambulans pun tiba, membawa Axel ke rumah sakit.
Rico mendekati Axel yang sudah terbaring di brankar ambulans. Hatinya mencelos melihat kondisi tuannya yang babak belur dan tak sadarkan diri. "Tuan..." bisiknya sendu, suaranya bergetar, menahan gejolak emosi yang mendera.
Axel segera dilarikan ke ruang gawat darurat.Disana dokter mark sudah menunggu dengan raut cemas,seakan tahu musibah lain akan menimpa.
Begitu brankar Axel memasuki ambang pintu IGD,tim medis langsung menyambut,sigap bergerak cepat untuk memberikan pertolongan pertama.
Rico terpaku di depan pintu IGD, napasnya tertahan di kerongkongan. Setiap detik terasa memanjang, dinginnya lantai marmer merambat naik melalui telapak kakinya yang kini terasa kebas. Jantungnya berdebar tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Apa pun hasilnya, dia harus siap.
Pintu IGD berderit terbuka, menyingkap sesosok tubuh. Dokter Mark muncul, raut wajahnya mengeras, bibirnya terkatup rapat membentuk garis tipis. Mata dokter itu tampak sayu, seperti menyimpan beban dunia. Sesuatu yang buruk akan datang, Rico tahu itu.
"Mark... bagaimana Axel?" Suara Rico tercekat, nyaris tak terdengar.
Mark menghela napas berat, pandangannya menembus Rico seolah melihat kehampaan di baliknya. "Jantung Axel... tergores. Kita harus segera menemukan donor, Rico. Ini fatal. Sangat fatal." Kata-kata terakhir itu keluar seperti bisikan pahit, penuh keputusasaan.
Kepala Rico terasa dipukul godam. Donor? Fatal? Dunia seolah berputar, namun ia berusaha tegar. "Baik... baik, saya akan mencarinya. Apa pun caranya." Dia mencoba menata suaranya, berusaha terdengar yakin. "Dan... bagaimana dengan Oma?"
Dokter Mark tidak menjawab. Hanya gelengan pelan. Sebuah gelengan yang mengiris hati, mengoyak harapan terakhir Rico. Seolah sambaran petir menyambar tubuhnya, Rico terhuyung ke belakang, lututnya lemas. Pandangannya mengabur. Dua musibah, dalam satu tarikan napas. Dunia seolah menimpakan beban terberatnya tepat di bahunya, hingga dia nyaris tak mampu berdiri.
Dokter Mark menatap Rico dengan sorot mata berat, seolah membawa beban dunia. "Rico," Dokter Mark memulai, suaranya pelan dan ragu. "Saya punya usul... bagaimana kalau jantung oma kita donorkan? Mungkin ada yang cocok." Ia menghela napas, terlihat jelas betapa sulitnya mengucapkan hal itu.
Rico terdiam sejenak, mencerna ucapan Dokter Mark. Ini adalah keputusan yang sangat berat, terlebih dengan kondisi Tuan Axel yang sedang di ambang batas. "Lakukan yang terbaik, Dokter Mark," jawab Rico akhirnya, suaranya mantap meskipun hatinya terasa nyeri. "Saya percayakan sepenuhnya kepada Anda untuk kebaikan Nyonya Besar... dan juga Tuan Axel."
Tepat pada saat itu, ponsel di saku Rico bergetar hebat. Ia melirik layar, dan nama "Rara" terpampang di sana. Seketika, rasa bingung dan takut menyelimuti Rico. Bagaimana ia akan menyampaikan semua ini? Tapi ia harus. Dengan napas tertahan, Rico memberanikan diri mengangkat panggilan itu.
"Iya, Nyonya Rara? Ada yang bisa saya bantu?" Suara Rico terdengar profesional, berusaha menyembunyikan kekalutan di balik nada kalemnya.
"Kak Rico, Mas Axel baik-baik saja, kan? Dia bersama Kak Rico, kan?" Suara Rara terdengar panik dan cemas dari seberang telepon. "Rara sudah coba hubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Dia di mana, Kak?"
Rico menutup mata sesaat. Lidahnya terasa kelu. "Maaf, Nyonya... Tuan A... Axel..." Ia terdiam, tak mampu melanjutkan kalimatnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Kak! Ada apa dengan Mas Axel?!" Rara mengulang pertanyaannya, kini dengan nada yang jauh lebih panik, nyaris berteriak.
Rico menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. Suaranya bergetar menahan kepedihan saat akhirnya mengucapkan kata-kata yang paling tidak ingin didengar Rara. "Nyonya Rara... Tuan Axel... dia kecelakaan. Kondisinya sekarang... kritis."
Seperti tersambar petir, Rara terpaku sesaat. Mata beningnya membelalak tak percaya. Detik berikutnya, tubuhnya limbung, terjatuh ke lantai marmer dengan suara gedebuk yang memilukan, lalu tak sadarkan diri.
"Rara! Astaga, Rara, kamu kenapa?!" Maya menjerit panik, segera menghambur memeluk tubuh Rara yang terkulai. Ia menepuk-nepuk pipi Rara. "Rara, bangun! Kamu kenapa?!"
Ponsel yang masih terhubung ke Rico tergeletak di samping Rara. Dengan tangan gemetar, Maya langsung mengambil alih ponsel itu.
"Halo, Tuan Rico! Ada apa ini?! Kenapa Nyonya Rara pingsan?! Apa yang terjadi?!" Maya menghujani Rico dengan pertanyaan, suaranya sarat kecemasan dan kemarahan.
Suara Rico di seberang sana terdengar berat, penuh kesedihan yang mendalam. "Maya, tolong tenangkan Nyonya Rara dulu. Setelah dia sadar dan sedikit tenang... kalian berdua harus segera ke rumah sakit. Ada berita duka. Nyonya Besar... beliau sudah tiada. Dan Tuan Axel... dia kecelakaan dan sekarang dalam kondisi kritis."
Kalimat terakhir itu diucapkan Rico dengan nada yang nyaris tak terdengar, seolah setiap kata adalah beban yang sangat berat. Kemudian, terdengar suara klik, dan sambungan telepon terputus, diputuskan sepihak oleh Rico, mungkin karena ia sendiri tak sanggup lagi menahan emosi.
Maya membeku sesaat, otaknya mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Ketakutan, kesedihan, dan kepanikan bercampur aduk. Air matanya mulai mengalir deras. "TIDAAAK! TOLONG! SIAPAPUN TOLONG!" teriak Maya, suaranya pecah, menggema di seluruh mansion Sontak, beberapa maid yang mendengar teriakan itu langsung berlarian datang, wajah mereka sama paniknya.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu