Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Altar
Tanah di sekitar altar mulai bergetar... bukan karena Manglayang. Tapi karena sesuatu yang lebih dekat.
“Dia datang,” bisik Sasmita, matanya tajam mengamati kabut yang turun cepat dari arah barat. Angin jadi dingin, menusuk tulang.
Kenan menatap ke arah tebing, tempat kabut berpusar seperti lubang hitam.
Lalu… dia muncul.
Sosok tinggi setinggi dua meter lebih, tubuh seperti dibalut kulit kerbau yang hangus, kakinya tak menapak tanah, melayang. Di dadanya ada lubang besar yang berdenyut seperti jantung, merah dan berkilau. Lehernya panjang seperti ular, dan kepalanya... bukan satu, tapi tiga. Semua tertutup topeng kayu dengan wajah manusia yang berbeda: lelaki menangis, perempuan tertawa, dan bayi yang menjerit.
Kang Ujang pernah menyebutnya...
Penjaga Utama.
Siluman pelindung altar Manglayang. Makhluk yang tidak hidup, tidak mati. Dijadikan pengawal semesta antara dunia manusia dan dunia darah.
Makhluk itu bicara. Tapi suaranya bukan suara...
Itu gema. Tangisan. Lolongan dari puluhan tengkorak.
“Rengganis... Wibisana terakhir... darahmu harum seperti ayahmu... sekarang waktunya dikembalikan.”
Sasmita menahan laju nafasnya. Tangannya menyentuh keris Larang.
“Kalau lo pikir gue akan tunduk... salah besar, siluman. Gue datang bukan buat nyembah, gue datang buat ngubur lo hidup-hidup.”
Penjaga Utama tak bicara lagi.
Dia menyergap.
Tubuh besar itu melesat seperti peluru. Sasmita melompat ke samping. Tanah tempat ia berdiri sebelumnya meledak dihantam tangan penjaga. Pohon-pohon terbelah. Batu berhamburan.
Sasmita membalas.
DOR DOR DOR!
Tiga peluru MP5 menghantam tubuh makhluk itu. Tak menembus.
Penjaga mendesis. Tangan kanannya memanjang seperti cambuk, memukul udara, dan menghantam batang pohon di belakang Sasmita hingga pohon itu patah dan roboh seperti lidi.
Sasmita mencabut keris Larang, melompat ke udara dan menebas.
CLANG!
Keris bertabrakan dengan tangan penjaga — suara besi melawan tulang. Percikan api muncul.
Makhluk itu tertawa.
Lalu dari dada berlubangnya, muncullah ular hitam sepanjang lima meter, memuntahkan darah mendidih dari mulutnya.
Cairan itu hampir menghantam wajah Sasmita, tapi ia berguling, dan menendang pangkal ular itu hingga kembali masuk ke lubang dada sang siluman.
“Gue udah pernah bunuh siluman naga, lo bukan apa-apa!”
Tapi saat ia siap menyerang balik... ia mendengar teriakan.
“SASMITA!!”
Kenan.
Dia berdiri tak jauh dari altar, tapi tubuhnya ditusuk oleh paku-paku terbang yang muncul dari tanah — paku-paku yang diselubungi mantra darah. Paku itu menancap di perut, bahu, dan paha Kenan. Bocah itu jatuh, tubuhnya mengejang. Darah muncrat deras.
“AAARGHH!!!”
Sasmita menoleh. Wajahnya pucat.
“KENAN!!!”
Tapi ia tak sempat menolong.
Penjaga Utama muncul di depannya, dan meninju perutnya dengan keras. Sasmita terlempar sejauh lima meter, menabrak batu, MP5 terlepas dari tangan.
Napasnya putus. Mulutnya berdarah.
Makhluk itu melayang mendekat. Kepalanya berganti — kini wajah bayi menatapnya, dengan mata kosong, meneteskan darah hitam.
“Rengganis... kenapa kau berjuang... manusia akan tetap mati... iblis akan tetap lahir...”
Sasmita meludah ke tanah. “Karena gue manusia, goblok.”
Dia bangkit. Lutut gemetar. Tapi matanya menyala.
Ia tarik shotgun dari punggungnya. Mengisi ulang peluru mantra. Peluru pembakar jiwa.
Makhluk itu menyeringai — topengnya berubah jadi wajah ayahnya.
“Kau gagal, Nak... kau akan mati di tempat yang sama dengan ayahmu...”
“BODOH!!”
DOR DOR DOR DOR!!
Empat tembakan menghantam tubuh penjaga. Kali ini, peluru membakar kulit siluman itu, dan ia meraung.
Sasmita berlari cepat, melompat di udara, dan menancapkan keris Larang ke lubang dada siluman.
Api merah membakar tubuh penjaga. Makhluk itu melolong, tangannya mengamuk, memukul ke segala arah.
Tapi Sasmita bertahan di dadanya. Ia menusuk lebih dalam.
“INI BUAT AYAH GUE!! INI BUAT KENAN!!!”
Dengan seluruh kekuatan terakhir, dia memutar keris itu di dalam dada sang penjaga.
BOOM!!
Tubuh siluman itu meledak dari dalam. Darah hitam muncrat ke mana-mana, dan tulangnya beterbangan ke langit. Tanah berguncang. Pohon roboh. Langit mendadak cerah — tapi hanya sejenak.
Sasmita terlempar. Mendarat keras di tanah. Wajahnya berlumur darah, bukan miliknya.
Nafasnya terengah.
Ia segera merangkak, menyeret tubuhnya menuju Kenan.
Bocah itu masih hidup.
Tapi nafasnya lemah. Tubuhnya penuh darah. Matanya berair.
“Sasmita...” gumam Kenan. “Aku... aku rasa... aku nggak kuat...”
Sasmita mencengkeram wajahnya. Wajahnya penuh emosi.
“Jangan ngomong kayak gitu. Jangan berani mati, bocah.”
“Maaf... aku... aku cuma pengen... ketemu Ayahku lagi...”
Sasmita menggertak. Menahan tangis. Ia keluarkan jimat pelindung, dan mulai membaca doa pelindung.
“Dengan nama-Nya... dengan cahaya-Nya... lindungi anak ini... dengan seluruh nyawa yang masih gue punya... GANTIKAN AKU, TUHAN, JANGAN DIA...”
Cahaya kecil muncul di dada Kenan. Tapi darah terus mengalir.
Sasmita mencabut semua paku satu per satu. Tangannya bergetar. Setiap paku yang dicabut membuat Kenan menjerit, tapi dia tetap sadar.
“Bertahan, Kenan... Bertahan... Kita udah sampai di ujung. Jangan mati sekarang... jangan lo bikin pengorbanan Frater Ben sia-sia...”
Kenan tersenyum tipis. “Aku... percaya sama kamu.”
Dan dia pingsan.
Sasmita menangis pelan, menahan isak.
Dia menatap langit yang masih hitam. Hutan masih diam. Segel altar masih retak. Tapi... Penjaga Utama telah dikalahkan.
Dan Kenan... apakah masih hidup ?
Bersambung....