NovelToon NovelToon
Sistem Kultivasi Dewa Jahat

Sistem Kultivasi Dewa Jahat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Sistem / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Toko Interdimensi
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: SuciptaYasha

Wang Cheng, raja mafia dunia bawah, mati dikhianati rekannya sendiri. Namun jiwanya bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang tuan muda brengsek yang dibenci semua orang.

Tapi di balik reputasi buruk itu, Wang Cheng menemukan kenyataan mengejutkan—pemilik tubuh sebelumnya sebenarnya adalah pria baik hati yang dipaksa menjadi kejam oleh Sistem Dewa Jahat, sebuah sistem misterius yang hanya berkembang lewat kebencian.

Kini, Wang Cheng mengambil alih sistem itu bukan dengan belas kasihan, tapi dengan pengalaman, strategi, dan kekejaman seorang raja mafia. Jika dunia membencinya, maka dia akan menjadi dewa yang layak untuk dibenci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10 Shuezan

Hutan Iblis. Tempat di mana bayangan lebih setia daripada cahaya, dan angin membawa bisikan kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah kehilangan segalanya. Di sanalah Shuezan dilahirkan—di tengah gelap, di tengah benci, di tengah dua dunia yang tak pernah benar-benar menerima keberadaannya.

Ia adalah gadis kecil dengan rambut merah seperti bara api dan mata merah darah yang tak pernah padam. Sejak kecil, semua makhluk di desa Iblis memandangnya dengan curiga. Ia bukan sepenuhnya iblis, juga bukan sepenuhnya manusia.

Ia adalah setengah dari keduanya—dosa yang lahir dari cinta terlarang orang tuanya.

Namun, dalam setiap malam yang penuh cemoohan dan siang yang dilalui dalam diam, ada satu tangan yang selalu menggenggamnya dengan hangat: ibunya, Lirien.

Lirien berasal dari ras Shu’e—keturunan langka yang darahnya tidak mengalir di pembuluh, melainkan menari dalam jalur-jalur spiritual Qi. Dalam sejarah dunia, Klan Shu’e dikenal sebagai pembantai berdarah dingin. Mereka dapat menciptakan senjata dari darah dan bertambah kuat berdasarkan darah musuh yang tumpah.

Kini, mereka nyaris punah. Hanya Lirien dan Shuezan yang diketahui tersisa. Mungkin.

Sudah lima puluh tahun lamanya sejak perang besar antara manusia dan iblis berakhir. Darah yang dulu membanjiri lembah dan gunung kini telah kering, digantikan oleh perjanjian rapuh yang disebut ‘kedamaian’.

Manusia membangun benteng, sedangkan iblis membangun peradaban di tempat terpencil. Namun luka di masa lalu tidak pernah sembuh, hubungan kedua ras seperti benang tipis yang menahan beratnya kapal laut.

Shuezan tumbuh di antara pohon-pohon yang berbisik dan malam yang tak pernah sepenuhnya diam. Ia belajar tentang dunia bukan dari guru, tetapi dari luka.

Anak-anak iblis menolaknya, membencinya, meludahi tanah tempat ia melangkah. Namun Lirien selalu menghapus air matanya dengan lembut, berkata: “Kau akan menjadi kuat, Shuezan. Karena darah kita bukan sekadar warisan. Ia adalah panggilan. Dan suatu hari, dunia akan mendengarnya.”

Lalu, malam yang penuh tragedi itupun tiba...

"Aarrghhh!!"

Suara teriakan membelah keheningan hutan iblis. Api membakar pepohonan. Desanya—desa kecil yang menjadi tempat dimana ras iblis tinggal—dikepung oleh manusia.

Mereka bukan prajurit kerajaan, bukan juga pahlawan buta dengan tekad untuk menghancurkan ras iblis. Mereka adalah bandit, para pencari budak. Mereka yang melihat ras iblis dan manusia sebagai komoditas, sesuatu yang tak lebih dari barang dagangan.

Lirien menarik tangan putrinya, berlari di tengah reruntuhan. Tubuh ibunya terluka. Panah menancap di punggungnya, namun dia tetap berlari. Menjauh dari api. Menjauh dari tangisan. Menjauh dari dunia yang kembali membakar kehidupannya.

Namun waktu tidak berpihak.

Panah kedua menembus lutut Lirien. Ia terjatuh, tubuhnya menindih Shuezan. Nafasnya tercekat, matanya mencari wajah putrinya.

"Lari… Shuezan… larilah..." bisiknya.

Tapi Shuezan tak berlari.

Ia hanya menangis, menatap wajah ibunya yang mulai pucat. Dan ketika nyawa terakhir itu menghilang dari mata Lirien, dunia Shuezan ikut mati bersamanya.

"Ibu...? I-Ibu…"

Para bandit mengepungnya, namun mereka terdiam ketika melihat jasad Lirien.

"Apa yang kau lakukan!? Itu Klan Shu’e!" teriak salah satu dari mereka.

"Aku tak tahu! Dia tadi menyerangku! Aku hanya membela diri!" jawab si pemanah.

"Idiot! Itu bisa dijual ribuan koin emas! Dan sekarang kau membunuhnya!?"

Sementara mereka berdebat, Shuezan hanya menunduk, memeluk jasad ibunya. Darah menetes dari tubuh ibunya, masuk ke tanah… dan ke dalam dirinya.

Tangannya mulai bergetar. Detak jantungnya berdentum. Darahnya, yang selama ini tenang, mulai menari liar dalam tubuhnya. Jalur-jalur qi dalam dirinya menyala merah, dan dalam sekejap, tubuh mungil itu berubah menjadi bayangan penuh amarah.

Mode Kehampaan Darah, suatu teknik alami milik Klan Shu'e. Darah mereka dialiri oleh energi spiritual yang membuat tubuh mereka tidak terpengaruh oleh racun, rasa sakit, atau bahkan luka dalam waktu tertentu.

Teriakan menggema dari mulut kecilnya.

Shuezan melompat. Tangan kecilnya mencabik tenggorokan salah satu bandit. Darah muncrat ke udara. Ia mengubahnya menjadi bilah tajam dan menebas dua lainnya.

Mereka mencoba melawan, namun setiap tetes darah yang tumpah hanya membuatnya semakin kuat.

Namun ia terlalu muda. Terlalu awal untuk menghadapi kejamnya manusia.

Si pemimpin bandit—seorang manusia bertubuh besar dengan senjata segel Qi—menyerangnya dari belakang. Shuezan mencoba membalikkan serangan, tapi ia ditendang keras, menghantam pohon dan jatuh pingsan.

Ketika ia terbangun, rantai sudah melilit tangannya. Kakinya dibelenggu. Tubuhnya memar dan dingin. Ia berada di dalam kandang, bersama para budak lainnya.

Hari-hari setelah itu adalah neraka. Ia dijual, dibeli, dijual lagi. Dipukul, dipaksa bertarung, dan dilatih seperti binatang.

Setiap malam, ia bermimpi tentang wajah ibunya yang membusuk dalam pelukannya. Dan setiap pagi, ia membuka matanya hanya untuk menatap manusia dengan kebencian yang tak bisa ia padamkan.

"Aku akan membakar dunia ini,” bisiknya suatu malam. “Kalau darah adalah harga yang harus kubayar… maka kubayar dengan dunia.”

Dan sejak malam itu, nama Shuezan bukan lagi nama seorang anak.

Itu adalah kutukan.

Dan dunia... belum tahu bencana apa yang telah mereka bangkitkan.

....

Suara derak rantai bergema samar saat Shuezan membuka matanya. Pandangannya kabur, tenggorokannya kering, dan tubuhnya masih bergetar dari rasa sakit yang belum sepenuhnya pergi akibat mantra budak.

Ia mencoba bangkit—tertatih—namun tubuhnya lemas. Beberapa detik kemudian, ia baru menyadari keberadaan seseorang di ruangan mewah itu.

Seorang pria duduk santai di depannya, menatapnya dengan tatapan setenang dan sedingin air danau yang membeku.

Dia adalah pria yang sempat dia serang sebelum semuanya menjadi gelap.

Pria itu... terlalu tampan untuk ukuran manusia biasa. Rambut hitam panjangnya tergerai liar, wajahnya simetris, bersih dan tak tercela. Tapi mata itu—mata gelap yang tidak berkedip—mengandung sesuatu yang lain. Bukan cahaya. Bukan kebaikan. Tapi juga bukan kejahatan yang biasa Shuezan lihat dari manusia lainnya.

Itu... kehampaan. Seperti ruang kosong yang menelan segalanya.

“Akhirnya kau sadar,” ujar pria itu ringan, nyaris seperti bisikan. Suaranya tenang tapi punya tekanan. “Bagus.”

Shuezan menggertakkan giginya, lalu mendorong tubuhnya untuk bangkit. Meskipun lututnya gemetar, kebencian yang ia simpan cukup untuk membuatnya berdiri. Matanya merah membara. Nafasnya berat.

“Manusia... keparat…” desisnya.

Tanpa ragu, ia kembali menyerang. Tangannya menukik, siap mencakar wajah pria itu.

Namun.

“Sāliè.”

Zzt!

Segel ungu di lehernya menyala sekali lagi.

Tubuh Shuezan membeku lalu terpelintir seperti ditusuk ribuan jarum dari dalam. Ia terjatuh ke lantai batu, tubuhnya bergetar hebat, mulutnya terbuka tanpa suara meski rasa sakit itu luar biasa.

Pria itu, Wang Cheng, bangkit perlahan dari tempat duduknya.

Langkah kakinya tenang, seperti tak terganggu oleh amarah maupun rasa iba. Ia berdiri di hadapan Shuezan yang masih meringis, lalu menunduk dan mengangkat dagu gadis itu dengan dua jarinya.

Tatapannya tajam. Tidak marah. Tapi dingin dan tegas, seperti seorang penguasa kepada binatang buas yang belum dijinakkan.

“Aku tahu kau membenci manusia,” katanya pelan. “Kebencianmu itu... menyala terang seperti bara api. Tapi sekarang bukan waktunya untuk membakar dunia ini, Shuezan.”

1
Arman Jaya
lanjjjuuuuttttt
sangtaipan
uwayoooo keren lah sangattt
sangtaipan
ditunggu chapter selanjutnya sobat🔥
sangtaipan
mantap thor, tetap semangat
sangtaipan
keren parah sih
Baby Bear
bagus
Baby Bear
lanjut ka semangat 💪💪💪💪💪
sangtaipan
bagusss bangettt
sangtaipan
keren parahhh
Andi Liu
bagus
Andi Liu
lanjutkan
sangtaipan
hahaha sadiss membunuh jiwa dan raga tanpa menyentuh
Hr⁰ⁿ
Thor mantap alur ceritanya,dan kalo bisa MC di percepat jadi kuat biar nambah seru,
sering sering update Thor
M.ARK: kalau kakaknya berkenan, mampir juga kak ke ceritaku ya kak. terima kasih kak🙏
Hr⁰ⁿ: udh gw ksih kopi Thor,smngt update
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!