Darson Rodriquez seorang gangster yang menculik Gracia Vanessa, dan dijadikan sebagai pemuas ranjang selama tiga hari. Gracia yang dijual ibu tirinya harus menerima penderitaan yang tiada akhir.
Bagaimana Gracia bisa terlepas dari genggaman Darson yang berniat menjadikan dirinya sebagai simpanan? bukan tanpa sebab bos gangster tersebut sengaja gadis itu berada di sisinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
"Baiklah, Tapi kau harus tetap patuh denganku!" jawab Darson dengan nada tegas, matanya menyipit penuh peringatan.
Gracia menatapnya tajam, sambil mengelus, "Salah! Wanita hamil tidak bisa patuh pada siapapun, kecuali kamu yang harus patuh padaku. Seingatku, wanita hamil itu harus dijaga baik-baik dan tidak bisa membuatnya sedih. Kalau dia sedih maka anak dalam kandungannya akan ikut sedih. Jadi kamu harus selalu membuatku bahagia," kata Gracia
Darson menghela napas panjang, merasa kesabaran yang dimilikinya semakin menipis. "Apakah tidak berlebihan? Aku membayarmu untuk memberi aku seorang anak," ujar Darson, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan dan sedikit kemarahan.
Gracia memandang Darson dengan tatapan dingin. "Kamu jangan salah. Memang kamu membayarku, tapi aku harus mengandung selama sembilan bulan dan belum lagi harus melewati proses persalinan yang menyakitkan. Kamu menggunakan uang dan aku mempertaruhkan nyawaku. Apakah kamu mengira kalau uangmu mampu membeli nyawaku?" tanyanya, nada suaranya yang tidak mau kalah.
Darson terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Gracia. "Sejak kapan kamu berubah menjadi begitu keras kepala dan suka melawan?" tanya Darson, suaranya melembut dengan nada curiga. "Apakah kamu tidak takut kalau aku tidak akan membantumu mencari Leo?"
Mata Gracia berkilat penuh tekad. "Takut! Tapi kalau kamu tidak ingin membantu, aku akan mencarinya sendiri. Saat aku tidak ada di rumah, kamu jangan salahkan aku!" jawab Gracia yang langsung masuk ke dalam mobilnya dengan gerakan cepat dan tegas, menutup pintu dengan suara yang keras.
Darson berdiri mematung, merasakan kemarahan dan frustasi bercampur aduk dalam dirinya. "Wanita ini benar-benar menyusahkan," gumamnya pelan, sebelum menghela napas.
Gracia kembali ke rumah dengan langkah lesu, sementara Darson menuju perusahaannya dengan pikiran yang penuh.
Saat baru melangkah masuk, dia terkejut melihat pakaiannya berserakan di ruang tamu. Zanella, dengan wajah penuh kemarahan, sibuk membuang pakaian simpanan suaminya.
"Bagaimana kau bisa masuk ke kamarku? Dan kenapa menyentuh semua pakaianku?" tanya Gracia sambil menahan emosi, suaranya bergetar.
Zanella berbalik, menatap Gracia dengan mata yang menyala-nyala. "Jangan lupa ini adalah rumahku, dan aku istri sahnya," jawab Zanella dengan tatapan tajam. "Ambil semua pakaianmu sebelum aku buang ke luar rumah!"
Gracia menggertakkan giginya, pikirannya berputar cepat. "Pria sialan, pasti lupa mengunci pintu kamar," batinnya kesal.
"Apakah karena suami kita tidak ada, kau sengaja mengusirku?" tanya Gracia dengan nada menantang, mencoba menenangkan diri.
"Suami kita? Sepertinya kau salah besar, dia adalah suamiku bukan suamimu," jawab Zanella dengan nada sinis.
Gracia tersenyum tipis, lalu dengan tenang mengambil buku nikah dari tasnya dan menunjukkannya kepada Zanella. "Baca baik-baik, kami baru tandatangan buku ini, kami adalah suami istri sah dari undang-undang. Terima atau tidak, ini adalah kenyataan," katanya dengan senyum penuh kemenangan.
"Wanita tidak tahu malu," ketus Zanella, wajahnya memerah karena marah.
"Salahkan saja suamimu, dia yang tergila-gila padaku. Bukan aku yang merayunya. Dia juga menikahiku. Jadi sekarang aku bukan lagi simpanannya, melainkan istrinya!" jawab Gracia dengan nada tegas.
Zanella mengepalkan tangannya, suaranya bergetar saat berbicara. "Tidak usah bangga menjadi istrinya. Suatu saat kau akan menjadi seperti aku. Ditinggalkan dan disakiti!"
Gracia mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Tidak masalah, asalkan uangnya sudah masuk ke rekeningku!" jawabnya tanpa ragu.
"Bawa pergi semua pakaianmu ini! Kalau tidak akan kubuang!" titah Zanella dengan suara yang semakin tinggi, menahan emosi yang hampir meledak.
Gracia mendengus dan melirik ke arah pintu. "Aku sedang malas bergerak. Kita tunggu saja kepulangan suami kita. Biar dia yang mengutipnya. Lagi pula semua pakaian yang kau keluarkan adalah pemberian darinya. Aku tidak sabar melihat reaksinya," jawab Gracia dengan nada tenang, namun penuh dengan provokasi.
Zanella semakin kesal, wajahnya merah padam, dan matanya berkaca-kaca menahan amarah. Sementara itu, Gracia tetap tenang, menikmati setiap detik ketegangan yang terjadi di antara mereka.
"Kau memang wanita yang tidak ada harga diri," ketus Zanella dengan nada penuh kebencian.
Gracia tersenyum sinis, tatapannya penuh dengan penghinaan. "Bagaimana denganmu? Bukankah kamu juga memberikan tubuhmu kepada pria lain? Kamu lebih tidak tahu malu dariku. Sementara suamimu membayarku dengan nilai yang tinggi. Itu artinya aku sangat berharga, bahkan nilaiku lebih tinggi darimu," sindir Gracia sambil mengejek, suaranya penuh dengan keyakinan yang dingin.
Zanella merasakan amarahnya semakin memuncak. "Bawa pakaian ini dan bakar semuanya!" perintah Zanella kepada pelayan rumah tangga yang berdiri canggung di sudut ruangan.
"Lakukan saja, aku tidak masalah sama sekali. Aku masih bisa meminta suami kita membeli yang baru," kata Gracia dengan nada santai, mengangkat bahu seolah tidak peduli.
Zanella menggelengkan kepala, mencoba menahan emosinya. "Darson bukan tipe suami yang murah hati. Dia tidak akan memberimu apa yang kamu inginkan," jawab Zanella dengan nada penuh kepastian.
Gracia tertawa kecil, suaranya terdengar meremehkan. "Benarkah? Kita lihat saja nanti!" jawab Gracia dengan yakin. "Kalau dia menolak permintaanku, maka... dia hanya bisa tidur di luar!"
Zanella menatap Gracia dengan tatapan penuh rasa penasaran. "Kau ingin membuat Darson tunduk padamu?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Gracia mendekati Zanella, suaranya berubah menjadi lebih rendah namun penuh dengan tekad. "Dia tidak akan tunduk pada siapapun, tapi dia begitu tertarik padaku. Kalau dia tidak membuatku bahagia, aku tidak akan sudi melayaninya. Aku bukannya tidak tahu keinginan suami kita. Seharusnya kamu paham apa yang dia inginkan," jawab Gracia, matanya menyala dengan semangat.
Gracia mengeluarkan handphonenya dengan gerakan cepat dan menghubungi Darson yang sedang berada di kantornya. Dia menunggu beberapa detik sebelum mendengar suara suaminya di ujung sana.
"Hallo, ada apa?" tanya Darson dengan nada sedikit bingung.
Gracia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, suaranya terdengar manis namun penuh dengan maksud tertentu. "Semua pakaianku dibuang oleh istri pertamamu. Aku ingin memintamu membelikan yang baru, bukan hanya pakaian, tapi juga tas dan sepatu beserta perhiasan. Apapun yang dia miliki, aku juga mau!" kata Gracia, menekankan setiap kata dengan tegas.
Darson yang di seberang sana tersenyum mendengar permintaan istri yang baru dia nikahi itu, membayangkan wajah Gracia yang penuh tekad. "Apakah hanya itu yang kamu minta?" tanyanya, suaranya terdengar tenang.
"Iya, kalau kamu mau memberiku lebih dari permintaanku, juga tidak apa-apa," jawab Gracia dengan nada menggoda.
Darson tertawa kecil. "Kalian pasti sedang bertengkar lagi," ucapnya, sudah terbiasa dengan perseteruan antara kedua istrinya.
"Nasib sebagai istri kedua, pasti selalu ditindas oleh istri pertamamu," jawab Gracia, suaranya terdengar sedikit merajuk namun penuh dengan determinasi.
"Bukankah kau bisa mengatasinya, kenapa begitu cepat sudah mengalah?" tanya Darson, mencoba memprovokasi Gracia.
"Siapa yang mengalah? Aku tidak akan diam saja," jawab Gracia dengan tegas sebelum memutuskan panggilan, matanya berkilat penuh semangat perlawanan.
Setelah menutup telepon, Gracia menatap Zanella dengan tatapan penuh tantangan. "Pakaian ini aku tidak mau lagi, bakar saja dan setelah suami kita pulang, kamu harus terima konsekuensinya," ucap Gracia, suaranya dingin dan tajam.
Zanella memandang Gracia dengan kebencian yang membara di matanya. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengepalkan tangannya lebih kuat.
Sementara itu, di kantornya, Darson memanggil asistennya dengan nada tegas, "Siapkan semua permintaan Gracia!"
"Siap, Bos," jawab asisten dengan cepat, mencatat setiap permintaan yang diberikan.
Darson menghela napas, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ulah apa lagi yang dia rencanakan," gumamnya, mengingat tingkah laku Gracia yang selalu penuh kejutan. Dengan gerakan lambat, Darson mengeluarkan dompetnya dari saku jas. Di dalamnya, terselip sebuah foto kecil. Ia menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. Foto itu menampilkan dirinya dan Gracia, entah sejak kapan foto itu diambil.