NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Perpisahan dengan Wajah Topeng"

Cuti Johan telah usai. Dan hari ini datang, seperti tamu tak diundang yang berdiri di ambang pintu—hari yang telah lama ia nantikan, namun diam-diam juga ia hindari. Tepat sebulan lalu, ia membuat janji dengan Bapak Mulyono. Janji pertemuan yang, kala itu, dibalut ambisi besar: rencana kerja sama yang—menurut Bapak Mulyono—akan mengguncang pasar internasional.

Kini, semua itu terasa jauh. Seperti kabut yang perlahan menguap, tak menyisakan bentuk maupun makna.

Johan duduk berhadapan dengan pria itu. Pria dengan jas licin dan senyum diplomatis. Tapi Johan tahu, yang duduk di depannya bukan lagi sosok yang ia hormati dulu. Ia melihat wajah lain di balik topeng: wajah seorang pengkhianat, seorang bajingan berwajah dua yang kini diduga mengendalikan ladang ganja delapan hektar di jantung Bukit Barisan.

Bapak Mulyono bersandar santai di kursinya, angkuh, tenang, seperti tak pernah menyimpan noda di tangannya.

“Bagaimana, Jo? Setelah sebulan saya beri waktu untuk berpikir, apa keputusanmu?”

Pertanyaan itu meluncur ringan, tapi bagi Johan, terdengar seperti palu godam yang menghantam nurani. Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan badai di dadanya.

“Begini, Pak Yono…” ucapnya pelan. Suaranya tenang, tapi sarat luka dan keteguhan. “Sebulan terakhir, saya merenung. Dalam diam, saya menimbang. Dalam sepi, saya bertanya. Dan ada sesuatu... yang mengubah segalanya.”

Bapak Mulyono tak menyela, hanya menatapnya dengan mata yang tajam tapi kosong.

“Saya menerima informasi serius, Pak. Bukan kabar angin, bukan bisik jalanan. Ini tentang keterlibatan Anda dalam sebuah kasus. Ladang ganja. Delapan hektar. Di tanah yang seharusnya menjadi paru-paru negeri.”

Sunyi menggantung di ruangan. Dingin. Mencekam.

Johan melanjutkan, nadanya tetap terjaga, seperti seseorang yang bicara kepada bayangan masa lalu. “Mari kita bayangkan skenario terburuk. Jika berita itu mencuat ke publik, apa yang akan terjadi pada kerja sama ini? Pada nama Anda? Pada perusahaan saya?”

Bapak Mulyono menarik napas, dalam, namun ekspresinya tetap dikendalikan. “Saya mengerti kekhawatiranmu, Jo. Tapi setiap masalah selalu punya jalan keluar. Kita bisa cari jalan tengah.”

Johan menggeleng, pelan tapi pasti. “Saya tak akan menggadaikan nurani hanya demi keuntungan. Saya tidak bisa menutup mata pada kejahatan, hanya karena dibungkus kata ‘bisnis’. Selesaikan dulu masalah Anda, Pak. Setelah itu... baru kita bicara lagi.”

Pak Mulyono tak berkata apa-apa. Matanya menyimpan kecewa, tapi Johan tak peduli. Dalam pikirannya, kerja sama ini telah dikubur.

Sebab Johan mengingat Kalmi—yang terbaring tak berdaya karena ulah anak buah pria ini. Ia mengingat Liana—wajahnya penuh luka, jiwanya diguncang ketakutan. Ia mengingat semua kebusukan yang tersembunyi di balik ruang rapat dan amplop tebal.

“Mana mungkin aku bekerja sama dengan orang yang membuat Kalmi tergeletak selama berhari-hari,” batinnya. “Dan Liana... anak buahnya bahkan melukai gadis polos itu. Tidak. Aku tidak sudi. Justru aku akan cari bukti lebih banyak. Biar dia dan semua pengkhianat itu... mencicipi lantai penjara.”

Sejak hari itu, hormat Johan telah gugur. Di balik tutur santun Bapak Mulyono, ia hanya melihat seorang serigala berjas rapi. Seorang oportunis yang tak ragu menukar moral dengan uang. Dengan bisnis haram. Dengan kehancuran.

Pertemuan mereka berakhir tanpa jabat tangan, tanpa senyum basa-basi. Johan pamit. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang telah memutuskan jalan hidup baru.

Ia melaju dengan mobilnya, menyusuri jalan menuju rumah sakit. Tempat Kalmi dan Liana berjuang memulihkan diri. Dan di hatinya, hanya ada satu tujuan yang kini membakar seluruh darahnya:

Menegakkan keadilan. Apapun risikonya.

Langit mendung menggantung rendah saat Johan tiba di rumah sakit. Angin tak berembus, seolah dunia menahan napas. Langkah Johan cepat, tergesa, seakan setiap detiknya punya beban tersendiri. Hatinya berkecamuk—cemas dan berharap, takut namun tak bisa mundur. Ia baru saja berbicara dengan dokter bedah, dan kini membawa satu kabar yang tak bisa ditunda.

“Bagaimana, Dok? Apakah Kalmi bisa dioperasi dalam waktu dekat?” tanyanya. Suaranya bergetar halus, seperti menahan gelombang besar di dadanya.

Sang dokter mengangguk pelan. “Kita harus segera bertindak, Tuan Johan. Kartu memori itu tidak bisa terus dibiarkan bersarang di dalam tubuhnya. Jika tidak ada kendala, operasinya bisa dilakukan besok pagi.”

Johan menghela napas panjang, seolah menumpahkan separuh berat hidupnya. “Baik, Dok. Semoga semuanya berjalan lancar.”

“Aamiin,” balas sang dokter dengan nada teduh, lalu berlalu meninggalkan Johan di koridor yang lengang.

Johan pun melangkah ke kamar Kalmi. Di sana, waktu seolah melambat. Detik demi detik terasa lebih dalam. Ia buka pintu, dan wajah sahabat lamanya menyambut dengan senyum tipis.

“Mi, jadwal operasinya ditetapkan besok pagi. Gua udah bicara langsung dengan dokternya.”

“Besok? Wah, aman itu, Han,” jawab Kalmi santai. Namun, bibirnya melengkung nakal. “Eh, tapi lu belum cerita soal bidadari hutan itu. Jadi gimana ceritanya lu bisa ketemu Liana?”

Johan tersenyum canggung, menggaruk kepala yang tak gatal. “Liana... Dia anak angkat dari bos ladang ganja itu. Katanya dulu diambil dari panti asuhan, karena bos itu dan istrinya nggak punya anak.”

Kalmi memiringkan kepala, seperti sedang menelusuri sesuatu di lorong ingatannya. “Anak angkat? Tapi... bisa jadi dia bukan diambil, Han. Tapi diculik. Soalnya, gua sempat liat di dokumen yang gua potret kemarin—ada catatan tentang penculikan anak. Dan tanggalnya cocok dengan umur Liana sekarang.”

Mata Johan melebar. Angin tiba-tiba serasa berhenti di dadanya.

“Serius, Mi? Soalnya Liana juga pernah cerita... dia sering mimpi aneh. Dalam mimpinya, dia seperti ditarik seseorang ke dalam kegelapan. Itu yang bikin dia trauma, takut banget sama gelap.”

Ia terdiam sejenak. Lalu pandangannya menerawang, seperti menembus kabut. “Mi, ini penting banget. Gua harus ketemu Liana sekarang juga. Nanti gua balik lagi, ya.”

Belum sempat Kalmi menahan, Johan sudah berbalik dan menghilang di balik pintu.

“Eh, Han! Lah... ya gitu deh.” Kalmi mendecak, tapi matanya mengerling geli. “Dasar anak buru-buru. Tapi... ya itu Johan yang gua kenal dari dulu.”

Johan berlari di lorong rumah sakit. Hatinya dipenuhi serpihan-serpihan kemungkinan yang menyakitkan. Ia tiba di kamar Liana, membuka pintu perlahan.

Liana tengah duduk di ranjang, tenggelam dalam buku. Johan langsung mendekat, tak ingin membuang waktu.

“Lia, waktu Broto meninggal, apa yang dia katakan padamu?”

Liana mengangkat wajah, terkejut. “Loh... tumben banget. Ada apa sih, Jo?”

“Jawab aja dulu,” desak Johan, matanya tajam, tapi suaranya tetap lembut.

Liana meletakkan bukunya, lalu mengingat. “Waktu itu... dia ngos-ngosan, napasnya berat. Terus dia bilang, ‘Kejarlah kebebasan yang kamu rindukan dari dulu itu.’ Gitu, kan?”

“Bukan yang itu,” potong Johan sambil tersenyum tipis. “Yang satunya lagi?”

Liana mengernyit, lalu matanya melebar perlahan. “Iya... iya. Dia juga bilang: ‘Semoga kamu menemukan orang tua kandungmu. Sebenarnya kamu bukan diambil dari panti asuhan, Lia, tapi...’ Kata-katanya terputus di situ.”

Johan mengangguk. Pelan. Berat.

“Kalmi punya dugaan, Li. Bahwa kamu sebenarnya bukan yatim piatu dari panti, tapi korban penculikan sejak bayi.”

Liana terdiam. Seolah kata-kata itu menjelma petir yang menyambar dadanya.

“Diculik? Jo... enggak mungkin. Orang tua angkatku sangat menyayangiku. Mereka tak pernah menyakitiku. Mana ada penculik seperti itu?”

“Tapi bisa saja begitu, Li. Rasa sayang bisa tumbuh dalam keadaan apa pun. Tapi masa lalu... kebenaran... tidak bisa terus dikubur. Mimpi-mimpi kamu itu, mungkin bukan sekadar bunga tidur. Bisa saja, Broto memang ingin bicara lebih banyak... tapi ajal lebih dulu datang.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk Liana. Ia menggigit bibirnya. “Enggak... aku gak siap dengar ini...”

“Tenang dulu, Lia.” Johan mendekat, menepuk bahunya pelan. “Kita belum tahu kebenarannya. Tapi setelah operasi Kalmi besok, kita akan temui ayah angkatmu. Kita tanyakan semuanya.”

Liana mengangguk, pelan. Air matanya jatuh, tapi kali ini tidak diseka. Ia biarkan mengalir—seperti luka yang tak bisa lagi disembunyikan.

“Semoga... semoga itu semua gak benar,” bisiknya.

Beberapa detik keheningan itu terasa lebih panjang dari biasanya. Tapi tak lama, rasa penasaran yang lembut menyusup perlahan dalam benak Liana. Rasa itu mengalahkan gelisah, membungkam duka.

“Operasi? Operasi apa, Jo?” tanyanya polos, seperti anak kecil yang ingin tahu tentang bulan.

Johan tertawa kecil, tawa tipis yang lebih menyerupai desahan lega. “Operasi bedah perut, Li. Prosedur medis untuk membuka rongga perut. Ada benda aneh tertinggal di dalam tubuh Kalmi. Dokter harus mengeluarkannya.”

Liana mengerutkan dahi, terbelalak. “Hah? Perutnya dibuka? Gak sakit, Jo?”

Johan menggeleng sambil tersenyum. “Enggak, Li. Nanti dia dibius, gak bakal sadar. Setelah itu, dokter juga kasih obat supaya dia gak ngerasain sakitnya.”

Liana mengangguk, tampak tercengang. “Canggih banget, ya. Dunia ini lebih luar biasa daripada yang pernah aku bayangkan.” Matanya berbinar sejenak. “Aku boleh lihat, Jo? Pas operasinya?”

“Wah, gak bisa dong, Li,” jawab Johan, geli. “Takutnya kamu malah pingsan di ruang operasi. Kan repot.”

Liana cemberut, “Padahal aku penasaran banget gimana bentuk perut orang tuh.”

Johan tersenyum, penuh kesabaran. “Nanti aku ajak kamu lihat patung anatomi manusia, ya. Di situ kamu bisa belajar semua organ tubuh.”

Matanya menyala, seperti langit malam yang tiba-tiba dihiasi bintang. “Beneran, Jo? Wah, aku gak sabar! Aku kan gak tahu apa-apa sebelumnya…”

Johan menatap wajah gadis itu dengan lembut. “Besok, kamu udah bisa pulang dari rumah sakit. Sementara, tinggal di rumahku dulu. Sekamar sama adikku yang paling kecil.”

Liana menatapnya tak percaya. “Serius? Terima kasih, Jo… kamu selalu baik.”

Johan mengangguk pelan. “Tenang aja, Li. Janji itu harus ditepati, kan? Aku akan ajarin kamu semua yang kamu ingin tahu.”

Setelah percakapan itu, Johan menghela napas panjang. Ada kelegaan yang samar, ada harapan yang tumbuh pelan. Liana mulai tersenyum lagi, meski masih banyak tanya yang belum punya jawab.

---

Pagi itu, mentari menyibak tirai jendela kamar rumah sakit dengan sinar keemasan. Udara tenang. Hari baru datang tanpa gembar-gembor, tapi membawa misi penting.

Johan bangun lebih awal. Jantungnya tak tenang, tapi wajahnya tetap tenang. Ia bersiap menemani Kalmi menjalani operasi. Setelah semuanya siap, ia masuk ke kamar sahabatnya itu.

“Mi, semangat ya. Gua bakal nunggu di luar sampai semuanya selesai,” ucapnya pelan, tapi penuh makna.

Kalmi mengangguk, berusaha santai. “Santai aja, Han. Gua pasti kuat.” Tapi dari matanya, Johan tahu: ada rasa takut di balik tawa itu.

Liana menyusul dari belakang. “Jo, tenang aja. Operasinya pasti lancar,” ucapnya lembut, seperti angin yang menepuk pundak.

Johan hanya tersenyum kecil. Tapi matanya… matanya tertuju pada pintu ruang operasi. Ia sedang menunggu keajaiban, berharap waktu berjalan lebih cepat dari biasanya.

Dan waktu… waktu memang berjalan lambat. Seperti detik yang ditarik paksa. Tapi akhirnya, pintu itu terbuka. Dokter keluar, dengan wajah lelah namun menenangkan.

“Dok, bagaimana kondisinya?” tanya Johan, nyaris berbisik.

“Dia baik-baik saja,” jawab sang dokter. “Operasi berjalan lancar. Kami berhasil mengambil benda asing itu. Sekarang dia sedang dalam tahap pemulihan.”

Johan menarik napas lega, seolah seluruh tubuhnya baru saja dibebaskan dari batu besar.

“Dok… saya perlu benda itu. Itu barang bukti untuk kepolisian.”

Dokter mengangguk pelan. “Tentu. Kami akan menyerahkannya.”

Ada rasa syukur yang mengalir tenang di dalam diri Johan. Tapi ia tahu, badai belum reda. Masih ada teka-teki yang belum terjawab: masa lalu Liana, dan rahasia hitam Bapak Mulyono.

---

Beberapa hari berlalu. Ketika Kalmi sudah stabil dan Liana dinyatakan boleh pulang, Johan pun membawa gadis itu ke rumahnya.

Rumah itu sederhana. Tapi penuh dengan kehangatan. Aroma dapur menyambut mereka. Tawa anak-anak menyusup dari balik tirai.

Putri, adik Johan yang paling kecil, berlari menyambut. “Bang, itu siapa?”

“Ini Liana,” jawab Johan. “Dia bakal tinggal sama kita sementara waktu. Bantu dia ya, biar betah di sini.”

Liana mengangguk kecil. Senyumnya malu-malu. “Terima kasih... karena sudah mau menerimaku.”

Keluarga itu terdiri dari empat bersaudara. Johan yang paling tua, memegang tanggung jawab sejak orang tua mereka pergi selamanya. Ia bukan sekadar kakak, ia rumah bagi adik-adiknya.

Dan hari itu… untuk pertama kalinya, Liana merasa seperti memiliki rumah juga.

Tempat yang tak hanya beratap, tapi juga berpeluk hangat.

Tempat yang tak hanya berbatas tembok, tapi dipenuhi kasih sayang yang tak diminta.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!