NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:720
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Setelah pulang dari pasar, langkah kaki Sri terdengar pelan menyusuri halaman rumah yang masih basah oleh sisa embun pagi.

Di tangannya tergantung beberapa kantong belanjaan, kebaya hijau zamrud yang baru saja dipilihkan Ibu, dua daster bermotif bunga, dan beberapa bumbu dapur yang dibeli di sela perjalanan pulang.

Grilyanto yang sedang duduk di beranda depan menatap keduanya dengan senyum tipis. Ia menyandarkan punggungnya pada tiang kayu rumah, sambil memegang secangkir kopi yang mulai dingin.

Matanya tertuju pada dua sosok perempuan yang kini mengisi hidupnya: ibu yang telah membesarkannya, dan istri yang kini mendampinginya.

Cahaya matahari pagi menyelinap di antara sela dedaunan, memantulkan kilau hangat di wajah Sri yang tampak lebih cerah dari biasanya.

Sementara itu, Ibu berjalan di sampingnya dengan langkah ringan, wajahnya tenang seolah beban yang selama ini tertahan di dada telah luruh bersama langkah menuju penerimaan.

“Ibu membelikan kamu kebaya?" tanya Grilyanto pelan, masih memandang mereka.

Sri mengangguk dengan senyum kecil. “Iya, Mas. Cantik, kan?”

Ibu menimpali dengan nada geli, “Bukan hanya kebaya. Dasternya juga. Biar Sri betah di rumah.”

Grilyanto tertawa kecil, dan dalam tawa itu tersimpan rasa syukur yang tak terucapkan.

Ini bukan sekadar perjalanan ke pasar atau belanja kain. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam tentang hati yang perlahan melembut, tentang jarak yang mulai terhapus, dan tentang kasih yang akhirnya tumbuh tanpa paksaan.

Ia berdiri, mengambil alih beberapa kantong dari tangan Sri, dan menatap wajah istrinya dengan bangga.

“Terima kasih ya, Sri... sudah sabar sampai Ibu bisa sayang sama kamu seperti ini.”

Sri menatapnya sebentar, lalu bergeser memeluk lengannya.

“Yang penting kita bareng-bareng, Mas. Apa pun bisa dilewati.”

Dari belakang, Ibu tersenyum diam-diam, menyadari bahwa hari ini, keluarganya telah bertambah.

Bukan hanya menantu, tapi seorang anak perempuan baru yang bisa ia sayangi dengan tulus. Dan pagi itu, di halaman rumah sederhana mereka di Magelang, hati yang dulu penuh keraguan kini dipenuhi kehangatan dan harapan baru.

Di dapur tua yang dindingnya masih berlapis anyaman bambu, aroma bumbu tumis mulai menyebar ke seluruh penjuru rumah.

Pagi itu, suasana berbeda terasa di rumah keluarga Grilyanto. Untuk pertama kalinya, Ibu memanggil Sri ke dapur bukan sekadar untuk membantu, tetapi untuk berbagi ilmu yang telah turun-temurun ia simpan dalam ingatan dan rasa—memasak brongkos, makanan khas kesukaan keluarga, yang sudah jarang dibuat kecuali untuk momen istimewa.

“Masak itu harus pakai hati, Sri. Jangan buru-buru. Dengarkan suara tumisannya, hirup aromanya,” ujar Ibu sambil menambahkan irisan bawang merah ke wajan panas, tangannya lincah tanpa ragu.

Sri berdiri di sampingnya, mencatat dalam hati setiap gerakan, setiap takaran yang tidak diukur dengan sendok, melainkan dengan rasa.

“Berarti ini resep rahasia keluarga ya, Bu?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

“Bukan rahasia, tapi warisan,” jawab Ibu, memandang Sri sejenak dengan lembut.

“Dulu aku ajarkan ke mbakyu Grilyanto Tapi sekarang... kamu yang jadi anak perempuan di rumah ini.”

Ucapan itu membuat hati Sri hangat, hampir berkaca-kaca.

Ia tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan mengaduk kuah brongkos yang mulai mengental.

Potongan daging sapi, tahu, dan telur sudah direbus terlebih dahulu, kini mulai menyerap kuah santan berbumbu keluak, lengkuas, dan serai. Warna kuah coklat gelap tampak pekat dan menggoda.

Setelah itu, Ibu mengeluarkan kelapa muda yang sudah didinginkan semalaman.

“Sekarang kita buat es kelapa muda. Buat teman makan siang nanti, biar segar,” ujarnya.

Sri mengiris kelapa dengan hati-hati, menarik seratnya satu per satu, lalu menyendok daging buah yang bening dan lembut ke dalam mangkuk besar.

Ibu menambahkan gula cair yang dimasak sendiri, bukan sirup botolan, serta perasan jeruk nipis dan sedikit daun pandan untuk aroma.

Saat semuanya siap, dapur yang tadinya panas dan riuh kini berubah menjadi tempat yang hangat dalam makna yang sesungguhnya.

Ibu dan Sri duduk sejenak di bangku kayu panjang, menatap hidangan yang telah mereka buat bersama.

Di luar, Grilyanto memperhatikan dari celah jendela. Ia melihat dua perempuan yang ia cintai kini duduk berdampingan, tertawa kecil, mencicipi brongkos dan es kelapa muda buatan mereka sendiri.

Ada rasa lega dalam dadanya, seperti beban yang terangkat pelan-pelan. Dalam diam, ia tahu bahwa hubungan itu bukan hanya tentang cinta antara dirinya dan Sri, tapi juga tentang jembatan yang terbentuk antara masa lalu dan masa depan.

“Mas, sini coba,” panggil Sri dari dapur, menyodorkan sendok brongkos ke arah suaminya yang kini sudah berdiri di ambang pintu.

Grilyanto mencicipinya. “Wah, enak sekali. Ini resep siapa?”

“Resep Ibu,” jawab Sri, tersenyum sambil melirik mertuanya.

Ibu tertawa, suaranya ringan dan bahagia. “Tapi yang masak Sri. Ibu cuma menyaksikan cinta diaduk dalam kuah.”

Hari itu, tak hanya perut yang kenyang, tapi juga hati yang penuh. Brongkos dan es kelapa muda menjadi simbol bahwa Sri telah benar-benar diterima bukan hanya sebagai istri Grilyanto, tapi sebagai bagian dari keluarga. Dan dari dapur kecil di sudut rumah Magelang, cinta itu kini telah matang dengan rasa yang tak akan mudah dilupakan.

Malam itu, langit Magelang bersih tanpa awan, dihiasi bintang-bintang yang tampak lebih terang dari biasanya.

Udara sejuk khas pegunungan menyapa lembut kulit, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan sore tadi.

Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, menebarkan cahaya hangat ke sepanjang jalan yang mereka lewati.

Grilyanto menggenggam tangan Sri, yang berjalan di sampingnya dengan selendang tipis menutupi bahu.

Suasana kota tua yang tenang memberikan rasa damai. Mereka menyusuri trotoar menuju alun-alun kota Magelang tempat yang sejak dulu menjadi ruang berkumpul masyarakat setempat.

Di tengahnya berdiri kokoh pohon beringin besar, dikelilingi oleh bangku-bangku kayu yang dipenuhi pasangan muda dan keluarga yang tertawa kecil.

Sri melirik ke arah Grilyanto. “Tenang sekali kota ini, Mas. Rasanya seperti waktu melambat.”

Grilyanto tersenyum, “Memang begitu rasanya pulang. Di sini semua berjalan dengan sabar.”

Mereka berhenti di sebuah gerobak kecil di pinggir alun-alun. Asap mengepul dari panci besar yang mendidih, membawa harum jahe dan gula merah.

“Wedang ronde, Sri. Khas Magelang. Kamu harus coba.”

Penjual, seorang lelaki paruh baya dengan kain sarung dan jaket lusuh, menyapa mereka ramah.

“Duduk sini saja, Mas-Mbak. Hangatkan badan dulu.”

Mereka duduk di bangku kecil dari kayu, beralaskan tikar plastik tipis.

Dua mangkuk wedang ronde segera disajikan. Air jahe panas berpadu dengan bola-bola ketan berisi kacang, potongan roti tawar, kolang-kaling, dan kacang tanah sangrai.

Sri meniup perlahan sendok pertamanya sebelum menyeruput kuah jahe. Matanya terpejam sejenak.

“Hangat banget... sampai ke dada.”

Grilyanto tertawa kecil, “Wedang ronde itu bukan cuma minuman. Ini pelukan dari Magelang.”

Mereka makan dalam diam yang nyaman. Sesekali terdengar suara anak-anak berlarian, tawa remaja yang berfoto di bawah lampu hias, dan suara musik dangdut dari pengeras suara warung lesehan di ujung alun-alun. Semua bersatu dalam harmoni khas kota kecil.

Setelah mangkuk mereka kosong, Grilyanto mengusap tangan Sri yang mulai dingin.

“Senang kamu bisa melihat kota kelahiranku. Dulu aku sering ke alun-alun ini sama ibu dan saudara-saudaraku. Beli ronde, terus pulang jalan kaki sambil nyanyi-nyanyi.”

Sri memandang wajah suaminya yang tersenyum mengingat masa lalu.

“Sekarang kamu kembali ke sini, bukan sebagai anak kecil, tapi sebagai suami. Dan aku senang bisa ikut berjalan di sampingmu, Mas.”

Grilyanto mencium kening istrinya dengan lembut.

“Terima kasih sudah mau ikut pulang. Kota ini jadi terasa lebih indah karena ada kamu.”

Malam makin larut. Mereka berjalan berdua meninggalkan alun-alun, tangan tetap saling menggenggam, langkah seirama, hati yang penuh.

Di belakang mereka, lampu-lampu alun-alun masih menyala, seperti memberkati kisah cinta yang tumbuh di antara wedang ronde dan angin malam Magelang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!