Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 | Berdebar Karena Memikirkannya
Ruangan administrasi mendadak berisik dengan suara keyboard yang dipukul kasar. Si pelaku, yaitu Karin, dia tampak menyeringai, matanya masih menatap tajam layar ponselnya di mana terdapat pesan balasan dari Fara yang tiba-tiba berani menolaknya.
"Memang lah si gendut sok sibuk," gerutunya sambil meletakkan kasar ponselnya ke meja. Pipin yang duduk di sebelahnya tampak heran.
"Loh? Dia nggak mau?"
"Iya! Tadi bilang mau, eh tiba-tiba bilang nggak bisa bantu!" Karin mengomel keras, "Maaf, Kak. Fara nggak bisa bantu. Nggak kasih tahu pula apa alasannya. Mulai sombong anak ini kayaknya. Mentang-mentang udah di tim ekspor! Kalau bukan karena temenan sama cucunya Pak Rio pun nggak akan bisa dia kerja di sini. Lulusan SMA, cih! Kurasa pun, memang ini niat dia temenan sama cucunya Pak Rio, biar bisa dimanfaatin!"
Pipin cekikikan. “Jangan-jangan dia udah laporin kau ke manager baru itu."
"Siapa? Pak Yuki yang sok cool itu? Untung ganteng, kalau nggak, jijik juga aku lihatnya. Itu juga sama aja. Kalau bukan karena keluarga, mana bisa dia langsung kerja, langsung jadi manager pula." Karin tampak sangat berang.
Suara pintu terbuka menyadarkan mereka.
Suasana mendadak hening seketika ketika mereka mendapati Yuto melangkah masuk tanpa bersuara. Wajahnya dingin, ada api kemarahan yang berkibar di balik tatapan tajamnya.
"Anda punya waktu lima detik untuk menjelaskan ucapan-ucapan tadi."
Karin membeku. Pipin langsung menunduk, wajahnya pucat.
Yuto tidak menunggu. Dia melangkah mendekat, setiap langkahnya seperti menghantam lantai dengan berat, membuat Karin semakin kikuk. “*Pak Yuto dengar semua cakapku*?” pikirnya.
"Kalau begitu biar saja yang bicara," ujarnya, suara rendah tapi mematikan, "keluarga saya membangun perusahaan ini bukan hanya untuk memberi lapangan kerja, tapi juga untuk memastikan bahwa setiap orang di sini—termasuk keluarga—bekerja dengan kompetensi yang jelas. Kalau anda merasa Fara tidak mampu, silakan bawa bukti ke HR. Tapi kalau cuma bisa menyebar fitnah di belakang, lebih baik anda simpan untuk diri sendiri."
Karin mencoba membela diri. "P-Pak, saya cuma—"
"Saya belum selesai," Yuto memotong, "saya tidak peduli anda lulusan apa atau dari mana. Yang penting itu kinerja dan attitude. Dan dari yang saya dengar barusan, anda nol besar di bagian kedua."
Yuto menatap Karin dengan pandangan sinis yang membuat Karin merasa kecil.
"Sopan santun itu wajib. Kalau anda masih mau kerja di sini, belajar menghormati rekan kerja. Atau saya bisa pastikan kontrak anda tidak diperpanjang."
Suasana ruangan semakin mencekam. Karin tidak bisa berkata-kata, pipinya memerah karena malu dan marah. Kalau boleh pun dia pengen mengamuk, tapi dia tidak mau dipecat.
Yuto mengambil napas dalam, lalu mengakhiri dengan kalimat terakhir. Dia sudah terlalu muak berada di sana, terutama melihat wajah Karin.
"Sekarang, pilihan ada di tangan anda. Mau perbaiki diri atau cari tempat kerja lain. Terserah. Tapi ingat, saya tidak akan memberi toleransi kedua kali."
“Dan satu lagi,” kata Yuto. "Kalau ada pekerjaan admin yang terbengkalai," Yuto melanjutkan, "laporkan ke kepala divisi kalian. Bukan memaksa staf dari tim lain jadi asisten pribadi. Pekerjaan Fara di tim ekspor sudah cukup jelas. Atau saya harus print job description-nya dan tempel di meja anda?" Kata terakhir diucapkan dengan nada tajam.
"I-itu… itu saya cuma minta tolong sebentar kok, Pak."
“Tidak ada lagi hal seperti itu ke depannya.”
“Tapi, Pak. Fara nggak keberatan, kok. Karena dulu dia juga dari sini—“
"Tidak akan saya izinkan lagi."
Kalimat itu Yuto ucapkan dengan nada sangat tegas hingga Karin langsung terdiam.
Yuto menatapnya beberapa detik lebih lama, semakin tajam, lalu menarik napas perlahan. "Ini peringatan terakhir. Jika saya melihat Fara masuk ke ruangan ini lagi—kecuali untuk urusan ekspor—kalian semua yang ada di ruangan ini akan saya panggil ke ruang HR beserta bukti penyalahgunaan wewenang."
Akhirnya Yuto berpaling, berjalan keluar dengan tenang, meninggalkan Karin dan Pipin dalam keheningan yang sangat memalukan bagi mereka, khususnya bagi Karin. Tak hanya mereka yang membeku, tapi semua staf di ruangan itu.
Di luar sana, Yuto menarik napas sejenak. Dia masih sangat kesal, terutama pada perkataan Karin yang menyinggung pendidikan Fara. Dia ingin sekali membela terang-terangan, tetapi Yuto merasa saat ini bukan waktu yang tepat.
Ia lanjut melangkah, sambil memikirkan apa yang baru saja ia lakukan. Memikirkannya, hembusan napasnya kembali terdengar. Semakin ia hindari, semakin kuat perasaan itu.
Ya, perasaannya.
Perasaan yang ia miliki terhadap si Bebek Gendut.
Perasaan yang membuatnya sangat beruntung bisa bekerja di ruangan yang sama dengan Fara.
Perasaan seperti apa sebenarnya?
Dulu, pertama kali bertemu Fara adalah saat Yuto main ke rumah Kira, sepupunya yang empat tahun lebih muda. Sepupunya juga tinggal di komplek yang sama, beda Blok saja. Di sana, untuk pertama kalinya, Yuto melihat bocah gendut dengan piyama berwarna kuning, bergambar bebek, sedang bermain bersama sepupunya.
Saat itu Fara tampak sangat… menggemaskan. Sedang tertawa sambil mengunyah bakwan. Meski asik bermain, bakwan di tangannya tak pernah lepas. Jika habis, maka akan dia raih dari dalam kotak bekalnya.
Lalu, mengapa Fara ada di rumah Kira?
Sejak bocil, Fara memang sering dititipkan di rumah Kira karena kedua orang tuanya bekerja. Mengenal keluarga Kira pun karena kakeknya Kira berteman dengan kakeknya Fara. Karena sering dititipkan, pertemanan Fara dan Kira pun awet hingga mereka dewasa. Kebetulan saja Kira sedang kuliah di Medan. Jika tidak, Fara pasti tetap sering main ke rumahnya. Selain karena Kira baik kali, juga karena keluarga Kira juga sangat baik, terutama nenek dan mamanya Kira jago masak dan masakan mereka enak-enak kali. Fara justru banyak belajar masak dari nenek dan mamanya Kira.
Tak hanya dekat dengan Kira dan keluarganya, Fara juga jadi dekat dengan keluarga besar Kira—yang rata-rata juga tinggal di komplek yang sama, termasuk Yuto, sepupunya Kira, dan tanpa Fara sadari, ternyata dirinya diam-diam telah mencuri hati Yuto sejak lama.
Sebenarnya sampai sekarang Yuto masih ragu dengan hatinya. Ia hanya merasa, masa sih hanya karena merasa gemas melihat bocah gendut sepertinya malah jadi jatuh hati?
Tapi…
Nyatanya ia tidak pernah bisa berhenti memikirkan Fara selama dirinya menuntut ilmu di Kyoto.
Saat melihat kakiage—makanan khas Jepang yang dibuat dari sayuran dan digoreng renyah—Yuto teringat pada Fara yang sangat menyukai bakwan. Saat melihat bocah gendut memakai baju berwarna kuning, teringat Fara lagi. Melihat bebek berenang di sungai pun teringat pada Fara.
Pernah, suatu ketika saat di universitasnya sedang diadakan pameran seni. Ada banyak mahasiswa yang menjual karya seni mereka di pelantaran kampus. Saat itu Yuto menemukan sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kayu, dipahat sedemikian rupa hingga berbentuk bebek yang menggemaskan.
Melihat gantungan kunci itu, Yuto membayangkan, jika warna kayunya diberi cat berwarna kuning, maka akan sepenuhnya menjadi Fara. Dia pun iseng bertanya, "*Maaf, tentang gantungan kunci bebek ini... apakah mungkin dicat warna kuning*?
"*Ya, bisa! Mau saya cat khusus dengan akrilik*?"
"*Ya, boleh. Tolong buatkan, ya. Ini mirip dengan teman saya*."
"*Pasti orangnya lucu ya! Mau matanya juga dibulatkan*?"
"*Ya, dia sangat menggemaskan. Untuk matanya biarkan seperti ini. Sudah sempurna*."
Hingga akhirnya kunci itu Yuto titipkan kepada Kira saat sepupunya itu berlibur ke Jepang. Namun, Yuto meminta Kira untuk tidak memberi tahu itu pemberian darinya. Cukup berikan gantungan kunci itu, dan berpura-puralah tidak tahu apa-apa.
Ya, Kira sudah tahu sejak lama, mengenai ketertarikan Yuto kepada Fara.
Lama larut dalam pikirannya, Yuto berhenti di tengah koridor, menikmati suara hujan yang samar-samar terus terdengar, karena hingga kini hujan masih mengguyur luar sana.
Yuto menarik napas, lalu menghembuskannya. Ia bingung dengan dirinya sendiri, karena masih ingin memastikan lebih lama lagi tetapi ada saja momen yang berusaha menyadarkannya, bahwa tak ada lagi yang harus ia ragukan.
Bukti nyatanya…
Kini jantungnya berdebar hanya karena memikirkan Fara.
.
.
.
.
.
Continued....