Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah!
Inaya yang tidur Tengah malam masih bisa bangun tepat waktu. Saat akan mengambil wudhu, Inaya merasakan aliran hangat di pangkal pahanya.
“Ibu!” panggil Inaya dari dalam bilik kamar mandi.
“Ada apa?”
“Aku haid, Bu. Bisa minta tolong ambilkan pembalut dan celana baru?” cicit Inaya yang mengeluarkan kepalanya dari balik pintu.
“Tunggu sebentar!”
Tak lama kemudian, Ranti kembali dengan permintaan Inaya. Ternyata seseorang ada yang melihatnya dan segera saja kabar itu tersebar. Anggapan Inaya yang hamil duluan terpatahkan dengan adanya kabar Inaya yang datang bulan pagi ini.
Sekembalinya Inaya dari kamar mandi, Sri sudah menunggunya di kamar dengan peralatan makeup lengkap. Sri meminta Inaya melepaskan pakaiannya dan hanya menyisakan dalamannya. Ia meminta Inaya menggunakan sarung untuk menutupi tubuhnya dan memintanya berbaring.
Pekerjaan Sri sebagai dukun manten dimulai dari mengerik sinom dan alis, kemudian lanjut makeup. Inaya yang begadang sampai tertidur dibuatnya. Sri membangunkan Inaya saat proses makeup telah selesai satu jam kemudian.
Setelah selesai mengenakan kebaya putih yang tertutup, Sri menambahkan sanggul yang terbuat dari daun pandan di kepala Inaya dan menutupnya dengan hijab, disusul menancapkan cunduk mentul, centhung, gunungan dan rakitan bunga Melati layaknya pengantin adat Jawa. Yang membedakannya, Inaya tidak menggunakan paes.
“Ambil foto sebentar sebelum pengantin laki-laki dan penghulu datang!” kata Sri.
“Iya, Mbak.” Inaya menurut dan bergaya seperti yang diarahkan tukang foto yang sudah menyiapkan backgrounddi dekat meja akad.
Sementara itu, rombongan keluarga Weko yang sudah sampai dan singgah di rumah Budhe Inaya, juga sedang di rias oleh asisten Sri.
“Penghulu sudah datang, mari jalan ke rumah Inaya.” Ajak Agung, suami Sri.
Rombongan keluarga Weko berjalan mengikuti Agung menuju rumah Inaya. Segera mereka diarahkan untuk duduk dan Weko duduk di depan penghulu dengan saksi di kanan dan kirinya, disusul Inaya yang diantarkan Sri. Setelah memasangkan penutup kepala di kedua kepala pengantin, Sri duduk bersama Ranti.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Inaya Nadira binti Prawirokoyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 5 gram, dibayar tunai!”
“Bagaimana para saksi?”
“Sah!”
“Alhamdulillah..”
Setelah prosesi akad selesai, Sri mengajak kedua mempelai untuk mengganti pakaian mereka menjadi warna hitam lalu mengarahkan keduanya untuk melaksanakan serangkaian adat pernikahan.
Mulai dari “temu manten” dan menyerahkan seserahan yang seharusnya diserahkan di malam midodareni, juga saling tukar “kembang mayang” yang menandakan pengantin melepas masa lajang mereka.
Lanjut ke prosesi “balangan gantal” dengan melempar lintingan sirih. Weko diarahkan untuk melempar ke arah dada yang berarti ia telah memiliki kekasih hati dan Inaya ke arah lutut sebagai tanda bakti kepada suami.
Sri menyiapkan nampan berisi Bungan dengan satu butir telur yang dibungkus plastikdi bawah kaki Weko dan mengarahkannya untuk menginjak telur tersebut yang kemudian kakinya akan dibasuh oleh Inaya. Proses ini disebut “ngidak endhog” yang bermakna harapan mendapatkan keturunan dan bakti serta kasih sayang kepada suami.
Ranti disimbolkan sedang menggendong kedua pengantin menuju pelaminan, yang disebut dengan “sinduran”. Symbol ini bermakna orang tua yang memberi dan menunjukkan semangat menjalani hidup yang baik ke depannya.
Sri memberikan sebuah kain yang berisi beras kuning dan koin kepada Weko dan kain kosong kepada Inaya, kemudian meminta Weko menuangkannya di kain Inaya.
Proses “kacar-kucur” ini melambangkan suami sebagai pemberi nafkah yang dilanjutkan dengan “dulangan”, yaitu saling menyuapi dengan harapan saling merawat satu sama lain dalam kehidupan rumah tangga.
Proses adat pernikahan terakhir, yaitu “sungkeman”. Kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua sebagai permohonan restu dan doa agar pernikahan dapat diberkahi dan berjalan dengan lancar.
“Kenapa, Dek?” tanya Weko dengan berbisik.
“Pegel.”
“Apa acaranya masih lama?”
“Sepertinya.”
“Nanti aku pijitin kalau sudah selesai.” Inaya hanya mengangguk karena mereka saat ini sedang menerima tamu dan juga berfoto dengan keluarga.
Acara selesai tepat pukul 11 siang. Mereka diberikan waktu istirahat sampai pukul 2 siang sebelum mereka kembali dipajang di pelaminan karena di tempat Inaya, acara pernikahan bisa sampai malam.
“Mana yang pegel?” tanya Weko setelah keduanya mengantar keluarga Weko pulang.
“Aku mau tidur saja, Mas. Ngantuk.”
Tidak hanya mengantuk, Inaya juga merasa tidak nyaman di perut bagian bawahnya karena baru hari pertama datang bulan.
“Baiklah!”
Inaya tidur memunggungi Weko. Tidak terima, Weko memutar tubuh Inaya agar menghadap ke arahnya. Inaya yang sudah tidak memiliki tenaga hanya menurut. Bahkan ia tidak sadar kalau kepalanya berbantal lengan Weko.
Sampai saat Inaya terbangun karena suara alarm, ia hampir memekik Ketika sadar Weko memeluknya.
“Mas, sudah jam 2.” Cicit Inaya.
“Hmmm.. Tidakkah kurang lama istirahatnya?” tanya Weo yang belum membuka mata.
“Tok.. Tok.. Tok..”
Pintu kamar Inaya diketuk, membuat keduanya saling melepaskan diri. Inaya buru-buru mengenakan hijabnya dan membukakan pintu.
“Segera mandi, Na! Nanti makeup lagi.” kata Sri.
“Iya, Mbak.” Inaya masuk ke dalam kamar dan mengambil pakaian ganti.
Selesai mandi, Weko masih menunggunya.
“Mas mandi juga.” Inaya menyerahkan handuk baru kepada Weko.
Weko mengangguk dan mengambil pakaian ganti dari dalam tasnya. Inaya mengantar Weko sampai di depan kamar mandi dan kembali ke kamar untuk makeup.
Kali ini Inaya mengenakan pakaian warna biru satu set dengan Weko. Keduanya keluar dari kamar dan kembali duduk di pelaminan. Tamu kembali menyalami mereka sampai pukul 6 sore, keduanya baru sempat makan.
“Terima kasih, Mbak.” Ucap Inaya kepada Gina yang mengantar makanan untuknya dan Weko.
“Sama-sama. Habis ini kalian ganti pakaian biasa saja, malam nanti mungkin teman-temanmu akan datang.”
“Aku tidak menyebar undangan untuk mereka, Mbak. Aku hanya mempostingnya di sosial mediaku. Kemungkinan hanya beberapa yang datang.”
“Tetap saja. Lebih nyaman menyambut mereka dengan pakaian biasa, kamu lebih bebas bergerak.”
Benar yang dikatakan Gina, Inaya tidak bebas bergerak karena dirinya mengenakan jarik dan korset. Ia bahkan sampai tidak bisa merasakan nyeri perut bagian bawahnya.
Setelah maghrib, Inaya menganjak Weko menemui beberapa temannya yang datang termasuk teman-teman koperasinya yang sudah mengenal Weko.
Acara selesai sekitar pukul 9 malam, tetapi Inaya dan Weko baru bisa membersihkan diri dan masuk ke kamar pukul 11 malam.
“Dek!” panggil Weko sedikit ragu.
“Iya, Mas?”
“Apa..” Weko menggantung kalimatnya.
“Maaf, Mas. Aku baru mendapatkan tamu bulananku pagi ini.” Kata Inaya yang mengerti jika ini adalah malam pertama mereka.
Weko tidak merasa kecewa. Ia memeluk tubuh Inaya yang selama ini ia damba dan meresapi kehangatannya. Mereka sudah resmi menikah dan halal bagi mereka untuk bersentuhan. Walaupun mereka tidak bisa menikmati malam pertama, masih ada waktu lain untuk menikmatinya.
Keduanya merebahkan tubuh dengan tetap saling memeluk. Weko memberanikan diri mengecup bibir Inaya yang mana membuat si empunya menegang. Setelah merasa cukup, Weko melepaskan pelukannya dan mengajak Inaya untuk memejamkan mata.
Tanpa mereka sadari, ada yang kecewa karena tidak bisa menyaksikan malam pertama keduanya.
.
.
.
.
.
Disclaimer: Adat dan istiadat setiap daerah berbeda!