NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan

Pagi itu sunyi. Tak seperti biasanya. Udara di Kampuang Binuang terasa berat, seolah alam pun tahu bahwa sesuatu yang penting akan segera terjadi.

Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup duduk bersila di bawah pohon asam yang menaungi rumah tua tempat naskah penyegelan ditemukan. Di hadapan mereka terbentang simbol segel yang baru saja disalin Bahri di atas kain putih.

“Ini... bukan sekadar bacaan. Ini perjanjian,” ujar Bahri lirih. “Setiap orang yang melafalkannya, akan diminta satu kenangan yang paling dicintai.”

Ucup garuk kepala. “Gimana kalau kita nggak mau nyerahin kenangan?”

“Kalau tak mau, segelnya tak akan aktif. Dan Palasik akan bebas menyebar ke zaman mana pun ia mau,” jawab Bahri tenang.

Ajo menatap langit. “Kayaknya... gak ada pilihan lain.”

Reno berdiri. “Aku duluan.”

Ia melangkah ke tengah lingkaran. Bahri mulai membaca doa pengantar. Cahaya pelan keluar dari simbol di kain. Reno memejamkan mata.

Dalam benaknya, kenangan-kenangan berkelebatan: ia kecil dipeluk ibunya, tawa ayahnya saat mengajari memancing, aroma masakan rumah...

Tiba-tiba, satu momen berhenti lebih lama dari yang lain—ketika Reno berdiri di depan makam ibunya, hujan turun, dan ia berjanji akan jadi lelaki yang menjaga dunia.

“Aku serahkan... kenangan itu,” bisiknya.

Sinar menyelimuti tubuhnya. Lalu pelan-pelan, rasa hangat itu menghilang. Ia membuka mata, matanya kosong sejenak, lalu kembali sadar.

“Apa yang kau rasakan?” tanya Ajo.

“Rasa... rindu itu hilang. Aku tahu aku sayang ibuku. Tapi ingatan tentang janji itu... menguap.”

Ucup menggigit bibir. “Giliran siapa?”

Ajo melangkah. “Aku.”

Ia mengangkat tangan dan duduk di tengah. Bahri kembali membaca doa.

Kenangan masa kecilnya muncul: tawa bersama kakaknya di sungai, hari pertama masuk sekolah, saat ayahnya membelikannya layang-layang.

Namun kenangan paling kuat—saat ia lari dari rumah karena merasa gagal sebagai anak sulung. Malam ia kembali, ibunya memeluknya erat tanpa kata.

“Aku... relakan kenangan itu.”

Sinar menyelimutinya. Tubuhnya gemetar, lalu tenang.

“Sekarang aku tahu ibuku baik... tapi aku lupa betapa hangat pelukan itu,” katanya pelan.

Kini tinggal Ucup. Ia melangkah ragu.

“Aku gak sekuat kalian. Tapi baiklah...”

Kenangan-kenangan muncul dalam kepalanya: saat pertama kali diajak berkemah oleh almarhum kakeknya, tawa saat memakan kacang goreng buatan nenek, malam-malam mengendap masuk ke dapur bersama saudara sepupu.

Namun yang paling berharga—kenangan saat ia duduk sendiri di ujung bukit, memandangi bintang, sambil memimpikan jadi orang yang bisa bantu banyak orang.

“Aku serahkan kenangan itu. Tapi... bolehkah aku simpan satu butir kacang sebagai pengingat?”

Bahri tersenyum. “Segel tak melarang benda. Hanya kenangan.”

Cahaya menyelimutinya. Tangannya gemetar. Ia membuka mata dengan senyum miris.

“Sekarang aku tahu kenapa aku suka kacang... tapi lupa alasannya.”

Setelah semua pengorbanan dilakukan, simbol segel mulai bersinar terang. Cahaya membentuk lingkaran cahaya yang membumbung ke langit.

“Segel aktif. Kita hanya tinggal menunggu momen yang tepat untuk menutup portal,” kata Bahri.

Reno menatap ke kejauhan. “Kau dengar itu?”

Dari arah hutan, suara bayi menangis kembali terdengar. Tapi kali ini, ada gema aneh... seperti ada ratusan suara bayi tumpang tindih.

“Palasik sudah tahu... bahwa kita mencoba menutup gerbang. Dia tak akan tinggal diam.”

Ucup menggenggam kantong kacangnya erat. “Kalau dia datang... aku siap. Meskipun aku gak ingat kenapa aku mulai suka bertarung.”

Mereka berdiri, menatap hutan yang kembali diselimuti kabut.

Pertarungan belum usai. Tapi kini, mereka sudah punya kunci. Dan harga yang telah mereka bayar... tak mungkin dikembalikan.

Senja turun cepat. Langit di atas Kampuang Binuang berwarna merah tua, seakan terbakar. Warga kampung diminta tetap di dalam rumah. Jendela ditutup rapat, pintu dikunci ganda, dan lampu dipadamkan. Hanya suara alam yang terdengar, sesekali disela dengan lenguh binatang malam.

Di bukit kecil dekat surau tua, Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup berdiri mengelilingi lingkaran segel. Di tengahnya, simbol pengurung memancarkan cahaya samar.

“Ini malam terakhir sebelum gerbang sepenuhnya terbuka,” kata Bahri. “Kita harus siap.”

Ajo duduk bersila, menggenggam parang di lututnya. “Aku cuma berharap... kita bisa selamat semua.”

Reno menatap tajam ke hutan. “Kalau harus ada yang dikorbankan, biar aku saja.”

Ucup menepuk pundaknya. “Eh, jangan langsung main korban-korbanan. Ini bukan sinetron.”

Tiba-tiba, tanah bergetar pelan. Dari dalam hutan terdengar raungan panjang, seperti lolongan ribuan suara yang menyatu. Angin dingin menyusup hingga ke tulang.

“Itu dia...” bisik Bahri.

Kabut menggumpal, perlahan membentuk sosok. Kepala melayang satu per satu, rambutnya menjuntai, matanya merah menyala. Dari bayang-bayang, tubuh-tubuh tak utuh muncul mengikuti.

Palasik datang.

Reno menggenggam kerisnya. Ajo mengangkat parang. Ucup, meski gemetar, berdiri sambil mencengkeram pelita dan kacang terakhir dalam kantongnya.

“Bahri, sekarang?” tanya Ajo.

“Sekarang!”

Bahri mulai melafalkan doa. Suaranya tegas, penuh keyakinan. Simbol segel menyala lebih terang, membentuk lingkaran cahaya yang membesar.

Palasik berteriak, tubuhnya melesat ke arah lingkaran. Reno menangkis satu kepala yang menyambar, mengayunkan keris ke udara.

“Jaga lingkarannya!” teriak Bahri.

Ajo melompat ke sisi lain, menghadang makhluk yang menyerang dari belakang.

Ucup melempar kacang ke arah kepala terbang. “Ambil tuh! Sumber protein!”

Anehnya, salah satu kepala berhenti di udara, mencium kacang itu, lalu menghilang seolah larut dalam asap.

“Ampuh juga...” gumam Ucup.

Tapi sisanya semakin banyak. Mereka mengepung dari semua arah.

Bahri terus membaca mantra. Dari simbol segel, muncul pusaran cahaya yang menyedot udara. Kepala-kepala Palasik mulai tertarik ke dalamnya, tubuh-tubuh tak utuh meraung kesakitan.

Tiba-tiba, sosok berjubah merah muncul di atas batu besar. Wajahnya masih tak terlihat, tapi dari sorotan matanya, tampak kekuatan yang lebih tua dari Palasik itu sendiri.

“Aku penjaga waktu... kalian tak bisa menghapus warisan darah begitu saja,” suaranya berat dan bergema.

Bahri terdiam sejenak. “Kau bukan bagian dari dunia ini!”

“Aku bagian dari sejarah. Dan sejarah... tak bisa dihapus.”

Tangan sosok itu terangkat. Segel mulai retak.

Reno maju, menusukkan keris ke tanah. “Kalau kau bagian sejarah... maka biarkan kami tulis halaman baru!”

Cahaya dari keris menyatu dengan simbol segel. Retakan berhenti, lalu kembali menyatu. Doa Bahri mencapai puncaknya. Pusaran cahaya menjadi bola terang yang menyilaukan.

Satu per satu, Palasik terserap. Kepala terakhir menjerit nyaring sebelum menghilang dalam dentuman cahaya.

Sosok berjubah merah bergetar. “Kalian... menang kali ini. Tapi waktu... tak pernah berhenti berputar.” Ia menghilang dalam semburat bayangan.

Sunyi.

Semua makhluk menghilang. Lingkaran segel padam perlahan. Malam terasa hening, seolah alam baru saja menutup luka lama.

Bahri terduduk. “Kita berhasil.”

Reno tersenyum lelah. “Tapi... kenangan itu masih hilang.”

Ajo menepuk pundaknya. “Kenangan hilang... tapi sejarah baru sudah dimulai.”

Ucup duduk dan mengeluarkan satu kacang terakhir dari saku dalam bajunya. “Aku simpan satu. Buat ingat kalau hidup ini kadang bisa gila... tapi kita tetap jalan.”

Mereka tertawa kecil di bawah langit malam. Dan di balik awan yang tersisa, cahaya bulan purnama mengintip pelan, menyaksikan akhir dari sebuah malam yang terbelah.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!