Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam Belas
Usai sholat shubuh berjama'ah, Medina yang teringat dengan permintaan Hamam semalam, kini tengah berdebar menanti pemuda itu di samping musholla. Medina mengingat-ingat kembali kata-kata yang semalam telah dia susun untuk memberikan jawaban pada Hamam. Saking khusuknya mengingat, gadis yang masih mengenakan mukena itu sampai tidak menyadari jika pemuda yang dia nanti sudah berada di hadapan bersama sang abang.
Ya, Aksa selalu saja ada di antara mereka berdua. Sebagai abang, dia harus menjaga sang adik agar tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang belum menjadi mahromnya, sebagaimana pesan sang eyang. Lagipula, Hamam juga yang meminta pada kakaknya Medina itu agar menemani untuk menghindari fitnah.
"To the point aja, Dik. Jangan muter-muter ngomongnya."
Suara Aksa, membuat Medina yang tadinya menunduk menekuri lantai, seketika mendongak melihat ke arah sang abang yang memang bertubuh jangkung tersebut. "Iya-iya. Dina juga ogah, kok, berlama-lama di sini."
"Jadi, bagaimana, Dik?" tanya Hamam kemudian tanpa basa-basi, membuat Medina cemberut sedikit kesal.
"Kita tunangan dulu, deh, Kang. Kita 'kan perlu mengenal calon pasangan hidup kita lebih jauh agar tidak tersesat nantinya."
"Tersesat?. Tersesat bagaimana maksud kamu, Dik?" sahut Aksa, bertanya. Pemuda itu jelas terlihat keheranan dengan jawaban sang adik yang menurutnya aneh.
"Ya, tersesat, Bang. Gimana, sih, jelasinnya? Pokoknya, salah langkah dalam menentukan pilihan, begitulah kira-kira."
Aksa manggut-manggut sedikit paham dengan maksud sang adik, meski tetap merasa aneh dengan pilihan kata yang Medina lontarkan. Begitu pula dengan Hamam. Pemuda itu pun mengangguk-anggukan kepala dengan senyuman samar yang tersungging di bibirnya yang kemerahan.
"Kang Hamam, paham 'kan maksud Dina?"
"Ya," balas Hamam, singkat.
Setelah itu, tak ada lagi kata-kata yang terucap dari bibir pemuda yang memiliki tatapan teduh itu. Tatapan yang mampu membuat jantung Medina berdebar.
"Udah, Kang? Gitu aja?"
"Iya. Kenapa?"
Lagi. Pemuda itu selalu saja irit bicara, membuat Medina garuk-garuk kepala sendiri. 'Benar-benar, nih, cowok. Enggak peka!' batin Medina, kesal.
Entah apa maksud gadis itu. Sepertinya, Medina ingin melihat perjuangan Hamam sekali lagi dalam meluluhkan hatinya, tapi sayang harapan Medina tak seindah kenyataan karena pemuda di hadapan kurang peka dengan kode yang dia berikan. Gadis itu pun menjadi kesal sendiri lalu beranjak pergi tanpa berpamitan.
"Assalamu'alaikum, Dik Dina," kata Hamam setelah beberapa langkah Medina berlalu dari hadapan.
"Wa'alaikumsalam!"
Jawaban Medina yang terdengar kesal, membuat Hamam semakin lebar mengulas senyuman. 'Menarik juga melihatmu merajuk seperti itu, Dik'
"Kak. Si Dina kayaknya enggak serius ngasih jawaban seperti itu. Aku yakin banget, kalau sebenarnya dia, tuh, mau jika kalian langsung menikah," kata Aksa, mengurai lamunan Hamam.
"Hem ... Begitu, ya?"
"Iya, Kak. Wanita 'kan memang seperti itu. Lain di bibir, lain pula apa yang dia mau."
"Wah, pengalaman sekali, ya, kamu, Sa."
Aksa yang memang sering gonta-ganti pacar itu, hanya tersenyum nyengir. Kedua pemuda itu kemudian segera berlalu dari sana untuk kembali ke kamar masing-masing.
"Sa, boleh aku minta nomor telepon adik kamu?" tanya Hamam, sebelum mereka berdua terpisah.
"Oke. Habis ini langsung aku kirim ke nomor Kak Hamam."
Keduanya lalu membuka pintu kamar masing-masing yang bersebelahan dan tubuh tegap keduanya segera menghilang di balik pintu kamar.
Sementara Medina yang ternyata berdiri di balkon dan tadi melihat kedatangan mereka berdua, bertanya-tanya dalam hati. Buat apa Hamam meminta nomor teleponnya? Gadis itu lalu buru-buru ke kamar dengan hati berdebar.
"Assalamu'alaikum, Dik."
Benar saja, begitu Medina membuka ponselnya, chat dari Hamam langsung masuk. Medina tak langsung menjawab, tapi malah senyum-senyum sendiri sambil mengamati layar ponselnya.
"Kenapa enggak dijawab?"
Chat dari Hamam kembali masuk, membuat Medina tersadar jika pemuda itu pasti tahu bahwa dia sudah membaca pesannya.
"Udah Dina jawab, kok. Dalam hati," balasnya sembari tersenyum jahil.
"Oh."
Medina masih menanti, chat apa yang selanjutnya akan dikirimkan oleh Hamam. Tapi, hingga satu jam kemudian tak ada lagi chat yang masuk, membuat Medina kesal setengah mati pada pemuda itu.
"Emang dasar, ya, kulkas seribu pintu! Enggak ada hangat-hangatnya!"
bersambung ...
Berasa di-PHP, ya, Din ...
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘