Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Hujan mengguyur deras ketika Arlena berdiri di depan gerbang rumahnya, hanya dengan sebuah koper tua dan tubuh yang gemetar. Tak ada yang keluar mencarinya. Tak ada yang menahannya untuk pergi.
"Jangan pernah kembali, Arlena. Kau memalukan!" bentakan sang ibu tadi siang masih terngiang di telinganya.
Dengan mata yang mulai memburam karena air mata, Arlena melangkah menjauh. Dunia terasa terlalu luas dan asing, namun anehnya... ia merasa bebas untuk pertama kalinya.
Arlena masih ingat kejadian sebelum ia di usir oleh keluarganya.
Flashback
“Kalau kau tidak mau menikah dengan Adrian, maka angkat kaki dari rumah ini, Arlena!”
Suara keras ayah menggema di seluruh ruang makan. Ibu duduk di sampingnya dengan wajah tegang, sementara dua kakak laki-lakinya, Ryan dan Dimas, hanya diam, namun jelas menahan amarah.
Arlena menatap mereka satu per satu, merasa seolah menjadi terdakwa dalam persidangan keluarga sendiri. Hatinya mencelos, tapi ia tetap teguh.
"Aku tidak mencintai Adrian. Dia sudah mempermainkan dua perempuan lain, dan kalian tahu itu!" suaranya bergetar, tapi tidak goyah.
“Cinta? Sejak kapan kau punya hak memilih cinta, hah? Kau bahkan hidup dari belas kasihan kami!” seru sang ibu dengan wajah penuh jijik. "Adrian anak orang terpandang. Menikah dengannya satu-satunya cara kau bisa menebus semua pengorbanan keluarga ini!"
"Pengorbanan?" Arlena tertawa getir. “Apa kalian lupa, aku anak kandung kalian juga. Bukan pembantu.”
Plak!
Satu tamparan mendarat keras di pipinya. Ryan berdiri, napasnya memburu.
“Kalau kau tidak mau ikut aturan keluarga ini, keluar. Jangan bawa nama keluarga ini lagi!”
Arlena menatap mereka. Air matanya tumpah. Tapi kali ini bukan karena lemah, melainkan karena kecewa.
Begitu besar luka yang ditorehkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Dan sekarang kembali ia berjalan hanya dengan satu koper pakaian dan dompet yang nyaris kosong,
Arlena melangkah ke luar rumah saat matahari mulai tenggelam. Tak ada yang mengejarnya. Tak ada yang memanggil namanya.
Angin malam mulai menusuk tulangnya ketika ia sampai di pinggiran kota. Ia duduk di halte kosong, menahan tangis yang tak kunjung reda.
Hingga sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Pintu terbuka.
Seorang pria dengan setelan jas rapi turun, wajahnya serius, tatapannya tajam seperti es musim dingin.
“Kenapa duduk di sini malam-malam begini?” tanyanya dingin.
Arlena hanya menunduk, terlalu lelah untuk menjawab.
Pria itu memperhatikannya sejenak, lalu berkata, “Kalau kau butuh pekerjaan, aku sedang mencari pelayan pribadi. Gaji tinggi. Tempat tinggal disediakan.”
Arlena menoleh, tak percaya dengan tawaran itu. Dunia terlalu kejam padanya hari ini, tapi mungkin… inilah awal dari takdir barunya.
Arlena menatap pria itu. Matanya masih sembab, rambutnya basah dan kusut. Tapi sorot tajam dari pria asing itu membuatnya merasa... aneh. Bukan takut, tapi seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
"Apa kau serius?" tanyanya pelan.
Pria itu menyilangkan tangan, nada bicaranya tetap dingin. "Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kau butuh tempat, aku butuh seseorang yang bisa kupercayai untuk mengurus hal pribadi."
"Kenapa aku?" Arlena bertanya, mencoba memahami logikanya.
"Karena kau terlihat tidak punya pilihan," jawab pria itu dengan kejujuran yang menusuk. "Dan aku butuh seseorang yang tidak akan berani melawan."
Jawaban itu menusuk harga dirinya, namun juga... menyadarkannya. Ia memang tidak punya siapa-siapa lagi. Dan jika pria ini berniat jahat, setidaknya ia bisa melawan. Ia sudah terbiasa disakiti, tapi ia tidak akan pernah membiarkan dirinya diinjak lagi.
"Apa tugasnya?" tanya Arlena setelah hening beberapa detik.
"Aku akan jelaskan di rumah. Tapi sederhananya, kau akan menjadi asisten pribadi. Urusan rumah, jadwal kerja, dan hal-hal kecil lain yang kubenci untuk urus sendiri."
Arlena mengangguk pelan. “Baik. Aku ikut.”
Pria itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk dan membuka pintu mobil.
Tanpa pikir panjang, Arlena masuk ke dalam mobil hangat yang terasa seperti dinding pengaman dari dunia luar yang dingin dan menyakitkan.
Di dalam, ia mencuri-curi pandang. Pria itu tampan. Rahangnya tegas, kulitnya putih bersih, dan mata hitamnya seperti tak menunjukkan emosi apa pun. Ia memancarkan aura kuat... dan sangat dingin.
"Aku Aldric Hartanto," katanya akhirnya. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di rumahku. Tapi ingat satu hal."
Arlena menoleh cepat. "Apa?"
"Jangan jatuh cinta padaku."
Jantung Arlena berdetak lebih kencang, tapi ia menjawab dengan senyum sinis.
"Tenang saja. Aku bahkan tidak percaya cinta itu nyata."
Dan di sanalah, takdir mereka dimulai bukan sebagai pasangan yang saling mencinta, tapi sebagai dua orang yang terluka... dan mungkin, bisa saling menyembuhkan.
Aldric menyetir dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah Arlena yang duduk di sampingnya. Saat ini tubuh mungil, wajah pucat, dan tangan yang gemetar ringan. Sekilas, ia terlihat tenang. Tapi Aldric tahu ada sesuatu yang salah.
"Lapar?" tanyanya tanpa menoleh.
Arlena mengangguk pelan. "Sedikit."
Ia berbohong.
Sebenarnya, perutnya sudah perih sejak dua hari lalu. Sejak seminggu terakhir, keluarganya hanya memberikan makanan seadanya, kadang sisa, kadang tidak sama sekali. Mereka menyiksanya pelan-pelan secara fisik maupun batin.
Aldric tidak bertanya lebih lanjut. Tapi saat mobil berbelok ke gerbang apartemennya yang mewah, suara napas Arlena berubah.
Tubuhnya bergoyang sedikit. Kepalanya miring. Matanya mulai tertutup.
"Apa kau—" Aldric menoleh, tapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuh Arlena ambruk ke samping.
“Arlena!”
Aldric menghentikan mobil mendadak dan langsung keluar, membuka pintu penumpang dan menangkap tubuh Arlena sebelum jatuh sepenuhnya. Wajahnya pucat pasi, kulitnya dingin, dan napasnya berat.
Seketika, ekspresi dingin Aldric berubah. Untuk pertama kalinya, ada rasa khawatir di wajahnya.
Dia mengangkat tubuh Arlena dengan hati-hati dan membawanya ke dalam apartemennya yang luas dan steril.
Asistennya, Siska, langsung berlari ketika melihat Aldric masuk sambil menggendong seorang perempuan.
“Pak Aldric, siapa—”
“Panggil dokter sekarang. Cepat!” potong Aldric tajam.
Siska mengangguk dan berlari. Aldric meletakkan Arlena di atas sofa dan menyentuh dahinya. Panas. Tubuhnya kurus, terlalu ringan untuk ukuran wanita seusianya.
Ia mendesis pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu…”
Tak lama kemudian, dokter datang dan memeriksanya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, ia mengangguk pelan.
“Dia kelelahan parah dan kurang gizi. Bisa dibilang, tubuhnya sedang protes karena dipaksa bertahan terlalu lama tanpa asupan yang cukup.”
Aldric mengepalkan tangan. Wajahnya tetap datar, tapi matanya tajam.
“Pastikan dia dapat perawatan terbaik. Dan siapkan makanan ringan, sup atau apapun yang bisa ia cerna perlahan.”
Setelah dokter pergi, Aldric duduk di kursi di samping sofa, memandangi Arlena yang masih tak sadarkan diri.
"Kenapa kau terlihat kuat, tapi tubuhmu begitu rapuh..." gumamnya pelan.
Ia tak tahu siapa sebenarnya gadis ini, dan kenapa dunia begitu kejam padanya.
Tapi satu hal pasti, mulai malam ini, ia tidak akan membiarkannya kelaparan atau terluka lagi.
“