para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Valo tersentak, langkahnya terhenti. Bayangan pucat itu—wanita berjubah putih usang, mata melotot tajam, melayang di udara—menghantui penglihatannya. Ucapan Fahri tentang manusia yang menjejak tanah beradu dengan realita di depan mata.
“Setan…” bisik Valo, jari telunjuknya mengarah pada sosok mengerikan itu, tubuhnya bergetar hebat.
Pandangan teman-temannya kini tertuju pada bayangan itu. Mata membulat, nafas tersengal.
“Hiihihihii…” tawa melengking memecah kesunyian, bulu kuduk mereka merinding.
“Kuntilanak!” pekik Fahri.
Sosok itu melesat, menyergap mereka. “Lari!” Jeritan Fahri menggema, mereka berhamburan, lari tanpa arah, diburu oleh tawa mencekam yang seakan mengikuti dari ketinggian.
Napas tersengal, otot-otot terasa nyeri, namun mereka tetap berlari. Hingga akhirnya, Queen menyerah.
“Capek… gue capek!” desahnya.
Fahri dan Valo ikut berhenti, lutut mereka menekuk, menarik napas panjang. Sekitar mereka—kuburan.
“Buset… ini kuburan!” Fahri terkesiap.
Queen bangun, matanya menyapu area di sekitar. “Loh, Daffa sama Arin mana? Kita pisah!”
“Ya, lari nggak tentu arah begini. Semoga aja mereka baik-baik aja,” sahut Fahri.
Queen tampak gelisah, merapatkan kedua kakinya. Lalu, ia menarik tangan Valo.
“Antar gue pipis…”
“Serius lu? Keadaan kayak gini masih kebelet juga?” Fahri tak percaya.
“Gue nggak tahan!” Queen menarik lengan Valo.
“Ya udah, ayo. Ri, lo di sini aja ya. Gue antar Queen bentar. Jangan kemana-mana!”
“Serius lu ninggalin gue? Gue ikut!” Fahri berdiri, senter ponselnya menyinari kegelapan.
“Bentar doang kok,” Valo dan Queen meninggalkan Fahri, langkah mereka menghilang di antara nisan-nisan batu nisan yang menjulang.
Hening. Sunyi mencekam menyelimuti Fahri. Gelisah menggerogoti batinnya, menanti kepulangan Queen dan Valo. Ia menyinari satu per satu batu nisan tua, usang, berukiran samar—peninggalan kerajaan masa lampau. Tak ada nama, tak ada identitas. Hanya batu nisan yang menyimpan bisikan sejarah.
"Lama amat sih, pipis doang," gumam Fahri, kecemasan mulai menguasainya.
"Queen... cepet balik! Lama banget!" Panggilnya, namun hanya sunyi yang menjawab.
Cahaya senter ponselnya menjadi satu-satunya harapan di tengah kegelapan pekat. Ia mengarahkannya ke sana kemari, panik. Kemudian, cahaya itu menangkap sesuatu di depannya...
"Aakkhh!!" Jeritan tertahan.
Fahri jatuh tersungkur, tak sadarkan diri. Di depan matanya, sesosok pocong berdiri tegak. Wajahnya, jika bisa disebut wajah, tak berbentuk. Satu mata melotot keluar, darah hitam menggenang dan menetes. Bau busuk menyengat hidung, kain kafannya compang-camping, usang oleh waktu.
Bukannya langsung menyerang, pocong itu diam sejenak, memperhatikan Fahri yang terkapar tak berdaya. Seolah mengamati mangsanya. Lalu, dengan gerakan tak terduga, pocong itu melompat, menghilang di balik bayangan batu nisan, meninggalkan Fahri dalam kesendirian.
Fahri tersadar. Rumput hijau samar-samar terlihat di depan mata yang masih berat. Ia meraih ponselnya, cahaya senter menerobos kegelapan, memastikan sosok mengerikan itu telah pergi. Perlahan, ia bangkit, langkah kaki tergesa-gesa berubah menjadi lari, menjauh dari tempat terkutuk itu.
Semak-semak dan ranting pohon menjadi penghalang yang tak dihiraukan. Luka di kakinya? Lagi-lagi, tak terasa sakit. Hanya satu yang terpenting: melarikan diri. Ia berlari kencang, kemudian berbalik, takut ada yang mengejar...
"Bruuuaaakk..." Tubuhnya terbanting.
"Ahhhkk....." Jeritan Fahri dan suara terkejut Daffa menggema di malam itu. Mata mereka bertemu, melotot tak percaya.
"Daffa..." Fahri memeluk erat sahabatnya, kelegaan membanjiri dadanya.
"Ehhh... lu Ri, bikin kaget aja," Ucap Daffa lega. "Udah, ayok gabung sama yang lain."
Mata Fahri kembali melebar. Queen dan Valo ada di sana, bersama Daffa dan Arin juga.
"Lu kok ninggalin gue, Queen? Gue nunggu di sana sampe lama! Sampe gue di takutin pocong! Tega lu pada..." Gerutunya, masih diliputi ketakutan.
"Lah... gue dari tadi memang di sini bareng mereka. Lu yang misah..." Queen menjawab, heran.
"Jelas-jelas tadi kita bareng, Queen, lu malah minta Valo anterin pipis, kan?"
"Dih, sarap ni anak. Dari tadi kita berempat nyari lu... lu yang lari sendiri entah ke mana," Valo menambahkan, ikut tertawa.
Fahri menggaruk kepalanya, pusing dan bingung.
“Jadi, maksud kalian tadi yang bersama gue itu setan, dong?” Fahri menyeringai, tubuhnya lemas, terkulai di rerumputan. Mereka kompak mengangkat bahu.
“Sampai kapan kita begini terus? Rasanya gak ada habisnya,” keluh Fahri, menatap langit malam yang maha luas. Ketiga temannya duduk berjajar di sampingnya, ikut memandang langit.
“Entahlah, aku juga bingung,” jawab Queen, suaranya lelah. “Kita istirahat dulu, ya? Dari tadi lari terus, kakiku sudah tak kuat.”
Daffa, yang duduk di samping Queen, langsung berjongkok. Ia memegang betis Queen dan mulai memijitnya lembut. Queen tersentak, hendak menarik kakinya, namun Daffa menahannya.
“Biarkan aku memijit sebentar. Nanti kalau kita harus berlari lagi, kamu tidak akan ketinggalan.”
"Lari lagi, Fa? Gue udah capek banget! Gak mau ketemu setan lagi!" seru Fahri.
"Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti, semoga aja nggak ketemu mereka lagi," jawab Daffa, tangannya lembut memijat kaki Queen.
Queen merasakan nyeri di kakinya mereda. Air matanya berkaca-kaca, haru melihat perhatian Daffa.
"Eh, Fa, pijitin kaki gue juga dong! Gue juga capek lari dari tadi!" rengek Fahri, meniru Queen.
Valo, sigap, langsung duduk di samping Fahri dan mulai memijat kakinya, gelitikan tangannya membuat Fahri tertawa. "Nih, gue pijitin. Jangan iri sama orang yang lagi pdkt." goda Valo.
"Auu… sakit, ah!" Fahri mendorong Valo pelan, namun tawa mereka pecah.
Ketegangan perlahan mereda, digantikan oleh keceriaan. Namun di sudut ruangan, Arin mengamati Queen dan Daffa dengan wajah masam, hatinya terasa sesak. Ia berdehem, bangkit berdiri.
"Udah, ayo! Kapan kita ketemu Wati kalau masih begini? Gue nggak mau selamanya terjebak di sini!"
Saat Arin berdiri, sesuatu terjatuh dari saku celananya: gulungan kain putih, diikat erat dengan benang merah, ternoda bercak darah kering. Valo, yang paling dekat, spontan meraihnya. Arin, menyadari benda itu, mencoba merebutnya dengan gerakan cepat, matanya membulat sempurna, panik tergambar jelas.
"Berikan!" perintah Arin, suaranya bergetar.
Valo mengangkat gulungan itu, mengamati dengan dahi berkerut. "Apaan ini... kok aneh gini bentuknya?"
Queen dan yang lainnya mendekat, tatapan mereka tertuju pada Arin yang kini tampak ketakutan luar biasa. Keheningan menegangkan menyelimuti mereka.
"Coba buka..." desak Fahri, ia mengarahkan senter ponselnya.
Arin kembali berusaha merebut gulungan itu, namun Fahri dengan sigap menepis tangannya.
"Itu punya gue! Bukan apa-apa kok," bantah Arin, nadanya sedikit terbata-bata.
"Ya kalau bukan apa-apa, kenapa lu panik banget?" tantang Fahri, matanya tajam mengamati Arin.
Arin mengusap wajahnya, keputusasaan tampak jelas. Ia berjongkok, menunduk, seakan pasrah. Sikapnya yang tiba-tiba menyerah justru semakin membuat rasa penasaran mereka membuncah. Rahasia apa yang disembunyikan di balik gulungan kain berlumuran darah itu?
.
.
BERSAMBUNG..