Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Senja yang pecah.
Mata Cloe dan Izen saling bertemu, ini pertama kalinya mereka melihat satu sama lain. Sintia benar, Izen tampan. Pria itu memiliki postur lembut dan dewasa, semakin menambah penyesalan sebab telah melarikan diri waktu itu.
Andaikan saja dia tinggal lebih lama, memberikan kesempatan bagi Mala untuk menjelaskan, maka drama memuakkan menjadi orang ketiga tidak akan berperan dalam hidupnya.
Sintia berdiri. “Pas banget. Aku tinggal ya.” Tanpa banyak basa-basi, dia menghilang, membiarkan mereka berdua di bawah langit biru.
Cloe meneguk ludah. Jantungnya berdetak makin cepat.
“Aku dengar rumor tentang kembang desa sini, tapi aku tidak mengira akan secantik ini.”
Cloe nyaris tersenyum, tapi hatinya berat. “Aku ... aku ingin bicara.”
Izen berjalan mendekat, meletakkan peralatannya, lalu duduk di batu seberang Cloe. Mata mereka bertemu.
“Aku tahu siapa kau sekarang,” ujar Cloe. “Putra Pak Anos.”
Izen menunduk pelan, seolah tidak terlalu ingin dikenali dari nama ayahnya.
“Aku ingin minta maaf,” lanjut Cloe. “Karena sudah menolak lamaranmu dengan cara paling kasar. Karena aku mengira ... aku dijual. Karena aku lari tanpa penjelasan. Karena aku membuat semua orang malu.”
Izen mendengarkan dalam diam. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Hanya ketenangan yang terasa terlalu bijak untuk usianya.
“Cloe,” katanya akhirnya, “ayahku memang keras kepala. Tapi dia tidak bodoh. Dia tahu saat itu kau ketakutan. Dia tidak pernah marah padamu.”
Cloe menunduk. “Tapi dia pasti terluka.”
“Sedikit,” jawab Izen jujur. “Tapi bukan masalah, aku sudah mendengar apa yang terjadi padamu dari Bibi Mala selama kau di kota. Aku ikut prihatin.”
Cloe mendongak, matanya membulat. Izen tersenyum kecil. Kemudian mereka mengobrol hal lain seperti seorang teman baru. Cloe tidak berpikir dia memiliki kebebasan meminta Izen menunggunya, sampai dia benar-benar terbebas dari Elad.
Cloe diam-diam memaki dirinya sendiri, merasa murahan karena begitu mudah baginya berhayal memutar waktu lantas memilih tinggal untuk pasa akhirnya menjadi pasangan Izen.
‘Sebegitu besar perbedaan Izen dengan Elad.’ Cloe tersenyum miris, menyebalkan membayangkan Elad dengan segala tingkah kekanakannya. Entah apa Elad lakukan di sana, semoga semua orang di sana melupakan orang yang sulit dikendalikan seperti Cloe.
Setelah beberapa puluh menit, Izen berdiri. “Aku pulang dulu, bye, Cloe.”
Cloe mengangguk balas melambaikan tangan.
***
Langit sore kota mendung, namun tidak lebih kelam dari hati Jasmin yang duduk di tepi ranjang sambil menatap Elad yang baru saja selesai mengenakan kemeja putihnya. Luka tembakan di bahunya sudah mengering, tapi ekspresinya kini lebih dingin dari biasanya—tenang, tapi penuh maksud.
“Kau mau ke mana?” tanya Jasmin tajam, melihat pria itu menyambar jam tangan dan dompet.
Elad hanya melirik sekilas. “Mencari Cloe.”
Jasmin berdiri cepat. “Apa maksudmu ‘mencari’? Dia sudah pergi, Elad. Sudah cukup statusnya menjadi istrimu. Mau berjarak jauh pun seharusnya bukan masalah.”
Elad menghentikan langkahnya. Ia menatap Jasmin lama, sorot matanya berubah sedikit. Seperti seseorang yang baru tersadar bahwa dunia tidak bisa diputar ulang semau mereka.
“Aku tidak bisa diam saja saat dia pergi.”
“Kau tidak bisa? Atau kau tidak mau?” Jasmin menyilangkan tangan di dada, matanya memanas. “Dulu, saat aku menangisimu, kau tetap duduk tenang. Tapi sekarang? Kau seperti tidak bisa hidup tanpa dia!”
Elad menarik napas dalam. “Ini bukan soal cinta, Jasmin.”
Jasmin tertawa miris. “Oh ya? Kalau bukan cinta, lalu apa? Kasihan? Rasa bersalah? Atau jangan-jangan, kau memang jatuh cinta tapi terlalu bodoh untuk menyadarinya?”
Elad mendekat, suaranya tenang namun berisi. “Aku menikahi Cloe karena ibuku memaksa. Tapi setiap kali dia menentangku, setiap kali dia melawan, aku merasa ditantang. Dan ya, mungkin aku merasa dia tidak pantas hidup seperti orang buangan.”
“Lalu aku?” Jasmin mencibir. “Apa aku juga harus kabur dulu baru kau kejar-kejar seperti itu?”
“Jangan buat ini makin rumit, Jasmin.”
“Tidak, Elad!” Jasmin menunjuk dadanya sendiri. “Kau menyakitiku! Bertahun-tahun kita bersama. Aku tahu aku bukan wanita paling suci, tapi aku mencintaimu. Aku bersedia jadi rahasia, karena kupikir suatu hari kau akan memilikiku sepenuhnya.”
Elad menatapnya. “Aku tidak pernah meminta kau menunggu.”
“Aku tahu!” Jasmin mendesis. “Tapi apa kau harus sekejam ini? Mengejar wanita yang bahkan tak mencintaimu!”
Elad tak menjawab. Ia memandang jauh ke luar jendela. Langit menggulung abu-abu, angin membawa aroma hujan yang mendekat.
“Aku tidak tahu apa yang Cloe rasakan. Tapi aku tahu satu hal, Jasmin—aku tidak tenang saat dia tidak ada. Itu saja.”
Dan dengan kalimat itu, Elad melangkah pergi. Jasmin terduduk di lantai, napasnya memburu, matanya mulai berair tapi tak ada tangisan. Hanya luka yang menganga, dan kemarahan yang membara.
“Cloe,” geraman Jasmin menekan.
Waktu terus merangkak maju, suasana senja pun menemani Cloe dalam perjalanan pulang. , Jemarinya masih basah oleh sisa-sisa air sungai. Bajunya lusuh tapi nyaman, dan tawa masih tersisa di sudut bibirnya usai bermain air bersama anak-anak desa.
Namun damai itu langsung pecah ketika ia mendekati rumah. Di halaman depan, Mala berdiri tegang. Di hadapannya—berdiri tegap, dingin, dan tak tergoyahkan—Elad Gahanim, mengenakan jas gelap dengan mobil hitam mewah terparkir di belakangnya.
Jantung Cloe seketika mencelos. Napasnya tercekat. Ia berhenti di balik pagar, bersembunyi di balik pohon jambu yang rindang. Senja terasa memudar warnanya, berganti dengan ketakutan.
“Aku mohon, Tuan Elad,” suara Mala bergetar namun tegas. “Biarkan dia di sini. Dia sedang mencoba menyembuhkan diri.”
Elad memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ya, pundaknya sudah sembuh. Tatapannya tajam, tapi suaranya datar. “Dia istriku, Bu Mala. Aku datang bukan untuk berunding.”
“Iya, kalian menikah. Tapi pernikahan tanpa cinta hanya menyakiti dua orang. Biarkan dia tinggal.”
“Kalau bicara soal hak, saya lebih berhak atasnya dibanding Ibu,” balas Elad cepat. “Secara hukum, dia milik saya. Bahkan jika saya membawanya pulang paksa, tidak ada yang bisa mencegah saya.”
Mala menggertakkan rahang. “Dia bukan barang.”
“Elad!” suara Cloe memecah ketegangan. Ia akhirnya muncul dari balik pohon, berdiri dengan rambut masih setengah basah dan wajahnya memucat.
Elad menoleh. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Matanya menyapu Cloe dari ujung kepala hingga kaki. Bukan karena pakaiannya atau penampilannya. Tapi karena perasaan aneh yang menyesak dada, melihat Cloe yang tampak damai tapi bukan bersamanya.
“Sudah puas menghilang?” tanya Elad tanpa senyum.
Cloe melangkah mendekat. “Kenapa kau ke sini?”
“Karena aku lelah dikejar bayanganmu setiap hari. Karena kau adalah istriku. Dan karena aku tak sudi ditertawakan oleh orang-orang yang tahu istriku kabur dan tidak pernah kembali.”
“Jadi inibsoal harga dirimu?”
Elad diam. Ia menggertakkan gigi. “Ini tentang segalanya.”
Cloe memalingkan wajah, dadanya sesak. Suara Mala terdengar lembut tapi tegas. “Cloe sudah cukup terluka. Kalau kau hanya datang untuk memaksa, kau tidak akan membawa apa-apa selain luka baru.”
Elad menatap Mala tajam. “Saya tidak datang untuk menyakiti. Saya datang untuk membawa istri saya pulang.”
Cloe menahan napas. Di satu sisi, dia tahu Elad benar. Secara hukum, dia memang milik pria itu. Tapi secara hati ... dia sudah tidak tahu siapa dirinya lagi.
Mala menatap Cloe, mata keibuannya lembut tapi penuh kecemasan. “Keputusan tetap ada padamu, Nak.”
Elad menunggu, setengah menantang, setengah... takut.
Dan Cloe berdiri di antara mereka, dengan langit senja yang perlahan menggelap, memaksanya memilih: bebas dalam luka atau pulang dalam jerat.
Tanpa aba-aba, Elad meraih pergelangan tangan Cloe. Tarikannya kuat dan tiba-tiba, membuat tubuh Cloe terhuyung ke arah mobil hitam yang sudah menunggu di pinggir jalan desa.
“Elad, lepas!” Cloe memberontak, berusaha melepaskan cengkeraman kasar itu. “Aku tidak mau!”
Namun Elad tidak peduli. Napasnya berat, wajahnya tegang. Dia seperti pria yang kehilangan kendali, dipenuhi amarah dan rasa tidak berdaya yang disamarkan dalam bentuk kekuasaan.
Suara jeritan pecah dari belakang mereka. “Lepaskan dia! Kau lepaskan anakku!”
Mala berlari, tangannya memukul punggung Elad berkali-kali, panik, marah, putus asa. Wajahnya merah, napasnya tercekat di antara amarah dan rasa takut. Cloe menoleh cepat, matanya membulat saat melihat ibunya nyaris menangis.
“Ibu! Ibu, jangan!” seru Cloe, akhirnya menghentikan perlawanannya.
Ia menoleh pada Elad. “Berhenti. Aku akan ikut.”
Elad menatapnya, masih mencengkeram pergelangan tangannya, namun akhirnya sedikit mengendur.
Cloe berbalik pada Mala, suaranya tenang meski dadanya bergejolak hebat. Ia mencoba tersenyum, walau senyumnya lebih mirip luka yang dipaksa sembuh.
“Ibu tidak apa-apa, kan? Aku akan pulang bersamanya sekarang. Tapi lain waktu, aku akan datang lagi.” Ia menahan tangis. “Apa ada sesuatu yang Ibu inginkan untuk aku bawa?”
Mala menggigit bibir, berusaha menahan tangis. Tangannya gemetar ketika ia meraih pipi Cloe, mengusapnya lembut.
“Ibu tidak butuh apa-apa, Nak. Cukup kau tahu, kau bisa pulang kapan pun. Dalam keadaan apa pun.”
Air mata Cloe jatuh. Ia mengangguk pelan, lalu memeluk Mala erat untuk terakhir kalinya sebelum tubuhnya ditarik kembali oleh Elad ke dalam mobil.
Ketika pintu tertutup, dan mobil mulai melaju, Cloe menoleh ke jendela. Ia melihat Mala masih berdiri di tempat yang sama, sosok mungil dengan cinta yang terlalu besar untuk dibendung.
Bersambung....