Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.
Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.
Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.
Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Pagi itu, setelah mengantar Alvino ke sekolah, Adipati langsung melaju ke kantornya.
Jasnya rapi, wajahnya tenang, namun sorot matanya menunjukkan bahwa ia sedang berada dalam fase hidup yang lebih stabil dan penuh keyakinan. Ruang kerjanya luas, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang baru saja tersiram cahaya pagi.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama.
Pintu diketuk dengan cepat dan dibuka sebelum sekretaris sempat memberi aba-aba.
BRAK.
Bram melangkah masuk dengan napas tak beraturan, matanya penuh amarah, kecewa, dan luka yang belum kering.
Bram menatap tajam mata Adipati "Kau bahagia sekarang, ya? Dengan dia… dengan anak itu? Sementara aku, kau dibiarkan tenggelam sendiri begitu saja?!
Adipati bangkit dari kursinya perlahan. Matanya menatap Bram dengan tajam, namun tak sekalipun ekspresinya goyah. "Kau datang jauh-jauh hanya untuk pamer luka pak Bram? Jangan membalikkan kenyataan, Bram. Kau tahu persis siapa yang menyakiti siapa. Jangan playing victim."
Bram dengan suara meninggi, emosi meluap " Kau tahu kenapa aku masih hidup? Karena aku masih percaya... kau akan kembali! Tapi sekarang... kau malah membangun keluarga dengan wanita itu? Dengan Anya?! Anak itu seharusnya..."
Adipati memotong tegas, penuh amarah "HENTIKAN, BRAM! Jangan bawa-bawa anakku! Tujuh tahun aku terpisah dari darah daging ku sendiri, dan itu semua karena kamu."
Suasana menjadi tegang. Adipati maju mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Napas keduanya mulai memburu.
Bram suara bergetar, seperti orang yang hampir putus asa "Kita punya masa lalu, Adipati… aku nggak bisa pura-pura nggak terjadi apa-apa diantara kita. Kau nggak bisa semudah itu melupakan semuanya hanya karena wanita yang sebenernya tidak pernah kamu cintai sayang. Kalau kau tetap menutup diri begini, aku akan..."
Adipati mengeraskan suara, penuh ancaman "Kau akan apa? Menghancurkan keluargaku? Mengulang kesalahanmu yang dulu?"
Bram tersenyum sinis. 'Kau tahu aku bisa. Aku tahu rahasiamu. Satu langkah saja, dan aku bisa membuat Anya pergi meninggalkanmu. Seperti dulu."
Adipati mengepalkan tangan. Wajahnya merah karena amarah. Dia menghentak meja kerjanya dengan keras, membuat beberapa berkas jatuh berserakan.
Adipati dengan suara menggelegar "KALI INI TIDAK, BRAM! Kau berani sentuh keluargaku… satu sentuhan saja… aku bersumpah, aku akan membunuhmu!"
Bram terdiam, terpukul oleh nada kematian dalam ucapan Adipati. Namun dia tetap menampilkan senyum sinis seolah tidak takut dengan kata-kata Adipati "...Kau serius."
Adipati menatap tajam, suara pelan tapi berisi ancaman nyata "Aku sudah mengubur masa lalu kita dalam - dalam. Dan kau, Bram… adalah bagian paling gelap dari hidupku. Jangan paksa aku untuk jadi monster yang pernah kau kenal."
Hening.
Bram menatap mata Adipati tak ada celah, tak ada harapan. Lelaki itu sudah berubah. Bukan lagi Adipati yang bisa ia kendalikan dengan emosi, luka, atau cinta masa lalu.
Bram menahan air mata, suaranya mengecil. Sisi feminim Bram muncul "Jadi… ini akhir cerita cinta kita Adipati?"
Adipati tegas " Yaa. Sudah lama seharusnya berakhir. Jangan pernah datang lagi di kehidupan ku. Jujur aku lebih bahagia bersama Anya dan aku lebih nyaman. Apalagi sekarang ternyata aku bisa mencintai seorang wanita dan mami punya buah cinta yang begitu tampan." diakhir kalimat Adipati tersenyum penuh kehangatan mengingat Anya dan anaknya Alvino.
Bram menarik napas panjang, lalu berbalik meninggalkan ruangan Adipati dengan rasa kecewa yang dalam.
Pintu tertutup pelan, namun denting emosinya masih bergema di dinding-dinding ruang kerja Adipati.
Adipati berdiri kaku, dadanya naik turun cepat. Tangan kirinya menggenggam bingkai foto Anya dan Alvino di meja. Sorot matanya kembali teduh… namun waspada.
***
Beberapa menit setelah Bram pergi, Adipati berdiri membelakangi jendela besar kantornya.
Pandangan matanya menerawang jauh, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: yaitu keselamatan Anya dan Alvino.
Tanpa buang waktu, ia meraih ponselnya dan menekan nama yang sudah ia hafal luar kepala.
Suara panggilan tersambung.
Anya di ujung telepon, terdengar lembut "Mas Pati ? Ada apa pagi-pagi begini nelpon? Belum jadi rapat nya mas?"
Adipati serius tapi lembut. "Sayang… dengerin Mas baik-baik ya. Mas mau kamu sama Alvino tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana dulu sebelum Mas pastikan semuanya aman."
Anya kaget, mulai cemas "Mas... maksudnya apa mas? Ada apa? Alvino kan sudah sekolah. Jangan bikin aku panik dong mas Pati."
Adipati menarik napas panjang, lalu berbicara setenang mungkin. "Bram datang ke kantor. Dia ngancam akan ganggu kita, ganggu rumah tangga kita. Aku nggak mau ambil risiko sekecil apa pun, sayang."
Anya terdiam sejenak, lalu berkata pelan "Dia... masih belum selesai juga, ya?"
Adipati tegas, dengan nada ingin melindungi keluarga kecilnya " Mas nggak akan biarkan satu pun dari masa lalu itu nyentuh kamu, apalagi Alvino. Mulai hari ini, ada bodyguard yang akan jaga kalian. Namanya Arga dan Riko. Mereka profesional dan terpercaya."
Anya suara lirih, terdengar ragu "Mas, apa itu nggak berlebihan? Aku takut Alvino malah jadi canggung. Aku sendiri juga... agak risih dijaga ke mana-mana."
Adipati lembut tapi meyakinkan "Sayang… aku tahu ini bukan hal yang nyaman. Tapi tolong, untuk sekarang, ikuti dulu kemauan Mas. Ini demi kalian berdua. Demi keamanan kalian. Kamu bisa marah, bisa protes nanti. Tapi sekarang… tolong percaya sama Mas, ya?"
Anya terdiam lama, lalu menjawab pelan "Kalau itu bisa bikin Mas tenang… baiklah. Aku nurut. Tapi janji ya Mas… jangan bertindak nekat. Jangan sampai Mas yang kenapa-kenapa."
Adipati tersenyum tipis. Ada kehangatan di balik wajah tegasnya. "Selama kamu dan Alvino baik-baik saja, Mas sanggup hadapi apa pun. Sekarang kamu siapin diri ya, bodyguard akan ke sana sebentar lagi. Arga juga akan jemput Alvino dari sekolah."
Anya dengan lembut "Terima kasih, Mas… karena selalu melindungi kami. Meski aku belum sepenuhnya mengerti masa lalu kalian… aku tahu kamu berusaha jadi yang terbaik sekarang."
Adipati penuh emosi, nyaris berbisik "Kamu dan Alvino adalah alasan Mas tetap waras. Mas nggak akan biarkan siapa pun hancurkan itu, bahkan kalau harus berdiri sendirian."
Anya pelan, menahan haru "Aku tahu, Mas. Hati-hati, ya..."
Telepon ditutup.
Adipati menatap layar ponsel yang sudah mati.
Ia memencet interkom dan memberi perintah ke asisten pribadinya. "Hubungi Pak Gino. Minta dia kirim Arga dan Riko sekarang juga ke rumah. Dan pastikan rumah dilengkapi sistem keamanan tambahan."
Lalu Adipati berjalan menuju jendela. Tangannya menggenggam erat gagang telepon.
Saat ini Adipati adalah seorang pria yang siap mempertaruhkan segalanya demi keluarga kecil yang akhirnya ia miliki.