Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15 Pingsan
Happy reading 😘
Nofiya berlari kecil menuruni anak tangga dan bergegas menghampiri Zaenal. Sementara Nada berjalan dengan langkah lebar di belakangnya.
Nofiya terkesiap kala mendapati tubuh Zaenal rebah di atas sofa dengan mata terpejam.
Ia berteriak memanggil nama Zaenal, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di samping sofa.
"Zen, kamu kenapa?" Nofiya berbisik lirih seiring tepukan pelan yang dilabuhkan nya di kedua pipi Zaenal.
Ia lantas menyentuh dahi Zaenal yang ternyata panas.
Ya, Allah. Ternyata Zen demam. Pasti karena semalam dia kehujanan. Zen menggigil kedinginan di teras rumah. Sementara aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Kekasih macam apa aku ini, Zen.
Manik mata Nofiya terbingkai embun kala teringat kejadian semalam yang menyebabkan Zaenal demam. Ia teramat menyesal karena tak kuasa menolong Zaenal yang saat itu terlihat menggigil kedinginan karena guyuran air langit.
Nofiya mengguncang pelan tubuh Zaenal. Ia berharap sang kekasih segera tersadar dan membuka kelopak mata.
"Mbak, Mas Zen jadi pingsan ya?" Nada bertanya dengan logatnya yang terdengar polos.
"Iya, Dek. Zen pingsan."
"Kok pingsan sih? Dahal aku udah bilang, jangan pingsan dulu, Mas. Eh, kok malah Mas Zen ngeyel --"
"Jangan bilang gitu! Zen pingsan bukan karena dia yang mau. Bisa saja karena dia udah nggak kuat menahan rasa sakit." Nofiya sedikit meninggikan intonasi suara sehingga membuat Nada merengut.
Nada paling tidak suka mendengar sang kakak berucap dengan nada tinggi.
Saat ini Nada benar-benar merasa kesal pada Nofiya.
"Dek, tolong ambilin minyak kayu putih di kotak obat ya!" pinta Nofiya dengan merendahkan suara. Ia menyesal karena tadi berkata dengan intonasi tinggi dan membuat adiknya merengut.
Meski masih kesal, Nada mengindahkan permintaan Nofiya.
Ia segera berlari menuju ruang keluarga untuk mengambil kotak obat yang disimpan di ruangan itu.
Setelah mengambil minyak kayu putih, Nada kembali berlari menuju ruang tamu.
"Ini minyak kayu putih nya, Mbak." Nada meletakkan minyak kayu putih yang dibawanya di atas meja kaca.
"Makasih, Dek." Nofiya mengulas senyum dan mengusap lembut tangan Nada. Lalu mengambil minyak kayu putih yang diletakkan Nada di atas meja.
Sentuhan sederhana yang diberikan oleh Nofiya membuat Nada merasa disayang. Rasa kesal yang sempat mengendap di kalbu, seketika lenyap tak berbekas.
"Heem. Sama-sama, Mbak." Nada membalas ucapan Nofiya diiringi lengkungan bibir.
Nofiya lalu mengalihkan atensinya pada Zaenal. Ia kembali berusaha menyadarkan Zaenal dengan mengoles minyak kayu putih di dahi dan di hidung kekasihnya itu.
Nofiya sangat berharap, caranya kali ini akan berhasil.
Namun ternyata, Zaenal belum juga tersadar dari pingsan.
"Zen, cepetan sadar! Jangan kaya' gini!" Nofiya menatap sedih wajah Zaenal yang terlihat pucat. Ia sangat khawatir dengan kondisi sang kekasih saat ini.
"Mbak, Mas Zen kok belum sadar ya? Apa aku panggilin papa? Siapa tau papa bisa bantu nyadarin Mas Zen."
"Jangan, Dek!" Nofiya menolak usul yang dicetuskan oleh Nada. Ia takut papanya akan kembali murka jika mendapati Zaenal berada di rumah mereka.
"Loh, kenapa?"
"Semalam papa sempat marah. Papa nggak ngebolehin Zen untuk menemui Mbak Fiya lagi."
"Kenapa papa marah? Mbak Fiya dan Mas Zen nakal ya?"
"Nggak lah. Kami nggak nakal, Dek."
"Terus, kenapa papa marah?"
"Papa marah karena nggak ngizinin Mbak Fiya berpacaran sama Mas Zen."
"Kenapa nggak ngizinin? Mbak Fiya 'kan udah gede? Temenku aja udah ada yang pacaran. Noh, salah satunya Tyas. Tetangga sebelah."
Nofiya mengendikkan bahu dan enggan menjawab dengan rangkaian kata.
"Mbak, aku tinggal sebentar ya."
"Mau ke mana, Dek? Di sini aja, bantuin Mbak Fiya buat nyadarin Zen."
"Bantuin gimana, Mbak? Nada 'kan bukan dokter yang tau gimana cara nyadarin orang pingsan."
Nofiya menghembus nafas berat. Ia bingung harus berbuat apa lagi untuk membuat Zaenal tersadar dari pingsan.
Nggak mungkin 'kan aku meniru cara pangeran di kisah putri salju, batin Nofiya bermonolog.
"Mbak, mungkin yang bisa nyadarin Mas Zen cuma papa." Ucapan Nada memecah sunyi yang sejenak tercipta.
"Kamu yakin, Dek?"
"Sangat yakin, Mbak. Seribu persen yakin."
"Baiklah. Tolong segera panggilin papa ya."
"Ogeh, Mbak. Tunggu sebentar ya."
"Heem."
Nada memutar tumit, lalu melangkah pergi meninggalkan Nofiya yang terlihat bermuram durja.
"Papa .... Pa, Papa ...." Teriakan Nada sukses mengalihkan atensi Ridwan yang tengah menghitung segepok uang berwarna merah, hasil jualannya pagi ini.
"Ada apa, Nad? Kenapa teriak-teriak?"
"Gazwat, Pa --" Nada menjawab tanya dengan terengah-engah.
"Gawat kenapa?"
"Itu, Pa --"
"Duduk dulu!" Ridwan memandu Nada untuk duduk di kursi dan memberinya segelas air putih. Namun Nada menolak.
"Aku nggak haus, Pa."
"Papa memberi mu air putih bukan karena kamu haus, tapi biar kamu merasa tenang dan bisa bicara dengan jelas."
"Owh gitu."
"Heem. Sekarang jelaskan pada Papa, kenapa tadi kamu berteriak-teriak!"
"Begini, Pa. Mas Zen, teman Mbak Fiya datang ke rumah --"
Ridwan menautkan kedua alisnya dan mengepalkan tangan. Api amarah yang semalam sempat padam, kini mulai berkobar lagi.
Ia sangat murka begitu mendengar ucapan Nada tentang Zaenal.
"Berani-beraninya dia datang ke rumah."
"Pa, jangan marah. Mas Zen pingsan."
"Pingsan?"
"Iya, Pa. Mas Zen pingsan. Sepertinya dia sedang sakit."
Ridwan menghembus nafas kasar, lalu bergegas menyimpan uang yang baru saja dihitungnya ke dalam nakas berwarna silver.
"Nad, papa nitip toko sebentar."
"Papa mau ke mana?"
"Papa mau pulang."
"Baik, Pa. Tolong bantu Mbak Fiya buat nyadarin Mas Zen ya, Pa. Jangan marahi Mbak Fiya dan Mas Zen. Kasihan mereka," tutur Nada--memohon.
Ridwan hanya terdiam dan kembali menghembus nafas kasar.
"Pa, izinkan Mbak Fiya dan Mas Zen berpacaran. Mbak Fiya udah gede. Kasihan kalau Mbak Fiya nggak laku. Takutnya malah jadi perawan tua kaya' Mbak Zaenab." Nada kembali bertutur. Namun Ridwan tetap tak acuh.
Pria paruh baya itu lantas mengayun langkah, meninggalkan Nada seorang diri di toko.
Dengan langkah lebar Ridwan berjalan menyusuri jalan setapak, melewati sawah yang terbentang di kanan kiri jalan, menuju rumahnya yang berjarak tidak jauh dari toko.
Selama berada di perjalanan, Ridwan menelaah kata-kata yang tadi dituturkan oleh Nada.
Meski masih berusia sepuluh tahun, putri kecilnya itu terkadang bisa berpikiran seperti orang dewasa.
"Hah ...." Ridwan meraup udara dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Ia tampak berpikir dan menimbang.
Mengizinkan Nofiya berpacaran dengan Zaenal, atau tetap sebaliknya.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
Jangan lupa like dan subscribe. Terima kasih 😊🙏🏻
kalimatmu Thor..
mak nyesss dehh
Restu yang pergi entah kemana, sekarang datang juga...
Tu...Tu...lama amat sih lu datengnya..
Tapi beda cerita kalau kata Zaskia gotik.
Dia bilang..paijo...paijo..ditinggalke bhojhone....😄😄
Belajar sama² ya Zen udah ada lampu hijau dari Papa Ridwan.
semoga
eh Authornya duluan.
Terus siapa yg bisa jawab nih