Maula, harus mengorbankan masa depannya demi keluarga.
Hingga suatu saat, dia bekerja di rumah seorang pria yang berprofesi sebagai abdi negara. Seorang polisi militer angkatan laut (POMAL)
Ada banyak hal yang tidak Maula ketahui selama ini, bahkan dia tak tahu bahwa pria yang menyewa jasanya, yang sudah menikahinya secara siri ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Aku berdiri tak sabar di dalam kamar. Sepasang netraku menyorot kosong sementara pikiranku benar-benar tak fokus.
Selain si F yang memintaku untuk tetap di dalam kamar selagi dia mengucap ijab qabul, aku juga tak sudi berada di antara empat pria itu. Aku memilih tetap di kamar dengan pikiranku yang carut marut.
Selang tiga puluh menit kemudian, lamunanku buyar ketika ponselku bergetar tanda pesan masuk.
Ku raih benda itu dari dalam tas, lalu langsung membuka pesan dari nomor pria yang mungkin sudah sah menjadi suami siri ku.
Mr F : "Cepat keluar dan tanda tangani pernyataan surat nikah sirinya"
Dengan gerak cepat aku membalas pesannya.
"Nikah siri kalau tujuannya hanya untuk bersetubuh itu sama saja zina, kan?"
Ku telan ludahku dengan cemas usai mengirim pesan yang ku ketik tadi.
Dengan jantung berdebar, aku menunggu balasan darinya.
Ku lihat pria itu tengah mengetik sesuatu.
Mr. F : "Kalau aku melakukannya dengan ikhlas, bukan hanya karena itu, pernikahan ini tetap sah kan?"
Okay... Akan ku balas lagi argumennya.
"Serius ikhlas? Bukankah karena uangmu ada di aku, aku belum bisa mengembalikannya jadi kamu terpaksa mau menerima syaratku?"
Mr F : "Loh, bukankah kamu yang berfikiran seperti itu? Sudah cepat keluar, rukun nikah harus ada kedua mempelai kan? Pak kyai ingin tahu bahwa benar-benar ada mempelai wanitanya"
"Apa sudah ijab qabul?"
Mr F : "Sudah!"
Tak ku balas lagi pesan terakhirnya, ku simpan kembali ponselku di dalam tas
Sebelum benar-benar keluar dari kamar, ku tarik napas dalam-dalam kemudian ku hempaskan dengan sedikit kasar.
Sangat berharap bisa melawan rasa yang bergejolak di dada.
Pelan, ku ayunkan kaki menuju ruang tamu.
Si pria itu langsung memberiku kode supaya aku duduk di sebelahnya begitu aku sudah berada di ruang tamu.
Aku pun menurut, meski sangat berat.
Ku lirik ayah seraya mengambil posisi duduk.
Pria paruh baya itu tertunduk lesu tanpa mau menatapku. Padahal sepasang mataku terus memindai ayah berharap dia membalas tatapanku.
Tapi nihil. Beliau seakan tak sudi untuk menatapku.
"Mbak Maula" Panggilan dari pak kyai membuatku sedikit tersentak.
"I-iya!" Sahutku gugup.
"Sudah sah menjadi seorang istri ya, saya harap kalian segera mendaftarkan pernikahan ini ke KUA, supaya bisa mendapat pengakuan dari negara"
Aku hanya mengangguk saja merespon ucapan pria berpeci di depanku ini. Pikiranku benar-benar kacau, mulut pun seakan terkunci rapat.
Sungguh, untuk sekedar menjawab iya saja aku tak mampu.
"Tolong tanda tangani berkas ini!" Pria berkacamata itu menunjuk kolom yang harus ku bubuhi tanda tanganku.
Aku melakukannya tanpa membaca apa isinya. Yang pasti aku benar-benar masih belum terima dengan pernikahan siri ini.
Entah apa yang akan terjadi jika istri sah pria di sampingku ini tahu kalau suaminya telah menikah siri denganku. Dan jika berita ini sampai tersebar di media sosial, aku yakin aku akan mendapat gelar pelakor.
Beberapa menit berlalu, setelah semuanya beres, ketiga pria itu pergi termasuk ayahku yang akan di antar oleh pria yang tadi menjadi saksi.
Tersisa aku dan mr F yang masih berada di dalam apartemen mewah ini.
"Ngomong-ngomong, kenapa aku belum tahu namanya? Padahal tadi aku sempat tanda tangan surat pernyataan yang aku yakin pihak si F juga menandatanginya" Aku bergumam lirih seraya mengingat-ingat sesuatu.
"Namaku tertulis di sana, pasti nama dia juga ada di sana"
Ah Maula, bego banget si kamu. Seharusnya ini bisa menjadi kesempatanmu untuk tahu namanya.
Gu garuk kepalaku yang tak gatal. Merutuki kebodohanku yang baru aku sadari.
***
Tepat pukul sepuluh malam, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri, langsung di suguhi pakaian asing. Aku tak tahu itu milik siapa, yang jelas itu bukan pakaian baru, tapi terlihat masih sangat bagus.
"Itu baju istriku, kamu bisa pakai" Ucapnya, membuatku langsung paham.
"Apa maksudnya? Kenapa memintaku memakai baju istrimu?"
"Nggak usah banyak tanya, pakai saja!" Balasnya tanpa menatapku, fokusnya penuh menatap layar ponsel dengan badan terlentang di atas ranjang.
"Aku nggak mau" Tolakku dengan nada tegas.
"Kalau nggak mau ya sudah. Bagus malah kalau nggak pakai baju"
"Sepertinya kamu terlalu terobsesi pada istrimu, sampai-sampai aku harus memakai daster milik istrimu" Ujarku. "Aku Maula, bukan istri sahmu jadi jangan memintaku memakai baju itu"
"Terserah kamu saja! Yang penting malam pertama kita jangan sampai terlewatkan"
Aku berdesis dalam hati.
"Apa kamu punya anak perempuan?" Tanyaku setelah sekian menit berlalu.
"Kenapa?" Tanyanya balik.
"Kalau punya, aku pastikan karmamu akan jatuh ke putrimu"
Pria itu menatapku sesaat setelah mendengar kalimatku.
"Kamu menyumpahiku?" Lirikannya benar-benar sangat tajam tertuju ke arahku, hingga terus mengikuti kemana tubuhku melangkah.
"Bukan menyumpahi, tapi hidup ini tak lepas dari hukum tabur tuai. Siapa yang berbuat jahat dia akan mendapat balasannya" Ku raih toner di atas meja rias lalu menuangkan ke tangan dan ku usapkan ke wajahku. "Kamu bilang ke ayah kalau aku hamil kan, padahal aku nggak hamil"
"Itu supaya nggak terlalu banyak pertanyaan dari ayahmu kenapa aku memaksanya untuk ikut denganku"
"Tapi nggak gitu juga kan? Beliau jadi marah ke aku"
"Nanti juga marahnya reda sendiri, orang tua nggak akan bisa marah lama-lama pada anaknya"
Mendengar ucapannya, reflek bibirku tersungging.
sama aku pun juga
next Thor.... semakin penasaran ini