Hanum Salsabila, seorang dosen cantik harus menerima kenyataan jika ia harus dijodohkan dengan seorang CEO. Ia hanya bisa pasrah dengan ketegasan Halim sang ayah yang membuatnya tidak berdaya.
Ravindra Aditama, CEO yang begitu membenci perjodohan. Ia bersumpah akan mengerjai Hanum sampai ia puas dan pergi meninggalkan negeri ini setelahnya.
Kisah cinta mereka baru saja dimulai, namun Tama harus menerima kenyataan jika Hanum lebih memilih untuk berpisah darinya.
Akankah mereka bisa mempertahankan rumah tangga atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan harap!
Namun Tama tidak menyerah begitu saja, sampai dia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
Semalaman, Tama menggauli Hanum hingga ia benar-benar puas dan membuat sang istri menjadi sangat lemas.
"Itu akibatnya karena ibu telah menolak saya!" ucap Tama lirih di telinga Hanum yang sudah tidak bertenaga lagi.
Ia mencoba bangkit dan menyembunyikan semua kartu dan menutup semua akses agar Hanum tidak keluar dari kamar ini tanpa sepengetahuannya.
"Kau bajingan! Saya membenci Anda Ravindra Aditama!" ucap Hanum lirih sebelum ia tidak sadarkan diri.
"Maafkan aku!" lirih Tama yang sudah tidak terdengar lagi oleh Hanum.
Tama ikut berbaring dan memeluk Hanum hingga siang menjelang. Wajah pucat dan kelelahan mereka terlihat begitu jelas, apa lagi Hanum yang kini tertidur atau memang tidak sadarkan diri.
Hingga bunyi telepon membuat Tama terbangun dari tidurnya. Ia melihat Alifiya menelfon dan melakukan panggilan vidio.
"Kamu ke mana saja? Kalian jadi pulang hari ini atau besok?" tanya Alifiya kesal.
Ia sudah menelfon anak dan menantunya sedari tadi, namun tidak ada yang mengangkat satu sama lain.
"Besok saja, Mom. Nanti telfon lagi ya, aku sangat lelah!" ucap Tama langsung mematikan panggilannya.
Ia menatap Hanum yang terlihat sangat pucat dan mata sembab dan seperti tidak ada darah yang mengalir di sana.
"Bu, bangun! Ibu ayo bangun!" ucap Tama menepuk pipi Hanum dengan lembut.
Hanum tidak menunjukkan pergerakan. Ia memilih untuk membersihkan diri dan menyiapkan pakaian untuk sang istri. Ia juga memesan makanan karena perutnya terasa sangat lapar.
Sebentar, ada rasa sesal yang membalut hatinya. Ia telah memaksa sang istri untuk berhubungan tanpa kelembutan dan terpaksa.
"Hanum, ayo bangun!" ucap Tama lembut sambil mengelus wajah sang istri.
Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun dari tidurnya. Rasa khawatir mulai menyeruak keluar. Tama masih berusaha untuk membangunkan Hanum hingga gadis itu membuka mata.
"Hiks, pergi kau badjingan!" pekik Hanum langsung ketika ia menyadari kejadian semalam.
Tama hanya terdiam melihat Hanum menangis tersedu sambil mengeluh sakit pada tubuhnya. Ia duduk di pinggir ranjang dan mencoba untuk mendekati Hanum.
"Maafkan aku, semalam...," ucap Tama gelagapan.
"Pergilah! Saya tidak ingin melihat wajah anda lagi!" ucap Hanum menepis tangan Tama.
Pria tampan itu hanya terdiam, ia membiarkan Hanum tenang dan menangis sepuasnya. Ia ingin berbicara baik-baik dengan sang istri nanti setelah Hanum lebih tenang.
Sungguh sedari tadi ia sudah memutuskan untuk menerima Hanum dan bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia perbuat.
"Air hangat sudah saya siapkan, makanan juga sudah datang, baju ibu juga sudah saya siapkan. Saya, keluar sebentar," ucap Tama lirih.
Ia meninggalkan Hanum sendiri di dalam kamar untuk membeli beberapa perlengkapan dan juga obat untuk sang istri. Ia tidak tau harus berbuat apa namun, rasa bersalah mulai menghantuinya saat ini
Kenapa aku harus merasa seperti ini, sementara itu adalah hak yang bisa aku dapat kapan saja. Batin Tama menghela napas.
Sementara itu Hanum masih menangis di atas ranjang. Tubuhnya terasa begitu sakit apa lagi pada bagian intinya. Ia mengumpati Tama di dalam hati tanpa henti.
Ya Tuhan kenapa ini sampai terjadi? Apa yang harus aku lakukan sekarang?. Batinnya merasa takut.
Tangisan pilu terdengar begitu menyayat hati. Tama begitu tega memaksanya untuk melakukan hal itu tanpa izin. Apa lagi tidak ada kelembutan dalam setiap sentuhannya, sungguh ia ingin membunuh laki-laki itu sekarang juga.
Sudah cukup lama menangis, Hanum berusaha untuk duduk dan menahan semua rasa sakit ditubuhnya.
Desisan dan ringisan mengiringi langkah kaki wanita cantik itu. Ia berpegangan pada apa saja yang bisa membantunya menuju kamar mandi.
Ia melihat air di dalam bath tube yang sudah terasa dingin. Ia memilih untuk duduk di closet karena tubuhnya terasa sangat sakit dan ngilu, sehingga ia tidak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri.
"Ini laki-laki baik yang ayah maksud? Apa yang dia lakukan di depan ayah, hingga ayah percaya jika dia laki-laki yang baik?" ucap Hanum dengan wajah yang mulai dipenuhi oleh air mata dan amarah.
Ia kini merasa begitu benci dengan Tama. Walaupun itu adalah hak dan kewajibannya sebagai seorang suami, tapi apa yang telah dilakukannya sangat tidak bermoral.
Memaksa istri untuk berhubungan, adalah tindakan yang tidak bisa di anggap wajar. Apa lagi, hubungan mereka dari awal memang sudah tidak baik.
"Mulai hari ini, jangan harap kau bisa melihat senyumku sedikit pun, jangan harap kau bisa melanjutkan hubungan ini dalam jangka waktu yang lama. Jangan harap, aku akan memaafkanmu seumur hidupku!" ucap Hanum penuh dendam.