NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16

Pandangan Artha bertemu dengan Naira. Keduanya saling melempar senyum. Thalita yang menyaksikan hal itu meradang. Bisa-bisanya dalam pertandingan Naira malah mencuri pandang ke arah Artha, mencoba tebar pesona hanya dengan kemampuan yang minimalis itu. Merasa tidak senang serta rasa cemburu yang sudah di ubun-ubun, saat ada kesempatan Thalita memukul keras bola itu. Bukan mendaratkan pada bidang kosong, melainkan tepat mengenai kening Naira.

"Aaaaghh!" Naira terjatuh, memegangi kepalanya yang terasa pusing dan sakit.

Beberapa anak tertawa, termasuk Thalita dan Sinta. Juga beberapa tim Naira. Sepertinya mereka sudah terbiasa melihat Naira sengsara, menjadi bahan tertawaan.

"Hai, diam!" tegur Pak Taufik.

"Naira, keluar lapangan. Kamu masuk!" Pak Taufik memangil teman Naira yang lain untuk menggantikan.

Naira mengangguk. Telapak tangan masih mengusap-usap dahinya seraya berjalan keluar lapangan. Di luar dugaan, Artha juga keluar dari permainan, meminta Pak Taufik mengganti dengan pemain lain. Mengingat banyaknya angka yang sudah dicetak Artha, membuat izin lelaki itu disetujui, membiarkan murid lain menggantikan

posisinya.

"Lo nggak papa?" Artha menghampiri Naira yang duduk pada kursi berbahan semen yang sengaja diletakakan di sekitar lapangan, sembari menutupi keningnya.

"Agak keliyengan, sih!" Mata Naira tampak berkaca-kaca, lalu beberapa kali mengerjap. Pusingnya masih sangat terasa.

Artha duduk di sana, bersebelahan dan mengarahkan tubuhnya berhadapan dengan Naira. Tangannya menurunkan tangan Naira, memeriksa kondisi kening gadis itu. Memarnya cukup parah. Apalagi tadi pagi Naira sempat terbentur pintu kamar.

"Lo apes banget, sih!" kata Artha sembari terkekeh.

Thalita yang baru melihat Artha berada di luar lapangan merasa tidak terima. Apalagi saat ini lelaki itu sedang berduaan dengan Naira, gadis bodoh yang malah terlihat sebagai saingan beratnya.

"Menyebalkan sekali." Thalita mencibir dengan membanting bola. Padahal tadinya hanya ingin memberi pelajaran pada Naira agar tidak genit pada Artha. Namun, sekarang malah Naira dan Artha menajdi semakin dekat.

"Heem, kalau lo ke sini cuma ingin ngeledek, mending pergi aja, deh!"

"Bentar. Ayo, ikut gue!" Artha menarik tangan Naira, mengajak gadis itu pergi dari lapangan. Tentu saja pemandangan yang manis itu tak lepas dari perhatian Thalita. Dia hanya bisa mengumpat akan sikap manis yang Artha tunjukkan pada Naira. Hingga dirinya sendiri tak bisa berkonsentrasi dengan pertandingan. Sebuah bola yang mengarah padanya tak dihiraukan, hingga akhirnya terbang dan jatuh tepat mengenai kepalanya.

"Auuh!" Thalita melenguh kesakitan.

"Woy, kalau main hati-hati!" teriaknya marah.

"Sorry, Lit! Enggak sengaja. Lagian lo tanding bengong mulu." Thalita melotot kesal. Kepalanya terasa pusing.

Ingin mencari perhatian Artha, tetapi cowok itu sudah pergi entah ke mana. Nasib, nasib.

Sementara itu, tangan Naira masih digandeng oleh Artha. Dia mengajak Naira untuk ke UKS, memeriksa kondisi memar pada kening gadis itu. Tiada dokter penjaga karena ini hanyalah sekolah negeri biasa. Bukan sekolah elite seperti di mana Artha dulu berada.

"Kok nggak ada orang?" kata Artha yang tampak bingung dengan kondisi Unit Kesehatan di sekolahnya yang baru.

"Lo nyari siapa?" Naira duduk di ranjang sembari mempertahankan tangan kirinya menyentuh kening yang memar.

"Dokter."

Naira tertawa. "Lo kalau nyari dokter ke rumah sakit, bukan di sekolah."

"Lalu, siapa yang bakal ngerawat lo?" Artha tampak bingung.

"Nggak ada. Sudahlah, ini juga bakal baik sendiri. Cukup dikompres air dingin memarnya akan hilang." Naira hendak turun dari ranjang. Namun, Artha menahannya.

"Berhenti di sana!" Naira tak bergerak. Matanya tertuju pada Artha yang sedang menatapnya tanpa berkedip.

"Gue yang ngerawat luka lo."

"Apa?"

"Diam di sana. Gue bakal balik," perintah Artha tegas.

Naira menatap punggung yang baru saja keluar dari ruang UKS. Entah apa yang akan Artha lakukan, Naira hanya diperintahkan menunggu sampai lelaki itu kembali datang.

Kening Naira masih berdenyut. Kepentuk pintu tadi pagi sakitnya belum hilang. Ditambah lagi terkena bola kencang yang dilemparkan oleh Thalita. Bukan Naira tak pernah menghadang bola seperti itu, tetapi saat dia belum sepenuhnya siap, Thalita sudah melakukan jumping serve yang seharusnya mengarah pada bidang kosong, malah mengenai kepalanya.

Hanya beberapa menit saja menunggu, Artha sudah kembali dengan membawa kain dan es balok yang sudah dipotong kecil-kecil dalam sebuah plastik.

"Lo dapat dari mana?" Naira bertanya ketika Artha meletakkan barang-barang tersebut di atas meja kecil samping ranjang. Kain segi empat itu dibentangkan di atas meja, lalu meletakkan es batu yang dibungkus oleh plastik, lantas membalutnya menggunan kain tersebut.

Kini, pandangannya mengarah pada pada Naira yang masih mengusap-usap keningnya. Artha turut duduk di atas ranjang, bersebelahan dengan gadis itu.

"Singkirkan tangan lo!" kata Artha memerintah.

Saat tangan Naira menyingkir dari sana, tampaklah benjolan di kening yang sudah membiru. Perlahan kain yang sudah diisi es itu disapukan pada kening Naira. Mata Artha tak beralih pada benjolan itu, sesekali mengembuskan uap hangat dan sejuk pada bibirnya, meniup memar tersebut, dan mengompresnya.

"Ta!" Naira merasa canggung diperlakukan seperti itu. Apalagi tatapan Artha yang begitu intens pada keningnya membuat Naira salah tingkah. Lelaki itu terlihat tampan dengan pesonanya.

"Hemm!" Artha hanya menjawab dengan deheman. Sebelum Naira menjelaskan hal yang hendak diprotesnya, Artha melanjutkan kalimatnya.

"Diamlah! Lo nggak perlu mikir macem-macem tentang gue. Ini semua terkait tugas Nyokap buat ngelindungi lo. Gue hanya pengen ngerjain apa yang Nyokap suruh."

Mendengar serentetan penjelasan Artha membuat Naira tak berani memikirkan hal lain. Ya, mana mungkin Artha dengan sengaja mau merawatnya kalau bukan karena campur tangan perintah sang ibu mertua. Bahkan, Artha

mengatakan jika Naira sama sekali bukan tipenya.

"Gue tahu. Lo nggak perlu jelasin apa pun. Di antara kita nggak boleh ada yang baper. Iya, kan? Semua hanya terkait sandiwara. Dan kita enggak tahu kapan sandiwara ini akan berakhir."

"Sandiwara?" Artha mengulang perkataan Naira.

"Siapa yang bersandiwara?"

"Kita," jawab Naira cepat.

Artha menurunkan kain yang berisi potongan es batu itu dengan pandangan tak beralih pada sosok di depannya.

"Gue enggak pernah bersandiwara. Gue nggak suka kepura-puran. Jadi, apa yang selama ini gue lakuin ke lo itu murni."

"Murni? Murni apa?"

"Murni kalau gue sebenarnya ...." Kalimat Artha menggantung.

Kelopak mata Naira mengerjap, begitu penasaran dengan kalimat lanjutan yang ingin Artha katakan.

"Lo sebenarnya ...." Naira sampai menirukan kalimat terakhir Artha.

"Gue ...." Detik jam yang sedang menempel di dinding terdengar mendebarkan. Sama seperti apa yang saat ini Naira rasakan. Entah mengapa ditatap Artha seperti itu dengan kata demi kata yang diucapkan sepotong demi sepotong membuat Naira menerka-nerka akan apa yang ingin Artha sampaikan.

Hingga jarak wajah mereka begitu dekat. Artha seakan tak kunjung melanjutkan kalimatnya, membuat Naira masih menatap lekat lelaki itu.

"Gue apa, Ta?" tanya Naira yang mulai kesal. Tampaknya kesabaran gadis itu semakin lama makin habis.

"Lo bisa enggak sih seriusan dikit?"

“Gue laper!" kata Artha tanpa dosa,

"Cih!" Naira memukul Bahu Artha, menangkap wajah tampan itu dengan telapak tangannya agar menjauh.

"Lo bener-bener, ya!"

Artha terkekeh pelan. "Lo maunya gue ngomong apa? Ngungkapin cinta?"

"Ya, mungkin saja. Siapa tahu lo ternyata diam-diam mendam perasaan ke gue. Iya, kan? Siapa yang tahu?" Naira berkata dengan sangat percaya diri. Walaupun dalam hati merasa mual mengatakannya karena diangap terlalu over confidence mengingat dirinya hanyalah gadis miskin tanpa prestasi. Sementara Artha? Sangat wajar jika banyak siswa yang sangat mengagumi lelaki itu. Termasuk dirinya.

"Mungkin saja. Tapi nunggu kalender merah semua." Artha tertawa, tetapi Naira hanya tersenyum tipis.

"Apa pun itu. Gue mau makasih sama lo. Apa yang udah Io lakuin udah ngebuat gue tersentuh. Makasih," ucap Naira tulus.

Artha hanya mengangguk menanggapi. Dipuji Naira seperti itu rasanya aneh. Adanya setiap hari mereka bertengkar. Adu mulut. Kalau saat rukun seperti ini malah membuat canggung.

“Lo udah lebih baik, kan? Gue keluar dulu."

"Heem. Pergilah! Gue udah nggak papah. Thanks, atas bantuan lo."

Artha memberikan kain berisi potongan es batu itu pada Naira.

"Lanjutin kompres pake ini. Oh, ya, gue agak siangan pulang. Lo bisa nunggu di kantin atau dalem kelas. Entar gue hubungi lo kalau udah waktunya pulang. Ngerti?"

Naira menerima kain itu, lalu mengulangi gerakan tangannya sambil menekan-nekannya pada kening yang dianggap memar. Dia mengangguk kemudian.

"Okey!"

"Bagus."

Itu adalah percakapan terakhir yang Artha lakukan pada Naira sebelum lelaki itu keluar dari ruang UKS. Tanpa keduanya sadari, sejak tadi ada seseorang yang mengintip kegiatan mereka. Kepalanya mengangguk-angguk, lantas berlalu setelah Artha keluar dari sana.

****

Siangnya ketika waktu sekolah telah usai, Naira membereskan perlengkapan belajarnya di atas meja, dimasukkan ke dalam tas. Seperti kebiasaan sehari-hari, sebelum pulang Naira menyempatkan diri ke toilet. Berhubung Artha mengatakan menyuruhnya menunggu karena lelaki itu ada urusan, membuat Naira tak terburu-buru melakukannya.

"Tumben toilet ramai!" Naira melihat antrean yang tak sedikit. Toilet yang letaknya paling dekat dengan kelasnya ternyata penuh antrean. Naira menghela napas, mungkin ke toilet yang ada di belakang sekolah bisa menjadi alternatif, yaitu toilet wanita dekat dengan ruang ganti. Terletak bersebelahan dengan lapangan basket yang berada di gedung sekolah mengharuskan Naira berjalan lebih jauh. Namun, itu tak jadi masalah karena dia sudah telanjur ingin segera buang air kecil.

Melihat toilet yang dituju sepi, Naira segera masuk ke dalam. Hanya ada satu bilik toilet yang terkunci. Itu berarti ada orang lain di sekitar sini yang sedang menggunakan toilet. Baru saja Naira masuk, menyelesaikan buang hajat sehingga merasa lega. Dia terkejut saat ada suara seseorang tengah mengunci dari luar.

Setiap toilet memang memiliki kunci pada bagian luarnya, yaitu sejenis terali besi. Sementara bilik-bilik toilet hanya bisa dikunci dari dalam. Terdengar suara cekikikan anak-anak dan kaki berbalut sepatu yang sedang berlari. Naira segera membenarkan seragamnya kembali setelah mencuci bekas kotoran. Pintu bilik toilet dibuka, dan benar saja. Bagian depan pintu masuk ke toilet wanita telah ditutup dan digembok dari luar.

Naira menggebrak-gebrak terali besi tersebut, berharap suaranya terdengar dari luar. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi karena suasana sudah teramat sepi.

"Tolong! Buka pintunya. Gue masih di dalem." Suara Naira tertelan angin. Tiada yang mendengar teriakannya. Apalagi lokasi toilet terlalu jauh dari jangkauan tempat di mana anak-anak tim voli pria sedang mengadakan rapat dadakan.

Sebuah pesan masuk menggetarkan ponsel Artha. Dia merogoh saku celana, lantas melihat pesan yang baru saja mengalihkan perhatiannya dari informasi yang Pak Taufik berikan.

"Artha, gue pulang dulu. Ada urusan mendadak." Kening Artha mengernyit. Urusan apa yang Naira kerjakan tanpa sepengetahuannya?

"Tunggu gue! Bentar lagi selesai."

Namun, tiada balasan setelahnya. Artha izin sebentar kepada Pak Taufik untuk menghubungi Naira, tetapi tak kunjung diangkat. Mencoba sampai tiga kali, panggilannya pun diabaikan.

"Mau lo apa sih, Nai? Gue nyuruh nunggu bentar juga!" kata Artha kesal. Dia kembali ke kelompok, mendengar Pak Taufik sedang membicarakan hal-hal terkait rencana latihan sebelum pertandingan sesungguhnya dilaksanakan.

"Okey, mulai hari Minggu depan, kita mulai lagi latihannya." Pak Taufik mengakhiri sesi ceramah panjangnya.

Semua siswa bubar saat itu juga. Artha mengenakan jaket, bersiap pulang tanpa lagi menunggu Naira. Mungkin dia akan memarahi gadis itu nanti agar tak lagi berbuat hal seperti itu. Bagaimanapun, Naira saat ini adalah tanggung

jawabnya.

Ketika berada di parkiran motor, ternyata Thalita sudah menanti. Gadis berkulit seputih susu itu tersenyum sangat manis pada Artha.

"Ta, gue nebeng lo, ya?" katanya memberanikan diri.

Artha menghentikan langkah, menoleh pada Thalita yang tampak sangat berharap diberi tumpangan.

"Motor lo ke mana?" tanya Artha curiga.

"Gue nggak bawa motor. Tadi pagi gue dianter sopir. Sekarang sopir gue enggak jemput-jemput. Lo lihat sendiri kan di sekolah udah sepi. Gue nebeng lo, ya?" pintanya tidak tahu malu.

"Ya udah. Tungguin." Artha berlalu mengambil motornya. Tidak seperti Naira yang tetap menunggu di tempat sampai Artha keluar dari parkiran, Thalita malah ikut nyelonong bersama Artha. Dia menemani Artha mengambil motor. Semua dilakukan karena takut ditinggal oleh pria itu. Padahal, Artha sendiri bukanlah pria yang suka berbohong.

"Lo ngapain buntutin gue?"

Thalita yang sengaja disindir tak pernah merasa bersalah.

"Nggak apa. Gue cuma mau nemenin lo."

Artha hanya diam. Dia sendiri masih malas bicara. Pikirannya sebenarnya masih tertuju pada Naira. Tidak biasanya gadis itu mendadak pulang sendiri. Apalagi sampai mengabaikan panggilan teleponnya. Mengingat tadi pagi sempat cedera di kening, hal itu juga membuat Artha sedikit cemas. Namun, dia masih mencoba berpikir positif.

Artha mengangsurkan helm Naira pada Thalita. Tampak ragu Thalita menerima. Sebenarnya enggan memakai barang bekas Naira. Tapi demi bisa jalan sama Artha, apa sih yang enggak?

Thalita berakhir menerima helm tersebut, lalu mengenakannya. Saat Artha mulai menyalakan mesin motor, tanpa diminta Thalita sudah ikut naik. Artha hanya menggelengkan kepala melihat tingkah teman satu kelasnya itu. Hingga motor melaju keluar parkiran, masih berada di lingkungan sekolah dengan tak tahu malu Thalita memeluk

punggung Artha erat.

Rasanya seperti mimpi memeluk punggung yang sudah lama menjadi incarannya. Ah, dia menjadi iri pada keberuntungan Naira. Jika dengan penderitaan dan bullyan bisa membuat Artha dekat dengannya, pasti Thalita akan mencari cara, melakukan drama agar dia menjadi korban pembullyan supaya Artha menolongnya.

Ah, benar-benar Artha seperti pangeran berkuda putih.

"Di mana rumah lo?" tanya Artha di tengah perjalanan.

Thalita yang masih asik dengan mendekap tubuh Artha tak terlalu mendengar. Dia hanya memejamkan mata seraya tersenyum di balik punggung kekar Artha.

"Lit, lo budeg, ya?" Suara Artha meninggi, berusaha menyadarkan Thalita yang entah pikirannya mengarah ke mana. Bisa-bisanya gadis itu malah bengong saat berada di jalan.

"Eh, anu." Sontak Thalita menjadi gelagapan.

"Lo lurus aja. Rumah gue deket jalan Sultan Hassanudin. Nanti ada perumahan paling ujung, lo belok aja."

"Oh!" Hanya satu kata itu tanggapan Artha. Dia melanjutkan perjalanan dengan lebih cepat berharap segera sampai dan terbebas dari pelukan Thalita itu.

Artha juga tidak tahu mengapa begitu risih saat dipeluk oleh Thalita. Padahal Thalita adalah bintang sekolah. Cantik dan juga cerdas. Paket lengkap. Tapi yang ada Artha malah muak. Entahlah, mungkin karena sejak awal Thalita sudah membuat Artha ilfeel sehingga yang ditangkap hanya sisi negatifnya saja.

Berbeda dengan Thalita. Diajak ngebut gini dia sedang membayangkan diajak balapan oleh ketua geng motor. Dia sebagai kekasih sang ketua selalu dieluh-eluhkan banyak pria tampan, juga disegani oleh banyak orang. Mimpi yang indah.

Namun, berkat kecepatan dan ketangkasan Artha mengendarai motor, mereka lebih cepat sampai ke

perumahan yang dituju.

"Rumah lo yang mana?" Artha menghentikan motor tanpa mematikan mesinnya, menoleh ke belakang di mana Thalita baru tersadar karena sudah sampai. Seharusnya kebersamaan ini janganlah cepat berlalu.

"Itu yang cat biru. Yang paling gede!" Berharap Artha akan terpukau. Namun, Thalita salah sasaran. Rumah Artha jauh lebih gede dan mewah dari rumah Thalita.

Artha mengantarkan Thalita tepat di depan pagar besi menjulang. Dengan berat hati Thalita turun dari motor Artha. Padahal dia masih ingin berkeliling bersama cowok paling tampan di sekolah.

"Thanks atas tumpangannya. Masuk, yuk! Gue buatin minum," kata Thalita mencoba menahan Artha supaya lebih lama berduaan.

"Lain kali aja. Gue lagi ada perlu."

"Oh, lain kali kapan? Gue akan nyiapin sesuatu sebelum lo dateng."

"Apa?" Padahal Artha bukan berniat bertamu ke rumah Thalita. Hanya ingin menolak ajakan dengan bahasa lebih sopan.

"Iya. Lo mau dateng kapan? Gue juga mau kalau lo ngajak keliling pake motor berdua."

Thalita malah baper. Artha menghela napas dalam, lalu berkata pada Thalita tegas.

"Gue cabut dulu. Bye!" Tanpa memberi penjelasan, Artha langsung membelokkan motornya setelah meletakkan helm Naira pada stang motor miliknya.

Thalita yang tiba-tiba ditinggal oleh Arthan merasa kesal, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

"Gue yakin bakal bisa ngedapetin lo, Ta!" ucapnya penuh percaya diri.

****

Artha tak pulang ke rumah Naira. Setelah berganti pakaian dan makan siang, dia memeriksa ponselnya. Tiada panggilan dari Naira atau sekadar sebuah pesan.

Artha menjadi kesal sendiri. Lelaki itu tidak mengerti mengapa tiada kabar dari Naira membuatnya seperti orang sedang kebingungan. Seharusnya dia merasa bodoh amat karena ini kemauan Naira sendiri. Namun, hal itu malah membuatnya kepikiran.

"Ta, ngumpul, yook!" Pesan dari Julian malah masuk tanpa ditunggu. Berlanjut pesan kedua, ketiga, dan seterusnya yang mengatakan bahwa semua anak sudah berada di basecamp.

Merasa bosan karena tidak ada yang diajak bertengkar, membuat Artha memilih untuk datang ke sana.

Sebuah bangunan yang didesain dengan gaya anak muda banget. Penuh coretan grafitti, tampak indah dan menunjukkan semangat berapi-api, bukan seperti vandalisme yang tidak memiliki seni, menjadi lokasi basecamp anak-anak anggota geng Mahattan. Tidak hanya anggota inti, seperti Artha, Mahesa, Dirga, Julian, dan Nizan. Melainkan anggota-anggota lain yang merupakan murid-murid dari SMA Pradipta.

Artha turun dari motor, mengenakan jaket jeans dan celana berbahan sama. Helm diletakkan di atas motor begitu saja. Tiada yang akan berani mengambil helm seharga puluhan juta itu. Apalagi tersemat nama Artha di sana.

"Akhirnya lo bisa dateng. Sesibuk apa di sekolah baru sampai-sampai membuat Artha si pembolos profesional menjadi murid berprestasi?" tanya Julian menggoda sembari meletakkan minuman di meja dekat tempat duduk Artha.

"Gue malas liat muka lo!"

Mengambil salah satu soft drink, menarik penutupnya, lalu menenggak isinya hingga tersisa separuh.

Julian terkekeh. Sudah biasa mendengar mulut pedas Artha. Kadang-kadang dia merasa rindu juga.

"Kemarin Mesa kemari. Nyariin lo!" Artha menurunkan kaleng soft drinkitu, menatap Dirga yang turut nyelonong setelah kedatangan Artha.

"Kayaknya dia pengen ngedeketin lo, deh? Ciee, gayung bersambut!"

"Gue nggak tahu. Perasaan gue masih sama atau enggak." Artha meletakkan kaleng soft drink ke meja. Matanya menatap kaleng itu sambil menggoyang-goyangkan dengan iseng.

"Gue merasa dia aneh."

"Lo jatuh cinta sama cewek lain?" Julian mempertanyakan keanehan seorang Artha. Padahal sebelumnya hanya mendengar nama Mesa, Artha sudah salah tingkah. Namun, kali ini berbeda.

"Menurut lo? Gue bisa jatuh cinta?"

"Setiap manusia yang masih memiliki hati pasti bisa ngerasain cinta, Ta! Dan itu manusiawi. Emang lo benda mati yang enggak pernah ngerasain cinta?" Julian berkata sambil terkekeh.

“Lo bilang kayak gini seakan lo pernah jatuh cinta aja."

Biasanya Julian mengelak, berkata sombong jika dia tak akan jatuh cinta. Tapi pasti setiap cewek akan memohon-mohon untuk menjadi kekasihnya.

Namun, apa yang Artha katakan malah membuat wajah Julian memerah.

"Hati dia sedang berbunga-bunga. Lihat aja sejak tadi senyum-senyum gitu." Mahesa menimpali.

"Gue suka sama satu cewek. Dan ini konyol banget. Lo semua nggak bakal nyangka akan apa yang udah gue rasain." Julian berkata sok bijaksana. Sementara itu, Artha hanya mengamati dengan satu gerakan alis terangkat. Lalu, bibirnya kembali menenggak softdrinkyang masih tersisa.

"Gue suka sama temen lo!" kata Julian tanpa berniat menutup-nutupi sembari mengarahkan pandangan ke arah

Artha.

"Naira!"

Sontak cairan softdrinkyang sempat Artha minum disemburkan dari mulut, mengenai wajah Julian dan Mahesa. Dia amat terkejut dengan apa yang Julian katakan.

"Eh, busyet! Gila lo pake nyembur segala. Kayak dukun aja lo?" celetuk Mahesa sembari mengusap wajah menggunakan tisu.

"Apa? Lo suka sama Naira?" tanya Artha tanpa peduli kalimat protes yang dilayangkan teman-temannya.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!