Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemasan Anita
Kalau bukan karena Chika, rasanya Mirna tidak akan pernah siap kembali tinggal satu rumah dengan Damar apalagi tidur sekamar.
Tidak ada jejak sedikit pun ingatan soal Damar bahkan Mirna lupa kalau sebelum menjadi kekasihnya Damar adalah sahabat Rangga sejak mereka masih SD.
Benar-benar situasi yang aneh tapi hati kecil Mirna mulai merasakan satu ikatan dengan Chika dan mungkin tidak ada salahnya menuruti permintaan bocah itu untuk mencari kebenaran di balik perisitiwa kecelakaan yang menimpanya.
“Kenapa belum tidur ?”
Mirna yang sedang duduk di ruang makan sambil memegang gelas berisi air putih hangat terkejut melihat Damar sudah bersandar di dinding dekat situ.
“Chika ditinggal sendirian ?” Mirna balik bertanya dengan wajah khawatir.
“Iya nggak apa-apa. Boleh ?”
Dengan gerakan matanya Damar memberi isyarat ke arah kursi kosong di samping Mirna.
“Hhhmmm.”
Begitu duduk, Damar meraih jemari Mirna yang ada di atas meja. Damar lega karena tidak ada penolakan dari Mirna.
“Tidak ada yang bermaksud membohongi atau mempermainkanmu. Dokter yang meminta kami semua untuk tidak memaksamu untuk memulihkan ingatanmu cepat-cepat. Semua butuh proses.”
Mirna mengangguk lalu menatap Damar dengan wajah sendu.
“Apa kecelakaan itu begitu parahnya sampai aku koma dan kehilangan ingatan ?”
Damar tersenyum, “Agak parah tapi masalah hilangnya ingatanmu tidak sepenuhnya karena benturan saat kecelakaan.”
Mirna menautkan kedua alisnya, “Maksud mas Damar ?”
Damar kembali tersenyum lebih lebar dari yang tadi karena Mirna mulai terbiasa memanggilnya mas.
“Ada yang mengganti vitaminmu dengan obat yang bisa menghilangkan sebagian ingatanmu tapi kenapa kamu bisa lupa soal aku dan Chika, dokter belum bisa memberikan jawaban yang akurat.”
”Apa ingatan yang hilang itu bisa kembali lagi ?”
“Dokter optimis kamu bisa sembuh, aku juga sudah minta bantuan Harry untuk memberikan pengobatan yang bisa membersihkan sisa-sisa obat terkituk itu dari dalam tubuhmu.”
Tanpa sadar Mirna mengeratkan genggaman tangannya.
“Siapa yang tega melakukan semua ini ?” keluh Mirna dengan wajah sedih.
Damar tersenyum, tangannya yang bebas mengusap kepala Mirna.
“Aku dan Rangga pasti akan mencari tahu, kamu cukup fokus pada kesembuhanmu. Chika sangat rindu bisa memanggilmu mami dan aku bahagia banget saat mendengar kamu panggil aku mas Damar.”
Wajah Mirna sedikit merona dan sambil tersipu malu-malu ia membuang muka ke lain arah.
“Boleh aku memelukmu ?” tanya Damar dengan wajah penuh harap.
Mata Damar membola saat kepala Mirna mengangguk tanpa ragu. Detik berikutnya tubuh Mirna sudah berada dalam dekapan Damar.
“Terima kasih karena kamu sudah percaya padaku dan kembali tinggak di sini meskipun ingatanmu belum kembali.”
Mirna tidak menjawab hanya menyunggingkan senyum saat kepalanya bersandar pada dada bidang pria itu.
Suara degup jantung Damar membuat hati Mirna lebih tenang dan nyaman hingga tangannya pun balas memeluk pinggang Damar membuat pria itu terkejut sekaligus senang.
Ya Tuhan semoga aku bisa segera mengembalikan ingatanku tentang mereka. Kalaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, biarkan ketulusan cinta mas Damar dan Chika membuatku tidak pernah ragu lagi, batin Mirna.
***
Firman langsung terlonjak di atas tempat tidur begitu mendengar suara gedoran pintu kamarnya yang cukup keras dan berkali-kali.. Wanita yang berbaring di sampingnya juga ikut terbangun.
Sambil mengomel, Firman turun dari ranjang dan memungut celana pendeknya yang tercecer di lantai.
“Ngapain sih pagi-pagi ganggu tidur orang !” gerutu Firman pada Anita yang berdiri di depan pintu kamarnya sambil bertolak pinggang.
Hanya Anita yang punya akses naik ke apartemen dan tahu kode pintu masuk unit yang ditempati Firman.
Anita menghela nafas dan geleng-geleng kepala saat kepalanya melongkok ke dalam kamar lewat celah tubuh Firman yang berdiri persis di pintu.
“Dasar laki-laki sama saja ! Kalian nggak pernah bisa puas dengan satu perempuan ! Suruh dia pergi sekarang juga, aku mau bicara denganmu tanpa ada orang lain !”
Firman melengos sebal karena percuma menolak permintaan Anita. Ia pun kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu lalu menyuruh wanita yang kembali bergelung dalam selimut untuk bangun dan pergi dari apartemennya.
Tanpa banyak bertanya dan malu-malu, wanita itu turun tanpa penutup apapun, memungut pakaiannya dan masuk ke kamar mandi tanpa menguncinya.
Bukan pertama kali dia datang dan menghabiskan malam panas dengan Firman namun keduanya tidak memiliki komitmen apa-apa selain teman ranjang.
Setelah teman wanitanya pergi, Firman yang sudah mandi menghampiri Anita di ruang makan sedang menikmati secangkir kopi.
“Sampai kapan kamu terus begini ? Nggak takut kena penyakit terus mati muda ?” omel Anita dengan wajah galaknya.
Firman hanya tertawa sambil menyeduh kopi di pantri.
“Kalau Mirna sudah jadi milikku, aku akan berhenti jajan di luar.”
“Aku nggak yakin. Kalau namanya hobi dan bawaan, mau dapat perempuan model apapun tetap saja merasa kurang,” cebik Anita lalu menyeruput kembali kopi panasnya.
“Ada masalah apa ?” tanya Firman setelah duduk di hadapan Anita.
“Mirna sudah kembali ke rumah Damar sejak kemarin.”
“Masalahnya dimana ? Sekitar minggu lalu aku tidak sengaja bertemu dengannya di cafe, tiba-tiba Damar muncul. Sepertinya dia menyuruh orang mengawasi Mirna dan aku lihat kalau ingatan Mirna belum pulih sedikit pun.”
Anita menghela nafas, dari ekspresi wajahnya kelihatan hatinya sedang gusar.
“Tidak usah khawatir, mereka tidak akan menemukan bukti yang mengarah pada mbak Nita.”
“Itu harus ! Awas saja kalau kamu menyeret-nyeret namaku terlibat dalam rencanamu tapi sepertinya Rangga mulai curiga padaku.”
“Takut heh ?” sindir Firman dengan senyuman mengejek.
“Bukannya mbak Nita memang nggak cinta sama Rangga ? Malah enak kan kalau diputusin daripada mbak harus cari-cari alasan untuk meninggalkan dia ?”
Anita tidak menjawab malah kembali menghela nafas.
Firman menggeser gelas kopinya supaya lebih mudah mencondongkan tubuhnya ke arah Anita.
“Kenapa aku mencium bau-bau perasaan cinta ? Mbak Nita mulai jatuh cinta sama Rangga ?”
“Aku nggak tahu. Rasanya capek juga mencoba banyak cara untuk menundukkan hati Damar sementara dia malah makin cinta sama Mirna,” keluh Anita dengan wajah frustasi.
Firman tersenyum sinis tatapannya seperti mengejek Anita.
“Silakan kalau mbak mau mundur atau berhenti tapi apa yang terjadi pada Mirna tidak bisa dihapus begitu saja. Suka atau tidak semuanya pasti akan dikaitkan dengan mbak Nita karena kita masih sepupuan.”
“Kamu mengancamku ?”
Firman terbahak membuat Anita mengepalkan kedua tangannya sambil menggeram kesal.
“Sekalipun aku tidak membawa-bawa nama mbak Nita, aku yakin Damar dan Rangga sudah kehilangan kepercayaan sama mbak Nita dan menganggap mbak Nita otak pelakunya.”
“Sekarang kamu lempar kesalahan padaku ?” geram Anita.
“Kita ini satu tim, mbak. Kalau bukan mbak yang membantuku, mana mungkin aku bisa mengeksekusi rencanaku ?”
Anita menatap Firman dengan mata membola sementara sepupunya itu malah tersenyum sinis.
“
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri